Satu persatu telah meninggalkan kediaman keluarga Delano. Senyap mengambil alih keramaian yang berlangsung sejak pagi tadi. Hingga ketika kini petang menyapa, rumah ini dipenuhi keheningan.
Semua telah dirapikan, taman dan kolam renang telah kembali sebagaimana fungsinya.
Dibalik tirai yang Jovanka singkap sedikit, ia mencoba melihat keluar untuk memastikan. Dan benar apa yang telah dikabarkan oleh para pelayan bahwa Yoga dan istrinya telah pulang. Kakek Abian juga sudah meninggalkan rumah ini sejak sore tadi. Begitupun dengan Karina yang telah Alan bawa pulang beserta putranya.
Sementara Nathan, pria itu juga telah pulang setelah menyerah membujuk Jovanka untuk diantarnya.
Hanya Jovanka yang bertahan di kamar tamu beserta Shinta. Juga Ditta yang terlelap pulas diatas ranjang bersama Metta yang dalam tidurnya sangat polos dan menggemaskan.
Anak itu, pasti akan sedih suatu hari nanti begitu telah mengerti bagaimana hubungan yang terjalin dikeluarganya. Penuh konflik dan kebencian, seakan tali permusuhan antara Yoga dan tuan Demian tidak akan pernah ada habisnya.
Bukan hal baru menyaksikan pertengkaran bosnya dengan sang ayah. Jovanka mengenal Yoga, dan sangat tahu bagaimana dia bisa setangguh sekarang.
Hanya saja, yang tidak Jovanka mengerti disini kenapa dan ada apa dengan Luna?
Wanita itu meledak ledak, Yoga juga. Seperti ada permasalahan besar yang sudah terjadi pada keduanya."Mbak Shinta pasti tau sesuatu 'kan?"
Jovanka menjauh dari jendela, ia mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Shinta tengah menepuk nepuk bokong Ditta yang tertidur miring kearah Metta.
"Tau apa?" Karena tak mungkin bagi mereka bersuara keras. Alhasil mereka berbisik bisik.
"Tau kenapa tuan Yoga mukul tuan Demian, padahal udah lama mereka nggak lagi perang dingin. Terus kenapa ya Mbak, Nona Luna tadi bertengkar sama tuan?"
"Nggak usah kepo, diem aja. Heran deh gue."
"Tapi Mbak, aku perlu tau."
"Terus setelah tau, lo mau apa? Mau balikan sama Rome? Mau jadi pelakor, iya?" Jovanka kadang heran kenapa Shinta jika sedang bicara itu suka sekali ngegas. Padahal lawan bicaranya, bicara dengan baik baik. Untuk orang yang baru mengenal wanita dihadapannya mungkin mengira Shinta orangnya senewen. Marah marah tidak jelas.
"Jadi pelakor itu dosa nggak ya, Mbak?"
"HEH!"
Tak hanya Jovanka yang terlonjak karena seruan Shinta, namun juga Ditta dan Metta yang segera ditepuknya agar tidur kembali. Shinta melotot garang pada Jovanka, membuat gadis itu menelan ludah.
"A-aku kan cuma nanya?""Ya lo pikir dulu dong pertanyaan lo barusan pake otak! Jangankan merebut, cinta sama laki orang aja udah salah besar."
"Awas ya lo kalo nggak denger nasehat gue yang kemaren-kemaren." Shinta seperti ibu ibu yang memarahi putrinya, lihat saja bagaimana Jovanka mengkerut takut sekarang. "Nggak usah bego. Nggak usah ngomong cinta cinta kotoran busuk. Lo harus tegas jadi cewek, kalo lo ditinggal nikah ya bales dong." Sewot wanita itu berapi api. "Cowok ganteng, kaya nggak cuma Rome doang. Diluar sana ada meskipun nggak banyak. Makanya kalo gue nyuruh lo kencan nurut, gini gini gue tau nyari suami yang terbaik buat lo."
Suara Shinta semakin nyaring, mungkin bagi Ditta dan Metta lengkingan yang dihasilkan dari ucapan Shinta tersebut seperti lagu pengiring tidur mengingat kedua anak itu tetap bisa tidur nyenyak.
Tapi untuk Jovanka, ia merasa akan ditelan mentah. Padahal pertanyaannya hanya sedikit, dan Shinta sudah mengungkit ungkit masalah kencan yang memang seminggu dua kali Shinta jadwalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
General Fiction18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...