Romeo meletakkan nampan dihadapan Jerome yang berisi lima butir pil berbeda warna dalam piring kecil dan segelas air putih.
"Minum obatmu, aku meminta dokter untuk meresepkannya."
Tapi Jerome tidak menggubrisnya, ia hanya menyuap makanannya dengan tenang. Setelah seharian kemarin dan hari hari sebelum ini pria itu hanya memasukkan roti kedalam perutnya, akhirnya pagi ini pria itu mau memakan nasi dan ayam goreng kegemarannya.
"Simpan saja kembali."
"Kamu sangat kacau, Bos. Kendalikan dirimu dengan obat itu."
"Saya tidak separah itu."
"Kalau begitu minum obat itu demi Vanka. Dia terlalu lemah untuk bisa menanggung jiwamu yang meledak ledak itu."
Sialnya Romeo benar, Jerome dan kegilaannya seharusnya tak pernah disatukan. Karena itu bisa menciptakan kengerian yang tak terbayangkan.
"Jovanka akan berubah keras kepala setelah ini. Dan kamu butuh obat itu untuk menghadapinya."Tanpa berdebat lagi Jerome meraup kelima pil tersebut dalam telapak tangannya. Lalu menenggaknya dalam bersamaan sebelum diluruhkan dengan air.
"Panggil dia sekarang." Yang Jerome maksud tentulah Jovanka. Jovanka mengambil keputusan yang tepat dengan tidak meninggalkan Penthose ini semalam. Pelayannya membawa gadis itu kesalah satu kamar, dan Jerome bisa pastikan bahwa Jovanka tidak akan tidur dan menghabiskan malamnya dengan hanya menangis.
Jovanka sangat keras kepala, dia marah setelah Jerome membuat Nathan mendapatkan banyak luka.
"Ini terlalu pagi untuk memarahinya, jadi saya hanya akan memanggilnya untuk sarapan."
Biasanya Romeo tidak secerewet ini, kecuali kapan dia harus berakting memainkan perannya.
Jerome hanya mengangkat alisnya sebagai respon akan sikapnya tersebut dan tidak menegur akan kekurangajarannya karena sudah menasehatinya.Kemudian Romeo pergi dan kembali ke ruang makan tak lama kemudian. Serta tak ketinggalan Jovanka yang ikut bersamanya. Tapi ada yang aneh dengan gadis itu, Jovanka terlihat takut dan bersembunyi dibelakang tubuh Romeo.
Bahkan saat Romeo menarik kursi dan mempersilahkan Jovanka duduk di seberang Jerome, gadis itu malah menunduk menatap meja.
Pelayan segera datang. Membalik piring di depan Jovanka dan mulai mengisi nasi dan lauk. Bukannya bernapsu melihat makanan enak di atas meja Jovanka malah merasa perutnya seperti diaduk. Terakhir ia makan saat di dalam pesawat sebelum mendarat, setelahnya Jovanka tidak memakan apapun.
"Habiskan sarapanmu, saya tidak mau bicara dengan orang yang berkemungkinan besar akan pingsan." Jerome mulai bersuara setelah dengan isyarat ia menyuruh siapapun pekerjanya meninggalkan ruang makan. Hanya mereka berdua disana, dengan aura dingin yang mencekam. Seperti keintiman yang selama ini terjadi diantara keduanya hanya ilusi.
"Saya tidak datang untuk menumpang makan disini. Saya hanya mau mendengar keputusan Bapak soal rumah Ayah, saya."
"Keputusanku tentu saja meratakannya menjadi tanah. Saya tidak merasa merampas hak siapapun, jual beli rumah itu dilakukan secara legal dan saya punya bukti hukum yang kuat jikapun Nathan mau memperkarakannya di meja hijau."
"Kenapa harus tanah dan rumah Ayah? Kenapa Bapak melakukan ini pada saya?"
Selama ini Jovanka memiliki Alan, Damar, Nathan, dan Yoga. Empat pria terhebat dalam hidupnya, empat orang yang berada dibarisan terdepan dalam melindunginya.
Tanpa sadar Jovanka bergantung pada keempatnya. Kini juga begitu, tak ada tempat baginya mengadu kecuali kepada salah satu keempatnya. Tapi melihat apa yang dilakukan Jerome terhadap Nathan, sepertinya mulai sekarang Jovanka akan mencoba untuk tidak melibatkan siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
General Fiction18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...