XXXVIII

4K 199 4
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, aku masih belum memejamkan mata barang semenit pun.

Rasa kantukku semalaman teralihkan dengan kesibukan yang ada, meski menolak dirawat di rumah sakit, Arhan akhirnya setuju untuk dirawat di rumah oleh dokter pribadinya.

"Neng Khayla tidur saja dulu, biar bi Iyem yang ngurus sekarang," kata Bi Iyem semalam.

"Gak papa, Bi. Bi Iyem istirahat dulu aja malam ini. Biar malam ini saya yang urus." Aku jelas tidak tega melihat bi Iyem yang sudah berusia harus bergadang.

Aku menyulap ruang tengah menjadi ruang rawat yang layak untuk Arhan. Ini menjadi syarat mutlak Arhan mau dirawat di rumah.

Arhan masih bersikeras melarang orang untuk masuk ke kamarnya dan juga enggan menempati salah satu kamar tamu yang ada.

"Ngantuk ...." gumamku dan memilih duduk di sofa sembari memperhatikan dokter yang sedang memeriksa kondisi Arhan. Tanpa aku sadari, kepalaku menyender di sofa ... tidak butuh lama mataku yang berat perlahan, sayup-sayup mengantup lalu ....

Prak !

Suara keras menyentakku dari tidur. Dengan cepat aku mengedarkan pandangan ke arah kasur rawat Arhan dan mendapati Arhan seperti maling yang tengah tertangkap basah.

Arhan berhenti berjalan, mematung sesaat dengan posisi kaki melangkah. Mata Arhan menatap gelas berisi air yang aku letakkan di atas nakas, sudah jatuh ke lantai. Seolah sedang memarahi gelas itu yang sudah membuat aksinya tertangkap basah.

"Biar saya yang bersihkan Tuan," kataku cepat dan buru-buru mengambil alat pembersih. Dua menit berikutnya aku telah selesai.

"Tuan mau ke mana, biar saya antar ...." Aku sudah bersiap meraih lengan Arhan. Arhan menatapku aneh.

"Tidak perlu," katanya sembari menjauhkan lengannya dariku. "Saya bisa sendiri."

"Tapi Tuan masih sakit ... " Aku bersikeras. Jika Arhan kenapa-napa lagi, aku yang repot.

Dokter pribadi Arhan memintaku untuk ekstra membantu Arhan agar jahitan di lengan dan lututnya cepat kering.

"Tuan mau ke mana ? Biar saya anterin." Kali ini aku harus tegas menghadapi pasien keras kepala seperti Arhan.

"Saya mau ke ...." Arhan menghela napas keras. "Lupakan!"

"Kenapa? Tuan mau ke mana? Biar saya anterin pake kursi roda ..." desakku.

Arhan menatapku tajam. "Saya mau ke kamar mandi. Kamu mau nganterin?"

Seketika pipiku menghangat. Jelas ini diluar perkiraanku. Aku tergagap bingung harus menjawab apa.

"Tidak masalah," jawabku berusaha profesional. "Maksud saya, saya akan antar tuan ke kamar mandi dengan kursi roda," tambahku cepat agar tidak salah paham.

Arhan menghela napas panjang. "Sudah saya bilang lupakan saja ...."

Arhan kembali berbaring ke kasur dan menutup matanya. "Sekarang saya tidak berminat ke kamar mandi lagi," tambah Arhan.

"Tapi, gak baik nahan pipis atau pun pup, Tuan—" Arhan tiba-tiba menoleh dengan tatapan tajam. Aku seketika diam.

"Siapa yang mau buang air ?" sahutnya tajam. "Saya cuma mau ambil wuduh. Tadinya saya ingin salat duhha, tapi sepertinya untuk sekarang tidak jadi."

"Saya bisa antar Tuan sekarang—"

"Tidak perlu !" seru Arhan, matanya menatap dingin ke arahku. "Terakhir kali saya percaya kamu, kamu melanggar peraturan saya. Kali ini apa lagi ?"

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang