Bangunan megah dua lantai yang masih berdiri kokoh di depannya adalah benda hidup yang tidak ingin Jovanka datangi sebenarnya. Kenyataan bahwa tempat ini dulunya pernah memberinya kebahagian sekaligus kepedihan menjadi dorongan terkuatnya.
Kembali kemari berarti harus bernostalgia dengan masa lalu. Dan berarti juga Jovanka harus siap bersua dengan kehancurannya.
Rumah ini adalah bukti kejayaan Narendra Wijaya dimasa silam. Narendra yang berprofesi sebagai komposer lagu adalah seniman muda yang cukup terkenal. Banyak karya yang telah Narendra buat. Lagu lagunya selalu laris manis di pasaran. Bahkan meski kematian telah melenyapkan raganya, namun karya karyanya tetap hidup dan tak lekang oleh waktu.
Bakat Narendra menurun pada Jovanka dengan baik. Meski tak pernah diperlihatkan kepada siapapun, Jovanka sebenarnya memiliki suara yang indah dan menjual jika saja gadis itu mau terjun sebagai penyanyi. Selain itu Jovanka juga pandai bermain piano. Namun sayang, bakat alami yang diajarkan ayahnya tersebut justru hanya Jovanka simpan sebagai kenangan.
Kematian ayahnya, kelumpuhan yang turut menyertainya membuat Jovanka tak lagi berkeinginan untuk mengikuti jejak Narendra.
"Kok nggak masuk, Nak?"
Jovanka tersenyum pada Marissa yang muncul di antara pintu yang terbuka lebar. "Kangen Bunda." rajuknya yang Marissa balas dengan pelukan dan kecupan berulang ulang di kedua pipinya.
"Kenapa nggak ngasih kabar kalau mau pulang? 'Kan Bunda bisa minta tolong abang ipar kamu buat jemput."
"Takut ngerepotin. Lagian tadi Vanka diantar sama Bos Alan, kebetulan tadi sama sama dari pulang kantor langsung kesini."
"Nak Alan masih baik ya? Lama Bunda nggak ketemu dia."
"Bos Alan nitip salam kok tadi buat Bunda, katanya nggak bisa mampir soalnya Mbak Karina sudah hamil besar dan nggak bisa terlalu lama ditinggal."
Pelukan dilepaskan. Marissa menuntun Jovanka masuk kemudian.
"Kok sepi Bun?"
"Papa ada diatas." ucapan itu Marissa sertai dengan helaan napas. "Adik kamu bolos udah seminggu dan kami nggak tau. Untung gurunya yang nelpon, makanya Papa mencoba menasehati Raga di kamarnya."
Bagaimana hati yang sekian tahun ia pupuk agar kuat mengikhlaskan kematian sang ayah nyatanya tak cukup berhasil. Kini hanya dengan mendengar serentetan kalimat yang ibunya ucapkan berhasil kembali membuka luka yang sebenarnya tak pernah sembuh.
Jovanka tak membenci. Buktinya ia cukup baik dengan membiayai kehidupan mereka tanpa menuntut apa-apa.
Hanya saja terlalu kejam baginya bila bersikap seperti sang ibu yang dengan mudahnya melupakan ayahnya.
Kematian sejatinya milik manusia yang bernyawa. Trauma kecelakaan menghantuinya, tak membiarkan Jovanka berdamai dengan kenangan terburuknya tersebut. Dan setelah Jovanka kira kematian Narendra telah menghancurkannya.... nyatanya kehancuran itu belum seberapa dibandingkan harus menyaksikan ibunya membawa pria lain ke rumah ini. Mereka menikah, membangun keluarga yang lengkap dengan kedua orang adik yang sempurna. Diatas bangunan dimana kerja keras ayahnya lah yang menghasilkan. Dimana disetiap sudut rumah ini adalah kenangannya bersama sang Ayah.
Tak cukup mengerti pada perubahan suasana sang putri, Marissa tetap melanjutkan ceritanya. "Kalau Citra sama suaminya menginap di rumah mertuanya. Sedang Cinta, Tommy dan Bibi kamu lagi belanja bulanan kebutuhan si kecil."
"Nak, kamu mau istirahat di kamar dulu? Bunda mau masak untuk makan malam. Sekalian kamu bisa ikut makan malam bersama kami."
Jovanka usung senyum di belah bibirnya. Tangannya ia ulur agar di genggam hangat oleh sang ibu. "Vanka nggak bisa sampe malem, Bun. Jadi makan makannya lain kali ya." Tuturnya halus, berusaha tak menyakiti Marissa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
Ficción General18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...