Aku baru menyapa matahari setelah pukul delapan pagi, nikmat rasanya bisa berjalan santai di hari biasa. Terutama, saat semua orang sibuk berangkat kerja sedangkan aku berjalan santai menuju halte bus way.
Tidak kudapati orang-orang yang nampak berjalan cepat karena takut telat berkerja. Semua orang berjalan santai dengan jalanan yang tidak terlalu ramai dan matahari yang tidak terlalu terik.
Libur kali ini akan jauh lebih menarik jika saja Arhan tidak lagi-lagi membuat ulah.
Semalam bunda datang ke kamar dengan wajah super cemas, dia berkata soal masa depan.
Awalnya aku pikir bunda sudah mulai terkontaminasi beberapa tetangga yang selalu bertanya kapan aku nikah? Atau kapan bunda bisa segera memiliki cucu dan sebagainya.
Kupikir bunda datang untuk memaksaku menikah atau menjodohkanku dengan seorang pria asing yang belum kukenal dan malam itu akan terjadi drama menolak, tradisi Siti Nurbaya.
Namun, diluar dugaan, Bunda malah membahas mengenai aku yang wajib ke rumah sakit. Bunda bilang kalo benturan di kepala bisa saja sangat fatal, aku bisa kehilangan ingatan, geger otak atau hal fatal lainnya.
Aku hanya bisa memutar bola mata, ingin berkata aku baik-baik saja bunda, hanya keningku benjol sedikit dan cuma butuh salep, semua akan baik-baik saja. Tapi, itu tidak akan bisa bunda terima terutama setelah bunda terbuai kata-kata Arhan yang menelopn bunda dan entah mengatakan apa sampai bunda ngotot untuk menyuruhku ke rumah sakit hari ini.
Jelas, aku tidak bisa membantah permintaan bunda. Meski malas, aku akhirnya berdamai dan setuju untuk ke rumah sakit yang terletak tidak jauh dari rumahku. Sejujurnya, aku berhasil berdamai untuk setuju karena peran penting sambal ijo. Yap, bunda berjanji sepulangku dari rumah sakit akan memasakan sambal ijo kesukaanku.
Di ruang tunggu, aku tanpa sadar tertawa saat mengingat ekspresi cemas bunda, bertepatan dengan itu namaku di panggil untuk masuk ruangan pemeriksaan.
Tidak banyak pemeriksaan yang dilakukan, dokter hanya bertanya mengenai keningku, memeriksa keningku dengan alatnya lalu memberikan resep obat untuk kubeli di apotek.
"Ini memang tidak fatal, tapi sepertinya kamu harus lebih berhati-hati lain kali," kata dokter perempuan berjilbab cream itu. Tiba-tiba tangan dokter itu berhenti pada sudut keningku.
Di keningku terdapat sebuah bekas luka yang tertutup jilbab. Sebelum terjadi kesalahpahaman, aku buru-buru menjelaskan.
"Itu tanda lahir, kata bunda," jelasku pelan, diujung suara aku sedikit terdengar ragu. Entahlah, aku terkadang merasa aneh dengan tanda lahir itu.
Menurutku tanda lahir itu tidak terlihat seperti tanda lahir, aku terkadang berpikir itu malah mirip seperti tanda bekas luka atau kecelakaan, tapi aku tidak pernah mengalami kecelakaan dan bunda juga bilang aku tidak pernah jatuh atau apa pun saat masih kecil.
"Oke, baiklah." Dokter itu lantas tersenyum pelan. Ia kembali mengulangi kalimatnya yang pertama untukku dengan sedikit menambahkan. "Jika bisa jaga bekas ja—hm, tanda lahir itu dijaga dengan baik."
Aku menggangguk dan pergi dari sana menuju apotek terdekat.
Di jalan, aku tidak sengaja melihat seorang gadis berambut blonde sebahu dengan kaos putih dan celana jeans bergaya casual sedang berusaha menolong kucing kecil yang terjepit di sela pagar.
Nama gadis itu Gina, dia gadis yang sangat ramah. Aku mengetahui namanya setelah akhirnya kami berkenalan dan bersama-sama membantu kucing kecil itu lalu setelah itu kita memutuskan untuk melanjutkan obrolan di cafe.
Tidak kuduga kalo aku dan Gina memiliki banyak kesamaan, kami sama-sama suka memasak meski selalu berakhir gagal.
Kami juga dua gadis yang sangat menyukai cokelat, Gina bahkan memiliki member aktif dalam grup pencinta cokelat. Dan hebatnya, akan ada festival cokelat yang baru kutahui dari Gina dan dia mengajakku ke sana kapan-kapan. Genre film yang kami sukai juga sama, komedi. Tidak heran jika selera humor kami sebelas dua belas sama.
Dua jam mengobrol dengan Gina berlalu begitu saja, tanpa kusadari.
"Wah, pekerjaan kamu terdengar sangat menarik," ujar Gina dengan bahasa baku, hanya itu perbedaan yang kontras dari kami.
Gina sudah lama tinggal di luar negeri, sehingga dia sedikit kaku menggunakan bahasa sehari-hari dan karena itu aku mencoba mengimbanginya.
"Ya, awalnya memang menarik ... jika saja bos gila itu tidak mengusikku," jawabku.
Gina nampak berpikir sejenak sebelum dia menyoroti kalimatku barusan. "Bos gila? I mean, bos yang sedikit jahat atau bos yang benar-benar gila secara harfiah?"
Aku spontan terkekeh pelan mendengar pertanyaan polos Gina. Terutama kata harfiaah yang sepertinya jarang orang gunakan dalam bahasa sehari-hari.
"Bukan, bukan itu maksudku. Dia, bos gila dalam arti kiasan. Maksudku semua tindakannya itu diluar perilaku manusia normal. Bisa kamu bayangkan, manusia mana yang setiap hari mencecer karyawannya dengan pertanyaan, 'nikah atau potong gaji ?' Bukankah itu aneh?"
Sekarang giliran Gina yang terkekeh pelan. "Memangnya ada pria segila itu?" tanyanya geli.
"Jika kamu melihat dia, kamu akan melebelinya manusia gila seabad ini."
Aku dan Gina kembali tertawa pelan. Percakapan itu lantas bergulir mengenai keresahanku soal Arhan.
Gina mencoba menghiburku, memberikanku banyak nasihat dan bahkan solusi agar bisa terlepas dari kegilaan Arhan.
"Cobalah lawan kegilaan dengan kegilaan lainnya," kata Gina. Keningku mengerutkan bingung.
Gina segera menambahkan kalimatnya dan setelah itu bola lampu di kepalaku bersinar terang. Aku mendapatkan pencerahan yang kubutuhkan.
"Ide ini sangat luar biasa, Gina !" pekikku tertahan.
"Jadi kamu setuju untuk melakukannya?"
"Tentu saja. Aku yakin ide ini akan membantuku lebih banyak dari yang kamu duga." Aku dan Gina saling bertos pelan.
"Kapan pun kamu butuh nasihat, layananku buka 24 jam khususmu," katanya bercanda. Aku dan Gina berpelukan sebelum berpisah. Gina kini sudah resmi kuangkat sebagai penasehat pribadi.
"Kamu akan jadi orang pertama yang tahu mengenai keberhasilan ide ini," ujarku, berjanji.
Gina mengangguk setuju. "Aku sungguh tidak sabar dengan rencana itu."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Atau Potong Gaji ?!
ChickLit"Nikah atau potong gaji ?!" Pertanyaan yang terus Khayla dengar setiap kali bertemu bosnya, Arhan. Jika kalian berpikir, Arhan itu semacam om-om berperut buncit dengan wajah yang tak enak di pandang serta otak mesum yang menjijikkan. Kalian salah be...