36. ° Kehidupan Baru °

66 9 4
                                    

Hari ke 4869 aku berada di dunia ini, menjajal aneka rasa kehidupan. Hingga aku memutuskan untuk mencampakkan para pelangi itu selamanya. Ya, jangan salah, spesifikasi luar biasa dari mereka tidak cukup menyilaukanku untuk tetap ngotot bersama mereka. Aku sudah telanjur jatuh menyesal menangisi berhari hari kebodohanku selama ini ditambah keputusanku membuat surat selamat tinggal yang dramatis itu.

Makanya, Ciel menawariku untuk memulai hidup baru, sambil memperhatikan dari bayang bayang, menghabiskan sisa waktuku. Tetapi, mana mau aku untuk mengambil opsi lain ketika fiksi yang jadi kenyataan ada di depanku!

Bohong kalau aku tidak ngiler melihat ketampanan Asano duduk di depanku dan belajar bersamaku. Apalagi ketika dia meninggalkanku di Inggris ini dan memulai hubungan jarak jauh ini, nafsuku untuk bersekolah di Kunugigaoka untuk menemuinya makin besar.

Apa? Aku tidak melupakan para pelangiku kok! I-itu yah ... kalian tau kan ... wajar untuk seorang penggemar animasi dariku memiliki stok orang idaman yang mungkin tak terhitung jumlahnya. Aku ingin setia, tapi aku juga ingin realistis kalau aku tak mungkin bisa menemui mereka lagi setelah mengucapkan selamat tinggal melalui surat.

"Name, bagaimana di sana? Apa kau akhirnya sudah memutuskan?"

Suara Asano mengembalikanku pada kenyataan, suara yang tetap indah meski kalah jauh dengan aslinya. Yah, meski waktu kami berbeda jauh, dia selalu mau menerima panggilanku, bahkan ketika aku tidak meneleponnya, dia mengirim pesan. Dan Asano juga mempedulikan soal itu juga.

Tersenyum tipis, aku menjawabnya, "Belum, yah aku masih kesulitan melepas diri dari hal sebelumnya ..."

Yah itu juga yang mengangguku. Akhir akhir ini, mimpi yang bercampur ingatan itu benar benar menyesakkan. Aku memang tidak mengingat jelas apa itu, tetapi aku kesulitan untuk tidak menangis. Jadi, kantung mata Ciel yang menebal itu, sebagian juga ulahku.

Apa aku akan bisa bersekolah dengan normal lagi? Tanpa memikirkan kemungkinan aku akan disakiti lagi? Bagaimana kalau ada orang seperti Michelle yang akan terus mengejarku sampai aku menuju ke neraka?

Salah satu alasanku kesulitan menemui mereka ya karena itu juga. Aku terlalu ... tidak stabil. Menimbang ketika aku melihat sebuah bola basket aku lansung menangis, pucat saat melihat kubangan air besar, hingga mimpi buruk yang terus berulang seperti kaset rusak.

"Itu memang bukan sesuatu yang bisa dihilangkan dari pikiran begitu saja," Terdengar suara ketukan di sana, sepertinya Asano mengetuk ngetukkan pensilnya seperti biasanya saat dia belajar, "Memang hal lebih baik untukmu bersekolah secara privat. Tapi, kau tidak bisa terus menghindar karena suatu saat kau pasti akan harus kembali berbaur dengan yang kau takuti itu."

Asano memang benar. Aku harus mengatasi itu karena aku tidak tau kalau nanti ketika kembali di dunia nyata, bisa saja traumaku masih belum pulih dan malah menganggu kehidupanku.

"Dan kau cukup bodoh. Jadi sekolah privat dengan guru standar belum cukup. Lebih baik aku yang terus membantumu karena aku adalah siswa elit di sekolah elit terkenal," Kepercayaan dirinya memang luar biasa. Aku tidak menyangkal itu, ketampanan Asano saat menjelaskan sudah cukup membuatku fokus, meski dia sangat tegas melebihi Midorima.

Di atas ranjang tidurku, aku duduk memeluk kakiku, tanganku masih memegang ponsel yang berbicara itu, "Lalu ... jika aku memilihnya, apa menurutmu aku bisa bertahan?"

Asano yang biasanya hanya mendengarkanku bercerita banyak hal di Inggris ini, diajukan pertanyaan berat seperti ini, dia harusnya mengajukan protes. Tetapi, yang keluar dari benda persegi itu adalah suaranya yang tenang.

GTDA (Kuroko No Basuke x Reader)  ■ Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang