I

34.5K 903 25
                                    


"Kenapa sepagi ini tuh muka udah kusut aja? Bos buat ulah lagi?" sapa Prisil, satu-satunya sahabat sekaligus rekan kerjaku di kantor.

Yap, cuma Prisil yang mau menerimaku sebagai rekan kerjanya. Sedangkan rekan kerja yang lain menganggapku seperti monster yang mengancam karir mereka.

Ini bukan kata hiperbola, ini memang benar adanya. Pernah ada satu karyawan yang iseng menjahilku, tanpa ba-bi-bu, 'bos gila' itu memecatnya dan mengimbau yang lain agar tidak berani mengusikku.

Bos gila itu bahkan membuat aturan baru yang mengharuskan semua orang menyapaku saat berpapasan di mana saja, jika tidak mereka akan mendapatkan surat peringatan.

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan aturan menyebalkan itu. Itu benar-benar membuatku sulit bernapas. Setiap hari aku harus berhadapan dengan sapaan terpaksa setiap orang. Bisa bayangkan betapa ini menyebalkannya?

Semenjak hari itu, kehidupan kantorku tidak berjalan dengan mudah.

Terkadang aku sering mendengar mereka mencibirku di pentri dapur dan terkadang di kamar mandi cewek bergosip dengan banyak bumbu, menghardik dan mentertawakanku yang diam-diam tanpa mereka ketahui ada di salah satu bilik.

Aku jadi harus berlama-lama di bilik hingga mereka semua keluar. Aku hanya tidak ingin membuat drama muka sinis menangkap basah para pengosip dengan wajah kaget mereka.

Mengingat semua itu membuat moodku makin anjlok. Ck!

"Gue capek ngadepin bos gila itu !" Aku mendengus sembari mendaratkan bokongku di kursi dengan kasar.

"Astagfirullah, ukhti ... mulutnya," goda Prisil berpura-pura memasang wajah kaget.

Ini bukan pertama kalinya aku menyematkan lebel gila pada bos kami, aku sudah melakukannya berkali-kali, bahkan di depan orangnya langsung.

Kalo ada kandidat karyawan paling tidak sopan, aku layak mendapatkan penghargaan itu. Aku benar-benar membencinya sampai ketulangku.

"Gue rasa bos emang beneran serius mau nikah sama lo, Ily...."

Aku mendelik, menatap Prisil yang masih sibuk cekikikan setelah berhasil mengodaku.

"Sampe kucing berbulu domba, gue gak akan sudi nikah sama tuh orang gila! Hidup gue udah cukup berat, gue gak butuh beban baru."

"Hati-hati, Ily. Di novel banyak lo yang benci jadi cinta."

"Awas aja lo sampai ngomong, kalo suatu saat gue bakal suka sama tuh pria gila !"

Tawa Prisil pecah. "Barusan gue gak ngomong ya, lo yang ngomong sendiri."

"Lo nyebelin banget sih !" spontan mulutku manyun tiga centimeter. Aku membalik kursi membelakangi Prisil yang masih asik mengodaku.

"Eh, jangan marah dong ...." Prisil coba membujukku. "Kan Gue cuman kidding doang."

"Tapi itu gak lucu!" ketusku.

"Gue minta maaf deh. Sebagai gantinya, hari ini makan lo gue yang bayar."

Aku memicingkan mata ke arah Prisil, masih mempertahankan ekspresi kesalku.

Di satu sisi aku memang benar-benar kesal dengan semua candaan Prisil soal aku dan bos gila itu. Di satu sisi lain, aku memang tidak bisa marah pada Prisil.

Selain karena Prisil seperti anak panda yang polos dan lucu saat membujuk, Prisil juga selalu membantuku dalam program penggemukan tubuh alias suka traktir dadakan.

Kesempatan yang tidak pernah aku lewati sekali pun.

"Beneran, ya ?" tanyaku serius.

"Iya beneran ..." Prisil tersenyum lebar. Pipi gembul dan mata sipitnya terangkat naik, lega dan tulus.

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang