Gina terkekeh melihat wajah panik kakaknya. "Oke akan saya kembalikan setelah saya bacakan suratnya—""Jangan!" Arya menggeleng serius.
Gina terlihat makin bersemangat membaca surat itu. "Isinya ..."
"List jokes terbaru ...." Gina langsung beralih menatap Arya yang sedamg mengaruk tengkuk kepalanya malu. "Serius ini surat cuma isi list jokes?" gumam Gina setelah membaca cepat surat tersebut.
"Iya, makanya kakak bilang jangan di baca." Kali ini Arya berhasil merebut kertas itu dari Gina. "Kalo kamu sudah baca entar pas kakak ngejokes udah gak lucu lagi."
Aku dan bi Iyem tertawa mendengar jawaban jujur Arya. Sedangkan Gina bergidik malu.
"Lagian Kak Arya buat apa ngejokes ..." sahut Gina.
"Ya, biar kamu selalu ketawa. Apa sih yang gak buat peri kecil, kakak ...."
"Ih, apa sih Kak ..." protes Gina. "Lama-lama geli dengar peri kecil ..."
"Seharusnya kamu bersyukur punya kakak kayak saya, udah pinter masak, sayang adik, pinter ngejokes lagi, dan yang paling utama saya tampan ..."
"Tampan ...."
Mendenger perkataan Arya itu, seketika aku teringat akan pertemuan pertamaku dengan Arhan. Yap, image Arhan dimataku saat itu manusia dengan ambang percaya diri yang luar nalar manusia.
"Bagaimana bisa di hari pertama kamu telat?"
Aku tertunduk dalam, karyawan mana yang tidak panas-dingin saat melakukan kesalahan dan ditegur langsung oleh pemiliki kekuasaan tertinggi di kantor, Arhan.
"Maaf, Bos ... tadi saya kejebak macet."
"Tidak ada alasan apa pun yang bisa diterima. Telat, tetap telat," sahut Arhan dingin.
"Saat kamu melamar di kantor ini, seharusnya kamu sudah memperhitungan semuanya dari awal. Jika kamu tahu daerah sini rawan macet seharusnya kamu mencari cara agar tidak terjebak macet.
"Ada banyak karyawan di sini yang rumahnya berada di daerah yang rawan macet, tapi mereka tidak telat seperti kamu. Kamu tahu kenapa? Karena mereka menggunakan otak yang Tuhan berikan."
Jleb! Saat itu aku merasakan seperti sudah akan pingsan di tempat. Tubuhku bergetar hebat.
"Tidak ada toleransi bagi mereka yang telat," sambung Arhan.Saat itu, rasanya setengah nyawaku sudah hilang. Aku pasrah akan dipecat di hari pertama berkerja.
"Kecuali ..."
Aku spontan mengangkat kepala, merasa ada satu sercecah jalan yang siap aku lakukan demi menebus kesalahanku.
"Nikah dengan saya."
Itu pertama kalinya Arhan mengatakan hal seperti itu dan aku seperti orang bodoh mencerna lama perkataan Arhan. Setelah hari itu, nyaris setiap hari aku mendengar Arhan berkata hal serupa.
"Nikah atau potong gaji?"
"Maaf, Bos."
"Saya heran, kenapa kamu nolak saya? Apa yang kurang dari saya? Saya pinter masak, saya sukses, dan yang terpenting saya sangat tampan."
Aku tidak bisa berhenti tertawa mengingat itu. Pede tingkat kota.
"Tuh liat Khayla ketawa setuju," selor Arya tiba-tiba.
"Gak mungkin," sahut Gina. "Yang ada Khayla ketawa karena Kak Arya over pede. Iyakan, Khayla?"
Aku yang masih terjebak dalam ingatan masa lalu, spontan menjawab, "Iya, over pede, persis Arhan."
"Arhan?" Arya dan Gina memastikan serempak.
Dan dengan bodohnya aku menjawab 'iya' tanpa pikir panjang. Hingga Gina dan Arya diam dan seketika dapur menjadi senyap.
"Khayla, dari tadi kamu lagi mikirin tentang Arhan ya?" tanya Gina memecah kesenyapan yang terjadi.
***
03.00
Aku baru saja selesai melakasanakan salat tahajud plus witir. Kemudian dilanjutkan dengan tadarus Al-Quran.
Saat tengah asik mengaji, aku mendengar suara grasak-grusuk di muka luar pintu kamarku.
Tanpa pikir, panjang aku segera membuka pintu itu.
Bruk ... aku nyaris berteriak mendapati apa yang sekarang berada di depanku.
"Astagfirullah, Kak Arya ngapain di depan pintu kamar saya?" tanyaku yang begitu sudah berhasil mengendalikan diri.
Arya segera menarik diri menjauh dari depan kamarku. Setelah pintu kamar sengaja aku tutup dari luar.
"Tadi yang ngaji di dalam kamar kamu ya?" tanyanya.
"Iya .... terus?"
Arya spontan mengaruk pelan tengkuk kepalanya. "Maaf, jika saya menganggu kamu, sejujurnya sejak semalam saya tidak bisa tidur. Saya sulit tidur di tempat baru."
"Jadi saya iseng mau ke kamar Gina, terus gak sengaja dengar kamu ngaji. Suara kamu bagus banget, saya jadi refleks dekat telinga ke daun pintu buat dengerin lebih jelas," jujur Arya.
Seketika aku seperti dajevu, apa yang Arya lakukan persis sama seperti yang aku lakukan di depan kamar Arhan.
"Apa reaksi gue bakal kayak Kak Arya, kalo ketahuan Arhan ya?"
Diam-diam aku terkekeh.
"Maaf jika saya menganggu kamu. Sebaiknya saya pergi sekarang," pamit Arya.
"Kamu gak marah sama saya, kan?" Arya tiba-tiba kembali berbalik. "Tolong jangan kasih tahu Gina. Bisa habis saya dirujak dia ...."
"Plis, saya janji gak akan jadi pendengar ilegal lagi."
Tawaku seketika pecah. Arya terlihat bingung.
Ingin rasanya aku ceritakan bahwa kelakukan kita sama ... hanya bedanya. Aku gak ketahuan dan dia ketahuan. Namun, tawaku tidak kunjung selesai.
"Khayla, kamu kenapa tiba-tiba ketawa? Kamu baik-baik aja, kan? Apa jangan-jangan kamu kesurupan?
Aku makin tertawa. Tanpa aku duga, Arya yang panik tiba-tiba berteriak ...
"Tolong, Khayla kesurupan!"
"Eh ...."
Rasanya aku ingin menghilang saja sekarang ... masalah baru sepertinya menantiku di pagi hari ini ....
***
Holla guys
Btw, happy 50 rb day ... hahahah kemarin sih sebenernya, cuma kemarin lupa, terus udah keburu update cerita ...
So ...
Happy reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Atau Potong Gaji ?!
ChickLit"Nikah atau potong gaji ?!" Pertanyaan yang terus Khayla dengar setiap kali bertemu bosnya, Arhan. Jika kalian berpikir, Arhan itu semacam om-om berperut buncit dengan wajah yang tak enak di pandang serta otak mesum yang menjijikkan. Kalian salah be...