LIII

3.1K 141 2
                                    

"Lo bilang itu minta tolong?" Prisil berseru dari balik telepon. "Menurut gue, itu pick me. Dia tahu kalo lo bakal dimarahin Arhan, tapi dia gak peduli."

"Gak gitu, Cil." Aku menghela napas panjang. Takut curhat kali ini berubah menjadi gibah.

"Ily, baik boleh, tapi jangan bodoh ...."

"Cil ...." Akhir-akhir ini aku memang sudah terbiasa dengan Prisil yang sering berubah mood, tidak terdengar seperti Prisil dulu yang ceria, tapi tetap saja, aku sedikit merasa risih.

"Maaf, tapi gue emosi kalo lo dijahatin orang. Lo satu-satunya sahabat gue ..."

"Iya gue tahu. Gue kan emang sahabat limited edition yang lo punya," godaku yang langsung mendapatkan dengkusan keras di seberang sana.

"Idih ... mulai deh pede tingkat kabupatennya kambuh," cibir Prisil. Aku terkekeh. "Orang lagi serius malah dibercandain."

"Lagian gue gak kenapa-napa kok. Lo bisa denger sendiri, gue masih sehat walafiat. Dimarah dikit mah gak ngaruh."

"Arhan marahin lo?" Prisil terdengar kesal kembali.

"Iya marahin dikit. Terus lo tahu, besoknya Arhan setuju dengan permintaan Gina."

"Lo kok bisa? Emangnya lo ngomong apa sampai bos mendadak jadi setuju?"

Aku tersenyum samar, lalu mulai bercerita soal hari itu pada Prisil.

"Tuan, saya pengen nanya sesuatu. Boleh, gak?"

"Tanya saja," sahut Arhan nampak tidak tertarik, mata tidak beralih dari ponsel.

"Saya punya temen, teman saya ini lagi musuhan karena salahpaham. Terus, saya berusaha mempertemukan mereka biar gak musuhan lagi dan memperbaiki kesalahpahaman."

Aku memperhatikan pergerakan tangan Arhan di ponselnya seketika berhenti.

"Jadi apa yang saya lakukan salah atau tidak, Tuan?"

"Apa kamu sudah tahu soal saya dan kakaknya Gina? Apa ini tentang saya dan kakaknya Gina?"sahut Arhan yang seketika membuatku kincep.

Ini diluar rencana. Rencana awal, aku menjebak Arhan menjawab pertanyaanku dengan kata 'ya' setelahnya baru aku menyerang dengan senjata perkataan Arhan sendiri.

"Hem ...." Aku berdehem panik. Aku lupa kalo Arhan sangat pandai menangkap makna terisrat dalam ucapanku.

"Tuan ...." Aku hendak langsung ke inti pertanyaan soal meminta izin, tapi Arhan langsung menyela dan bilang.

"Tidak."

"Bahkan Tuan belum denger apa yang ingin saya katakan," protesku.

"Sebelum bilang tidak, seharusnya Tuan mempertimbangkan mengenai perasaan Gina. Tuan merupakan orang yang Gina cintai, begitu pun Kakaknya. Jika Tuan egois, Gina yang akan terluka," kataku kesal.

"Dan satu lagi, sebagai manusia biasa yang punya salah dan dosa, tidak seharusnya Tuan bersikap seangkuh ini."

"Tuhan saja maha pengampun. Tidakkah Tuan malu?"

Aku mendengar Prisil bertepuk tangan di seberang sana. "Arhan memang pantas mendapatkan itu," katanya pelan sembari tertawa pelan.

"Gue harap Arhan bisa merasakan sakit yang berkali-kali lipat dari yang gue bayangkan."

Panggilan ponsel diakhiri sebelum aku sempat bertanya mengenai suara Prisil yang terdengar aneh.

"Kenapa gue denger Prisil kayak nangis gitu ya? Apa gue salah denger?"

Saat aku kembali menghubungi nomor Prisil. Nomor itu diluar jangkauan.

"Prisil kenapa?"

***

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang