L

3.7K 146 5
                                    

"Kita belum menikah. Tidak baik jika berduaan saja. Itulah kenapa Khayla harus ada di sini."

Itu yang Arhan katakan. Apa yang dia katakan memang benar, hanya saja kenapa aku yang harus jadi tumbalnya? Kenapa aku yang harus menghadapi situasi tidak nyaman ini?

"Kalo gitu kenapa tidak bi Iyem saja?" tanya Gina. Aku sangat setuju itu.

"Bi Iyem harus istirahat. Pak Dadang bilang Bi Iyem kurang enak badan seharian ini."

Gina bungkam setelahnya. Dinner romantis seketika berubah seperti suasana perang. Alunan merdu surah Al-Waqiah kesukaan Arhan, bahkan tidak mengurangi ketegangan yang aku rasakan.

Semua terasa tegang dan mencengkam dengan aku yang berada di tengah mereka seperti anak bawang yang siap salah kapan pun.

"Kenapa kamu malah bengong? Habisi makanan kamu, jangan sampai mubazir ...." Arhan memergokiku yang melamun. Perkataan Arhan barusan sukses menarik tatapan tajam Gina kearahku.

"Tuan saya ngantuk. Saya harus tidur sekarang." Aku bangkit dari kursi, bersiap lari dari sana.

"Khayla habisi dulu makanan kamu. Gina sudah bersusah payah membuatnya. Jika kamu pergi tanpa menghabisi steak buatan Gina, sama saja kamu seperti tidak menghargai Gina ...."

"Iyakan, Gina?" tanya Arhan pada Gina. Gina tidak menjawab, tapi berdeham pertanda setuju.

Sial !  Aku bagai buah simalakama. Dengan terpaksa aku kembali duduk. Beruntungnya, suasana tegang mulai mencari. Gina mulai mau diajak berbicara dan keduanya mengobrol seperti biasanya.

Aku tidak terlalu mendengarkan apa yang mereka obrolkan karena aku terlalu sibuk dengan makananku. Baru kusadari kalo aku lapar. Seharian kerja membuatku kadang merasa tidak lapar.

"Aku jadi bisa makan dengan tenang," batinku bersuara. Meski tenang, aku berusaha untuk segera menghabiskan makananku dan pergi dari sini.

Namun, lagi-lagi kebodohan aku lakukan. Karena ingin cepat-cepat selesai, aku terlalu besar memasukan potongan daging ke dalam mulut. Aku terbatuk dan butuh minum.

"Air ...." lirihku pelan.

"Kamu butuh minum?" tanya Arhan, aku mengangguk tanpa mendonga kearahnya.

"Ini ...."

"Terima kasih, Tuan—" Tanganku terjulur, tapi gelas itu bukan untukku melainkan untuk Gina yang juga terbatuk. Baru kusadari kalo sendari tadi Arhan tidak berbicara denganku, melainkan dengan Gina.

"Sudah enakan?" tanya Arhan cemas pada Gina.

"Ya, sudah enakan ...." sahut Gina. "Terima kasih ya."

Aku tersenyum, entahlah apa yang hatiku rasakan sekarang. Rasanya campur aduk. Hatiku terasa sakit, tapi di sisi lain, aku juga merasa lega. Senang bisa melihat Gina merasa dicintai.

"Tuan, makanan saya sudah habis, sekarang saya boleh kembali ke kamar?" tanyaku.

Arhan menoleh pada Gina, makanan di piring Gina masih banyak. "Tunggu Gina selesai makanan dulu, setelah itu kamu boleh kembali ke kamar," titah Arhan.

Keduanya kembali larut dalam obrolan panjang, sedangkan aku benar-benar berhasil menjadi obat nyamuk.

"Sudah selesai ?" tanya Arhan begitu Gina memasukan  potongan daging terakhir ke mulutnya.

"Apa kamu mengantuk ?" tanya Gina balik. Arhan menggeleng pelan dan malah menoleh ke arahku. "Jika tidak, saya berniat nambah makan. Agar bisa mengobrol lebih lama denganmu."

Arhan kembali menoleh padaku, entahlah mungkin dia berharap aku yang menolak permintaan Gina. Tapi, jelas itu akan semakin membuat Gina marah padaku. Lagian, Arhan yang ditanya kenapa aku yang harus mengambil keputusan?

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang