XXXIX

3.9K 176 0
                                    

"Apa yang saya harus lakukan agar Tuan memaafkan saya ?"

"Tidak ada," sahut Arhan singkat, padat dan menyakitkan.

Mulutku nyaris jatuh karena kaget, aku pikir ... senyum sekilas di wajahnya merupakan sinyal kalo Arhan akan mempertimbangkan permintaanku itu.

"Saya sedang sakit. Tidak bisa berpikir terlalu keras. Kamu berharap apa pada orang sakit ?" sambung Arhan.

Memang benar, berharap pada manusia adalah sepahit-pahitnya harapan.

"Saya harus memikirkan matang-matang hukuman apa yang layak untuk orang yang melanggar peraturan," kata Arhan.

"Lagian itu cuma kamar ...." ceplosku asal. Tentu saja langsung memacing tatapan tajam Arhan.

Mulut Arhan sudah terbuka untuk protes, tapi perhatian kami teralihkan oleh suara Bi Iyem.

"Tuan, tado ada orang yang namanya Gina? Dia bilang tunangan Tuan? Dia langsung masuk ke sini," lapor Bi Iyem.

"Gina ?!"  Aku tersentak kaget mendengar nama itu.  Semalam, baru saja aku dan Prisil membicarakan soal Gina yang semakin berubah.

"Lo udah tahu kenapa Arhan bisa pulang dalam keadaan kayak gitu?" tanya Prisil di seberang sana.

"Entahlah, gue juga gak tahu ... btw, gimana di kantor?"

"Di kantor jadi super sibuk tanpa bos, terutama Gina yang harus menghandle perkerjaan bos Arhan," sahut Prisil.

"Gina jadi bener-bener berubah sekarang. Dia jadi gampang marah, gampang kesal dan gak mirip Gina yang kita kenal kemarin," tambah Prisil.

"Kasihan Gina, mungkin dia kecapean banget ..." ibaku.

"Tapi, menurut gue ini bukan soal kerjaan aja ...." Prisil menyahut. "Kayaknya ... ini tentang bos juga. Gue udah pernah ceritakan soal kecemburuan berlebihan Gina?"

"Iya ...."

"Dan karena itu juga kayaknya bos Arhan gak cerita soal lo ke Gina. Pokoknya lo harus sembunyi kalo Gina besuk Arhan di rumah. Gue takut entar malah lo dituduh yang gak-gak."

Bak disambar petir, aku jadi panik sendiri, saat mendengar suara langkah kaki.

Kepanikan membuat otakku mendadak tumpul. Aku hendak pergi dari sana bersama Bi Iyem, tapi yang terjadi, aku malah bersembunyi di belakang sofa. Bodoh, bukan ?

Aku mengutuki keputusanku ini. Kini aku tidak punya kesempatan untuk kabur dari Gina.

"Maafkan saya Arhan. Karena sibuk kerja, saya nyaris tidak punua waktu untuk berkunjung dan merawatmu di sini." Itu suara Gina. Aku mengintip dari celah yang ada.

"Tidak masalah. Saya juga berterima kasih karena kamu sudah banyak membantu pekerjaan saya di kantor."

Sepertinya perkataan Arhan sedikit memperbaiki suasana hati Gina. Gina yang semula terlihat murung, seketika tersenyum.

"Bagaimana keadaanmu sekarang ?"

"Seperti yang kamu lihat ..." Arhan balas tersenyum. "Semua perlahan memulih."

"Jadi, bisa jelaskan kenapa semua ini bisa terjadi ?" Pertanyaan yang selalu ingin aku tanyakan pada Arhan. Aku juga ingin tahu itu.

Tiba-tiba Arhan menoleh ke arahku. Dia menangkap basah aku yang mengintip dari celah dan fokus menguping.

"Kaget ..." aku mengutuk tatapan tajam Arhan yang nyaris membuat jantungku copot karena kaget, segera aku menarik diri dari mengintip.

"Hanya sebuah insiden kecelakaan semata. Ini biasa terjadi saat kita mengendarai mobil, kan?"

"Oh jadi karena itu ...." Gina langsung percaya, tapi aku jelas tidak percaya jawaban itu.

Mobil Arhan bahkan tidak tergores sedikit pun. Jika saja Arhan mencari opsi seperti dijambret, dibegal, atau di keroyok, itu jauh lebih masuk akal dan aku juga akan langsung percaya.

Kenapa kecelakaan, yang benar saja? Kecelakaan lalu lintas jelas tidak masuk akal ! Apa yang sebenarnya sedang Arhan sembunyikan?

"Tolong izinkan saya cuti, saya ingin di sini merawat kamu ...." Gina memelas. Sejenak, aku tidak merasa ada yang berbeda dari Gina. Dia terlihat seperti Gina yang aku kenal.

"Gina, itu tidak perlu," sahut Arhan pelan. "Secepatnya saya akan segera membaik dan kembali ke kantor."

Aku ingat betul dokter bilang kalo masa pemulihan Arhan tidak secepat janjinya pada Gina. Mungkin bisa berlangsung selama 2-4 pekan.

"Syukurlah kalo begitu. Saya sungguh merindukan kamu .... " ujar Gina.

Aku bisa melihat ketulusan pada mata Gina saat mengatakan itu. Gina sangat mencintai Arhan.

Namun, kenapa aku tidak bisa melihat hal yang sama pada Arhan ? Arhan bahkan tidak membalas pernyataan Gina.

"Itu bukan urusan gue ...." gumamku cepat.

Sekarang yang harus aku pikirkan hanyalah diriku sendiri. Entah berapa lama aku harus bersembunyi di sini. Aku lelah. Kapan Gina pergi?

Arhan tiba-tiba menoleh ke arahku. "Sebaiknya kamu kembali ke kantor sekarang."

Wah, apa Arhan bisa membaca pikiranku? 

Aku tersenyum lega saat Gina mengangguk setuju dan aku pikir ketakutan ini akan segera berakhir, tapi lagi-lagi semuanya berantakan karena tiba-tiba ponselku di saku berdering.

"Apa itu suara alarmmu ?" tanya Gina. "Biar saya matikan total agar tidak menganggu istirahat kamu."

Sudah bisa dipastikan kini jantungku berdebar tidak karuan, saat mendengar langkah Gina berjalan ke sofa. Aku harus apa? Ya Allah bantu hamba ....

"Tidak perlu, Gin. Saya suka jika di sini tidak terlalu sepi."

"Benarkah?" Gina menghentikan langkahnya yang tinggal sejenkal lagi menangkap basahku. "Sejak kapan kamu suka nada dering seperti ini?"

Arhan tersenyum. "Sejak dia berdering."

"Dia ?" Gina kembali menoleh pada sofa. Apa Arhan sengaja mempermainkanku?  Dia sepertinya sangat ingin membuat jantungku lemah.

"Ponsel maksudnya," elak Arhan, sebelum Gina kembali memutuskan menyambung langkahnya.

Aku pikir permainan Arhan sudah selesai, tapi sepertinya aku terlalu positif thinking soal Arhan.

Baru saja aku keluar dari balik sofa,  Arhan tiba-tiba menelepon Gina untuk kembali yang membuatku panik dan tergopoh berlari ke sana kemari seperti orang gila.

"Ini sangat menghibur saya," kata Arhan menyambutku. Aku baru berani keluar setelah setengah jam Gina pergi dari sini.

"Terima kasih atas permaianan serunya hari ini, Tuan," sahutku lemas. Wajahku mungkin sudah pucat pasif seperti mayat karena cemas ini.

"Saya maafkan kamu," ujar Arhan saat aku berbalik hendak pergi.

"Ha?" Aku melongo, baru beberapa jam yang lalu Arhan bilang akan memikirkan ini dengan matang.

Apakah ini permainanan baru Arhan?

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Arhan.

"Tidak, Tuan. Saya hanya sedikit kaget saja. Sama kagetnya saat saya melihat kamar Tuan yang tidak ada apa-apa."

Arhan tiba-tiba tertawa. "Itu alasan kenapa saya tidak boleh orang lain masuk ke kamar saya. Semua orang pasti bertanya-tanya kenapa hal itu terjadi. "

Aku menoleh bingung. Tentunya masih berharap Arhan kembali menjelaskan alasannya.

"Memangnya kenapa kalo di kamar ada kasur, lemari dan kursi, apa itu salah ? Dan kenapa hanya kamar Tuan yang tidak ada itu semua ?"

"Saya belum bisa memberikan jawabannya. Saya juga sedang menunggu waktu itu tiba."

Waktu apa yang Arhan maksud ?

Lagi-lagi Arhan memberikan pertanyaaan baru atas jawabanya. Mau sampai kapan begitu? Apa hidup Arhan isinya teka-teki semua?

***

Holla Guys

Happy Reading

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang