Freesia. Diambil dari nama sebuah bunga. Yang kata ayahnya melambangkan Cinta, kebahagiaan, dan semangat. Nama yang sangat cocok untuk kepribadian Jovanka kecil pada masa itu. Ataupun sekarang yang selalu berusaha Jovanka tampilkan. Meski secara perlahan kebahagiaan yang ayahnya maksud di geruk habis oleh ibunya sendiri. Membuat Jovanka sanksi bahwa wanita yang pernah melahirkannya dulu menyanyanginya sebagai anak.
Ibunya boleh berubah, beliau boleh tidak peduli pada perasaannya. Asal Jovanka hanya memohon satu hal, untuk tidak melenyapkan sisa kenangan milik ayahnya. Karena Narendra pernah berkata, bahwa rumah yang dibangunnya bukan sekedar rumah untuk ditinggali. Namun istana yang dibangunnya untuk kedua orang yang dicintainya. Dan jelas itu ditujukan untuk Jovanka dan Marissa.
Lantas, apa yang membuat ibunya sampai setega itu menjual rumah peninggalan ayahnya?
Jawabannya tak Jovanka dapatkan, karena Marissa memilih bungkam. Padahal air mata Jovanka telah berderai, menunggu dengan hati teriris jawaban wanita yang paling disayanginya tersebut.
"Bunda, kasih Jovanka penjelasan kenapa rumah itu harus di jual?"
Jovanka lelah, sejak kepulangannya dari tempat tinggal Nathan, gadis itu belum beristirahat. Sepanjang perjalanan ia memikirkan banyak kemungkinan, perutnya serasa teraduk saat mencoba dijejalkan makanan. Tiba disini ia langsung meminta Nathan mengantarnya ke rumah ayahnya yang memang setelah Jovanka periksa didalamnya kosong. Jovanka sempat kebingungan, khawatir keluarganya tidak mendapatkan tempat untuk ditinggali. Tapi begitu Jovanka menelepon Cinta, menanyakan dimana mereka tinggal sekarang, secara mengejutkan keluarganya justru tinggal di rumah yang lebih mewah. Lebih luas dari rumah mereka yang lama.
Disitulah Jovanka merasa tenaganya tersedot tanpa sisa, tubuhnya seakan hanya daging tanpa tulang yang dipaksanya berjalan juga dipaksanya menerima kenyataan.
Mereka, khususnya ibunya menjual rumah ayahnya tanpa ada paksaan dari siapapun.
"Bunda?"
"Jovanka kamu kenapa sih? Rumah itu dijual karena memang terlalu kecil untuk kita tinggali bersama."
Kepala Jovanka tertoleh pada Bibinya yang menyahut. "Sekecil apapun rumah itu, tetap saja itu rumah Ayah, Bi. Ayah membuatnya untuk kami. Sekarang rumah itu mau diratakan, aku harus bagaimana?"
Seharusnya semua orang diruang tamu itu teriris mendengar bagaimana Jovanka bertanya dengan pilunya sambil menahan diri untuk tidak menangis. Tapi justru semuanya hanya diam. "Bunda, tolong batalkan jual belinya. Vanka nggak mau rumah ayah di jual, Vanka mohon, Bunda?"
Marissa tersedak oleh tangisannya, tak pikir panjang wanita itu langsung merengkuh Jovanka dalam pelukannya. Mengusap surai hitamnya sambil menggumamkan maaf berkali kali. Tapi maaf bukanlah apa yang diinginkan Jovanka saat ini, yang ia mau ibunya mengembalikan rumah itu. Jovanka sudah lama sekali tidak meminta apapun, jadi untuk kali ini saja ia meminta haknya sebagai seorang anak.
"Bunda sayang Vanka, kamu tau itu 'kan, Nak?" Marissa sudah melepaskan pelukannya. Sebagai gantinya ia usap air mata Jovanka.
Jovanka mengangguk, tapi ia tidak tahu apa rasa sayang ibunya sebesar sayang beliau pada Mega. Jovanka nyaris tidak menemukan kesamaan, karena sudah sejak lama keduanya telah dipisahkan oleh jarak yang terbentang secara samar.
"Bunda melakukan semua ini juga demi kamu. Bunda ingin sekali kita tinggal bersama, Bunda juga sudah menyiapkan kamar khusus untuk kamu tempati."
Mega yang malam ini juga berada di ruangan itu ikut menimpali. "Kak Jovanka harusnya berterimakasih sama Mama dan Papa. Berkat mereka kita bisa ngumpul dan tinggal di rumah super mewah ini. Terus Mama mau buka toko roti dan kue buat nyari penghasilan, supaya kak Jovanka nggak perlu capek kerja. Papa juga sudah mulai siap siap buka bengkel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
General Fiction18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...