Chapter 30

63 6 2
                                    

Shinta sedang mencatat bahan bahan yang sekiranya butuh ditambah. Atau biji kopi dan teh yang persediaannya mulai menipis. Ada pula yang butuh dipesan khusus, lantaran kopi maupun teh tersebut biasanya merupakan kopi mahal yang di impor dari negara tetangga.

Shinta tak memiliki cukup banyak waktu mengurusi kafenya semenjak si kecil lahir, lagi pula uang suaminya cukup membuatnya hidup kaya. Sebagai perempuan ia tidak mau repot bekerja sebenarnya, tapi menutup kafenya Shinta akan sangat berdosa. Sebab akan menambah jumlah pengangguran jika ia memecat pegawai yang bekerja disini. Tapi Shinta juga tidak mau bertambah tua bila harus memikirkan tentang kafe, ia ingin menjadi si nyonya kaya raya yang bisa memerintah sesuka hati tapi uangnya datang dengan sendirinya.

Yah! tak masalah mengkhayal bukan? Toh itu gratis. Pokoknya Shinta ingin menjadi wanita kaya raya tanpa repot dan capek.

Seperti Lala contohnya. Entah kebaikan apa yang pernah perempuan itu perbuat selama menjadi manusia, yang pastinya hidup sahabat merepotkannya itu sangat beruntung. Sudah suaminya kaya, tampan lagi. Merengek sedikit saja pasti Yoga bisa memindahkan pesawat ke rumahnya. Mau keliling dunia tinggal kedip. Ah! Shinta jadi ingin memaki saking irinya pada perempuan itu.

"Gue sumpahin lo miskin, La. Terus gue angkat lo jadi babu gue seumur hidup!" Yang disumpahi tentu saja tidak ada disini. Shinta hanya kesal saja karena Lala menelepon dan meminta dibelikan es cream. Sumpah itu hal yang gampang sebenarnya kalau saja Lala tidak meminta es cream tersebut dikirim langsung ke Jerman. Jerman loh kawan-kawan, gimana Shinta tidak emosi coba? Apalagi sang suami tercinta malah menyanggupi dan rencananya akan berangkat ke Jerman besok. Kurang gila apalagi? Ish!

"Nggak baik mendoakan hal buruk kayak gitu mbak Shinta."

"Diem lo! Lo sama aja!" Shinta meradang. Seakan menemukan tempat pelampiasan, wanita itu sampai melotot pada Jovanka yang baru saja menasehatinya.

"Kan aku cuma ngomong."

"Nggak usah ngomong kalau gitu."

"Idih, mbak Shinta lagi salah makan pasti?"

"JOVANKA!"

"Astagfirullah." Jovanka mengelus dadanya setelah diteriaki.

"Gue sumpahin juga lo, semoga Rome nggak pulang-pulang sekalian. Biar lo menjomblo seumur hidup dan jadi perawan tua."

"Tuh kan mbak Shinta jahat. Tapi sumpahnya orang jahat pasti nggak akan jadi kenyataan." Ucap Jovanka tak takut. Shinta kalau marah ataupun sedang kesal pasti tak luput menyumpahi orang, sesudahnya pasti akan meminta maaf bila sampai Damar tahu dan menegurnya. Kadang juga ada yang mengadu langsung pada Damar, karena hanya pria itu yang paling ditakuti oleh Shinta. Damar bukanlah laki laki pemarah atau dingin, sebaliknya dia justru sangat baik dan bijaksana. Cara menegurnya pun juga sangat lembut, disertai nasehat. Shinta yang barbar pasti akan langsung menurut.

"Yah tapi sebenarnya nggak usah disumpahin juga tuh si brengsek nggak pulang pulang."

"Mbak Shinta," Jovanka merengek, wajahnya merenggut pada Shinta yang malah tertawa puas selayaknya ibu tiri jahat di sinetron. "Aku aduin Mas Damar loh ya?"

"Tukang ngadu." Cibir Shinta sambil memberikan buku beserta pulpen pada Jovanka agar melanjutkan pekerjaannya.

"Biarin, habisnya mbak Shinta jahat sama aku. Ngomong jelek juga soal Pak Rome."

"Lah emang kenyataannya tuh si brengsek nggak balik kan?"

Jovanka mati kutu untuk menjawab, ia bahkan butuh berfikir sesaat. "I-itu kan karena Pak Rome ada urusan di Jerman. Mbak Shinta sendiri yang bilang sama aku."

"Gue nyesel atas apa yang pernah gue sampaikan sama lo." Shinta berdecak penuh kemirisan. "Tau gitu gue nggak usah bilang apa apa biar lo bisa move on dari tuh cowok. Gue sendiri aja ragu apa dia masih inget sama lo apa enggak."

Belenggu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang