24. Pulang

137 7 0
                                    

"Gue kira lo cewek anggun."

Gladis berbalik mendengar suara itu dari belakangnya. Perkataan Raka mendapat senyuman smirk dari gadis tersebut.

"Jangan biarin diri lo diinjek sama orang lain." Gladis pun menjawabnya.

Raka dan Gladis berjalan beriringan keluar sekolah membuat sebagian besar murid di sekolahnya memperhatikan mereka.

"Lo langsung balik?" Tanya Raka.

"Lo lupa?"

"Oh sorry."

Raka merogoh saku celananya mengambil kunci motor dari dalam sana.

"Hey!"

"Tas ungu!"

Yang di panggil pun menoleh.

"Ayo."

"Hah?"

"Gue anter."

Teriakan Raka semakin mengundang banyak perhatian. Raka menyalakan mesin motornya lalu motor itu berhenti di depan Gladis.

"Sebagai tanda terima kasih gue."

"Yakin lo mau anter gue?"

"Kenapa engga?"

Tiba-tiba beberapa murid perempuan berlarian menghampiri Raka dengan membawa beberapa makanan dan minuman untuknya.

"Kak Raka, ambil ini."

"Raka gue minta nomor wasaf dong!"

Gladis mundur ke belakang dan kembali berjalan karena Raka di kerumuni oleh pemujanya. Semenjak kejadian Raka memberi pelajaran kepada gurunya yang selalu melakukan kekerasan, ia menjadi semakin populer di kalangan perempuan di sekolahnya.

"Sorry, permisi." Dengan nada dingin Raka tidak menerima apapun dan menyalakan mesin motornya pergi menjauh dari mereka.

"Naik."

"Gak, nanti fans cewek lo ngamuk sama gue. Gue males berantem."

"Ternyata gini yah jadi populer."

"Dih, seneng lo?"

"Kagak, ribet. Buruan naik!"

"Aduh tapi gue masih sayang sama rambut gue kalau gue balik sama lo bisa-bisa rambut gue botak karena di jambakin fans fans lo."

"Nanti gue beliin wig."

"Ppffhhtt hahahaha ogah."

"Yaudah lo pake rambut gue aja, biarin gue yang gundul."

"Maksa banget sih lo. Yaudah kalau maksa jaminannya rambut lo, ya!"

"Siapa takut."

Gladis pun akhirnya berhasil dibujuk oleh Raka yang mengajaknya untuk pulang bersama. Ah tidak, Raka mengantarkan Gladis ke tempat kerjanya.

"Itu cowok lo? Lo nemu dimana, ganteng banget." Bisik teman kerjanya.

"Bukan."

"Gak percaya gue."

"Ya emang bukan siapa-siapa gue, kenapa lo, naksir juga sama dia?"

"Wah jelas lah gue naksir. Minta nomornya dong."

"Minta sama orangnya lah ngapain sama gue."

"Ya lo kan temennya."

"Dibilang bukan siapa-siapa."

"Bener nih, ya? Kalau gue jadian sama dia jangan nyesel. Nih liat dalam satu menit aja gue bisa dapet nomornya dan taklukin cowok itu."

Gladis menggelengkan kepalanya dengan sifat genit teman kerjanya itu.

"Ekhem, permisi kak."

"Buset, jutek bener." Gumamnya pelan.

Raka melirik ke arahnya.

"Aku punya pertanyaan buat kakaknya. Besok hari apa ya, kak?"

"Lo punya hp?"

"EH PUNYA KAK, BERAPA NOMOR KA-"

"Coba buka hp lo. Liat besok hari apa?"

"Minggu."

"Itu."

"Aish kenapa gue sendiri yang jawab, asyem." Gumamnya pelan.

"Hehehe hehe besok hari minggu. Hari minggu itu weekend kak, tapi kalau cinta aku ke kamu tuh will never end ahahahaa. Kak wasafnya berapa, kak?"

Raka mengambil ponsel milik teman kerja Gladis dan menuliskan nomornya di kontak. Betapa bahagianya teman kerja Gladis itu karena misinya merayu Raka berhasil.

"GLADIS HAHA GUE DAPET NOMORNYA! Apa gue bilang, gue bisa naklukin cowok ganteng hanya dalam waktu satu menit."

"Iya deh iya, selamat."

Emang semudah itu naklukin preman? -batin Gladis.

Dirasa toko ice cream dimana Gladis bekerja sedang tidak ramai pengunjung dan ia pun selesai melayani pelanggannya. Gladis menghampiri Raka dan berbincang sebentar.

"Kok lo gak balik?"

"Kemana?"

"Ya ke rumah lo lah."

"Rumah? Rumahnya udah hancur."

Galdis yang mendengar itu pun tersenyum singkat. Raka mengangkat sebelah alisnya bingung.

"Ah sorry, gue cuma berasa liat diri gue dalam diri lo."

"Maksud lo?"

"Gue juga males banget balik ke rumah karena rumah gue juga hancur."

"Sehancur apa sampai lo gak mau balik ke rumah? Ah sorry, maksud gu-"

"Bokap gue udah jadi bintang di atas sana dan nyokap balik lagi ke pekerjaannya yang dulu, dia gak pernah peduli sekali pun sama gue."

Raka hanya diam menatap Gladis yang sedang bercerita. Sebenarnya ia mempunyai pertanyaan di benaknya "pekerjaan yang dulu" memang apa pekerjaan Ibu Gladis. Tetapi Raka tidak mungkin menanyakan masalah pribadi bahkan hal sensitif kepadanya.

"Kalau lo? Lo kenapa sampai gak mau balik ke rumah?"

"Orang tua gue cerai. Bokap gue nampar nyokap dan cerain nyokap gue. Tanpa bokap tau disana ada gue yang menyaksikan itu."

"Mungkin ada suatu masalah besar yang lo gak tau apa masalahnya."

"Walaupun nyokap gue di tampar dengan keras. Gue yakin beliau gak akan ngelakuin kesalahan besar karena gue tahu betul nyokap gue orang yang baik. Tapi gue gak habis pikir kenapa bokap ngelakuin kekerasan itu."

"Ya itu tadi mungkin ada masalah yang lo gak tau. Menurut gue, lo jangan menyimpulkan ini dengan hanya dari sudut pandang lo."

"Gimana pun juga gue gak menerima kekerasan apalagi sama perempuan."

"Terus kemarin lo gelut itu apa? Itu bukan kekerasan? Raka, gue tahu mungkin lo marah dengan perlakuan bokap lo terhadap nyokap lo itu tapi gue yakin semua itu ada alasannya. Apa lo gak mau coba tanya sama bokap lo tentang apa yang terjadi?"

"Buat apa? Gue udah liat jelas dengan mata gue sendiri."

"Mungkin yang lo lihat itu berbeda dari kebenarannya. Sorry kalau gue lancang, lo harus selesain kesalah pahaman ini. Gue yakin banget ini cuma salah paham. Lo tinggal sama siapa?"

"Bokap."

"Sekarang lo balik, temuin bokap lo. Ngobrol sama beliau."

"Gak per-"

DRRT DRRT..

Gladis tidak sengaja melihat notif panggilan dari Seno, Ayah Raka.

"Balik, Raka. Itu pasti bokap lo, kan? Masalah lo masih bisa di selesain Raka. Jangan sampai lo ngalamin apa yang gue alamin, kehilangan orang yang paling dicintai."

Laki-laki yang masih memakai seragam sekolah pun menurutinya, ia langsung pulang setelah Gladis mengingatkannya.

"Nama gue Gladis bukan tas ungu!!" Teriak Gladis.

AYAH || THE BOYZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang