"Gue malah takut, saat lo liat sisi baik Arhan, lo jadi orang yang beda, Ily."
Perkataan Prisil tiba-tiba menjadi trending topik di kepalaku. Sejak tadi, kalimat itu terus berulang muncul.
Semua terjadi karena perubahan sikap Arhan yang ... entahlah, seharian aku pun dibuat bingung dengan sikap Arhan yang mendadak berubah. Dia menjadi lebih ... lebih baik?
Tadi pagi, aku tidak sengaja lupa memberikan garam pada sup Arhan. Rasa sup itu jelas hambar, tapi Arhan tidak protes seperti biasanya.
Arhan menghabiskan sup itu meski rasanya tidak enak dan bersikap seolah aku tidak membuat kesalahan.
"Tuan Arhan itu sebenarnya perhatian, cuma kadang malu buat nunjukin," ujar Bi Iyem saat kami tengah memasak di dapur.
Ingin rasanya mulutku menyahut dan membantah semuanya, tapi yang terjadi kepalaku malah mengangguk pelan. Apa-apa ini? Aku kaget sendiri.
"Nanti lama-lama Neng Khayla bisa liat sendiri kok ...." tambah Bi Iyem.
Aku memutuskan untuk tidak memikirkan ini dan menganggap wajar jika manusia bisa berubah.
Mungkin, Arhan iba karena melihatku sakit dan berusaha untuk tidak terlalu kejam padaku. Hanya itu. Hingga dua hari berikutnya, lagi-lagi sikap Arhan mengusik pikiran tenangku.
"Sekarang salah apa lagi ? Kenapa adonannya gak ngembang ?" gerutuku saat lagi-lagi aku gagal membuat adonan donat kentang.
Aku sudah mengikuti semua langkah-langkah dari resep mau pun melihat langsung tutorial di youtube.
"Semuanya sudah sesuai petunjuk, tapi kenapa masih gagal?"
"Ada satu yang salah ...." Entah darimana Arhan tiba-tiba sudah ada di belakangku. Aku refleks mundur menjauh darinya yang maju untuk melihat adonan donat yang kubuat.
"Pake ragi koral atau ragi instan?"
Ragi koral ? Aku refleks mengerjap, bingung. Aku tidak tahu jika ragi memiliki banyak jenis.
"Masud saya pake ragi kering atau ragi instan ?" jelas Arhan dan aku masih tetap tidak mengerti.
Karena bingung jenis ragi apa yang aku gunakan, aku langsung saja memberikan ragi yang kugunakan pada Arhan. Arhan melihatnya sesaat sebelum mengangguk pelan.
"Ini namanya ragi koral atau disebut juga ragi kering. Aromannya khas dan butiran ragi yang besar, berbeda dari ragi instan, " jelas Arhan. "Ragi jenis ini baru bisa berfungsi setelah dilarutkan di dalam air hangat kuku, selama 10-30 menit."
"Tapi, tutorial yang saya tonton atau resep yang saya baca, katanya langsung aja dituangin ke adonan."
"Iya itu kalo kamu pake ragi instan. Ragi instan punya butiran yang lebih halus ketimbang ragi koral, jadi gak perlu dilarutkan dan bisa langsung pake."
"Oh gitu ..." Aku spontan berdecak pelan. "Pantes aja dari kemarin gagal terus ...."
Arhan mengangguk pelan. "Jadi larutkan dulu raginya dengan perbandingan 1 : 4. "
"1 banding 4? Maksudnya gimana Tuan? Apanya yang satu dan empat ?" tanyaku. Aku hanya tidak ingin salah lagi, jadi semuanya harus jelas.
Arhan menghela napas panjang, aku pikir kesabaran Arhan mulai terkikis karena kelemotan otakku. Namun, diluar dugaan, Arhan malah menyingkap kemeja lengannya dan berkata, "Biar saya ajarin kamu buat donat kentangnya ...."
***
"Tolong ambilkan lagi, tepung di dalam lemari," titah Arhan yang masih sibuk mengulen adonan tepung.
Aku yang sembari tadi sibuk menjadi asisten chef dadakan Arhan dengan sigap langsung mengambil tepung di lemari.
Beruntung lemari itu tidak terlalu tinggi, jadi tidak ada drama kesulitan mengambil tepung di lemari.
"Mana tepungnya, Khayla ?" Arhan kembali bersuara.
Sejujurnya aku menyesal membiarkan Arhan mengajariku membuat donat. Donatku mungkin berhasil, tapi jelas aku tidak akan selamat dari sifat perfeksionis Arhan yang selalu ingin semuanya sempurna
"Iya bentar, Tuan. Ini tepungnya saya buka dulu ..." sahutku, repot sendiri membuka bungkus tepung.
Gunting yang aku gunakan rupanya tumpul. Namun, Arhan terus mendesak hingga aku bahkan tak sempat mengambil gunting lain.
"Mana?" Arhan terdengar mulai tidak sabar.
"Bentar, Tuan ..." sahutku lagi sembari berusaha membuka bungkus tepung yang lumayan keras ini.
"Khayla ...."
"Iya, Tuan, sabar .... " Aku mulai kesal dengan sikap buru-buru Arhan yang malah membuatku jadi panik sendiri.
"Ini saya lagi berusaha buka bungkusnya dulu," gerutuku sembari menarik guting tumpul yang malah tersangkut di bungkus.
"Kenapa lama sekali ?" protes Arhan.
Karena terburu-buru, aku tanpa sadar menarik gunting dengan kencang dan boom .... tanpa kuduga, tepung menyembur keluar tepat mengenai wajahku.
"Saya minta tepung di tuang ke wadah, bukan ke wajah kamu ..." ledek Arhan.
Aku mengerjap seperti orang bodoh sedangkan Arhan tertawa puas melihatku berubah cemong dengan wajah full tepung.
Benar kata bunda, segala sesuatu itu tidak boleh dilakukan dengan terburu-buru dan dalam keadaan kesal. Hasilnya pasti akan buruk. Seketika aku kembali merindukan bunda. Bunda sedang apa di sana? Aku rindu pelukan bunda ...
"Kamu nangis ? " tanya Arhan, lebih tepatnya terdengar seperti ledekan selanjutnya. Aku segera menghapus air mataku yang turun begitu saja.
"Saya gak nangis," elakku cepat. Arhan malah menaikan alisnya, tidak percaya..
Kenapa dia selalu ingin melihatku kesal sih? Tanpa pikir panjang, aku menyemprot tepung ke wajah Arhan. Arhan terbatuk kaget. Aku tertawa puas. Sekarang seimbang.
"Khayla !" seru Arhan sembari menyingkap matanya yang tertutup tepung.
"Apa-apaan ini Khayla ... apa kamu pikir ini lucu—"
Kemarahan Arhan terhenti saat tiba-tiba, Fizi yang entah dari mana, lewat dan berteriak kencang.
"Ada hantu di dapur ...." teriak Fizi sembari lari panik.
"Hantu ? Di mana hantu?" Aku dan Arhan refleks mengedarkan pandangan, ikut panik.
Namun, semenit berikutnya, kami menyadari sesuatu. Kami saling menoleh dan seketika tertawa melihat wajah satu sama lain. Kita hantunya ....
"Fizi sangat suka donat kentang. Kamu harus memberikan donat ini pada Fizi, sebagai permintaan maaf karena kesalahpahaman tadi," ujar Arhan setelah kami membereskan kekacawan yang ada.
"Tuan dari tadi mikirin itu juga ?"tanyaku spontan. Sejujurnya aku kaget mengetahui fakta kalo Arhan memikirkan hal yang sama denganku.
"Memangnya itu aneh?" sahut Arhan membuatku kehilangan kata-kata.
"Hem, bukan begitu. Saya pikir, Tuan tidak akan ambil pusing soal Fizi. Beberapa hari saya di sini, Tuan terlihat—"
"Tidak peduli?" sambung Arhan. Aku mengangguk membenarkan.
"Ya, itulah kelemahan saya dan semua orang membenci saya karena itu. Termasuk kamu, kan?"
Aku mengerjap. Lagi-lagi kehilangan kata-kata. "Maaf ...."
"Tidak masalah. Saya sudah terbiasa dengan itu. Kamu berikan donat ini sendiri saja. Saya tidak ingin Fizi merasa tidak nyaman."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Atau Potong Gaji ?!
ChickLit"Nikah atau potong gaji ?!" Pertanyaan yang terus Khayla dengar setiap kali bertemu bosnya, Arhan. Jika kalian berpikir, Arhan itu semacam om-om berperut buncit dengan wajah yang tak enak di pandang serta otak mesum yang menjijikkan. Kalian salah be...