XVIII

5.8K 256 40
                                    

"Seharusnya dari dulu saya bersikap seperti ini pada kamu. Itu yang kamu mau, kan?"

"Apa-apaan, ditanya baik-baik malah bilang gitu," dongkolku.

Aku pikir Arhan versi jatuh cinta yang paling menyebalkan, ternyata Arhan versi dingin jauh lebih menyebalkan. Aku menyesal sudah membuat konsep meminta maaf untuk manusia seperti Arhan.

"Tapi, kabar baiknya, lo sekarang gak perlu lagi berhadapan dengan Arhan ...." gumamku mencoba menghibur diri sendiri. "Berbahagialah, Khayla ..." seruku setelahnya.

Aku baru hendak menelepon Prisil untuk membagi kebahagianku ini, tepat di saat itu, bel apartemenku berbunyi.

Bunda sedang tidak ada di rumah dan aku tidak tahu harus menjamu tamu dengan hidangan apa. Ini pertama kalinya Gina datang berkunjung.

Beruntungnya Gina tidak masalah jika dihidangkan mie kuah dengan bumbu spesial miliku.

"Enak gak mie spesial buatan saya?" tanyaku pada Gina.

Gina tidak menjawab, ia terlalu sibuk menjejalkan mie ke dalam mulutnya.

"Gin, pelan-pelan aja makannya, gak akan diambil orang ...." Aku terkekeh melihat Gina yang begitu terburu-buru memakan mie buatanku.

Tangan Gina sontak berhenti dari menyuap mie ke dalam mulutnya ... hening. Detik berikutnya, terdengar suara isak tangis Gina. Aku terkesiap melihat Gina yang sekarang makan mie dengan mata berurai air mata.

"Gin, kamu kenapa?" tanyaku cemas.

"S-saya ...." Gina berusaha menghentikan isak tangisnya. "Rasa mie ini seperti rasa mie buatan Arhan. Dulu Arhan sering membuatkan mie untuk saya yang terkadang lupa sarapan."

"Rasanya sama persis," tambah Gina.

"Oh iya?" Aku spontan mengerjap, sebenarnya bingung harus bereaksi apa.

"Kamu belajar resep ini pada siapa?"

"Sebenarnya saya lupa pernah mempelajari resep ini dari siapa," sahutku jujur.

"Padahal saya ke sini untuk bisa melupakan soal kejadian tadi sepulang kerja ...." ujar Gina tersenggal.

Baru kusadari sendari tadi mata Gina bengkak khas orang yang habis menangis.

Aku tidak sadar dari tadi karena terlalu antusias menyambut Gina.

"Kejadian apa? Kamu mau cerita? Siapa tahu dengan cerita bisa jadi lebih lega," kataku menenangkan Gina yang kembali terisak.

"Saya sedih karena sampai detik ini Arhan masih saja menganggap saya hanya sebatas sahabatnya. Dia menolak cinta saya ...." tangis Gina pecah. Aku panik, berusaha menenangkannya.

Tentu saja itu sulit, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Gina terus menanagis. Butuh waktu satu jam lebih bagiku untuk membantu Gina tenang.

"Kasihan Gina. Cinta membuatnya terluka," gumamku tanpa sadar saat melihat wajah damai Gina yang sekarang tertidur pulas di sofa. Tiba-tiba ponsel Gina yang ia titipkan padaku  berdering.

Aku buru-buru mengangkat panggilan telepon dari ponsel Gina, takut suaranya mengangguk tidur Gina.

"Ya hallo ... maaf, tapi Gina sekarang sedang—"

"Saya sangat merindukan kamu ...." sahut suara dari seberang sana

Aku terkesiap. Aku langsung mengenali suara itu. Aku terlaku ceroboh sampai tidak membaca siapa yang menelepon.

"Maaf, Bos. Saya Khayla bukan Gina. Biar nanti saya sampaikan pada Gina—"

"Khayla ...." sela Arhan. sebelum mengakhiri panggilan sepihak.

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang