"Padahal gue gak lupa minum obat ..." gumamku bingung.
Aku terbangun dari tidur. Lagi-lagi mimpi buruk itu datang lagi, suara tembakan dan teriakan itu membuat sekujur tubuhku bergetar merinding, bahkan tidak bisa memejamkan mata lagi.
Dan di sinilah aku, berjalan gontai ke dapur untuk mengambil air minum.
"Apa salah gue, kenapa mimpi itu datang terus?" Aku menghela napas lelah.
Aku takut. Setiap kupejamkan mata, kegelapan yang ada membuatku merasa takut. Aku seolah merada di ruangan tertutup yang dipenuhi dengan segala rasa takut.
"Waktu kita sebentar lagi selesai. Saya harap masalah ini segera berakhir ..."
Aku menoleh sedikit kaget saat baru menyadari telah melewati Arhan yang nampak serius menelepon di ruang tengah.
Bukan hanya aku yang tidak sadar keberadaan Arhan, bahkan Arhan yang duduk membelakangiku pun tidak tahu aku baru saja mendengar percakapannya.
"Ya, masa kerja Khayla akan habis dan ...."
Aku sponta menghentikan langkahku begitu namaku di sebut.
"Apa dari tadi Arhan sedang membicarakan gue?" gumamku bingung, aku menarik diri bersembunyi, tapi kini aku tidak mendengar percakapan Arhan lagi.
"Kejauhan nih kayaknya, apa gue ngumpet di—"
"Khayla!"
"Astagfirullah !" Aku terjingkra kaget saat suara berat Arya mengangetkanku di belakang. "Kak Arya ngangetin aja!"
"Kamu ngapain ngintip gitu? Lagi sembunyi dari apa emangnya?"
Bisa gawat kalo aku tertangkap basah Arya dengan menguping pembicaraan Arhan, maka sebelum itu aku segera mengajak pergi Arya dari sana.
"Kak Arya ngapain lagi malam-malam ke rumah? Emang gak liat tadi ada Arhan?"
"Emang liat, tadi barusan ngeteh bareng Arhan."
"Ngeteh?" ulangku, Arya mengangguk pelan. Aku sedikit kaget akan fakta ini. Tapi, ikut bahagia jika hubungan mereka sudah mulai membaik.
"Tuh anak tadi keliatan banyak pikiran banget, makanya saya ajak ngeteh ..."
"Kalo kamu ngapai tadi di ruang tengah?"
"S-saya ...." Aku bingung harus menjawab apa.
"Apa kamu gak bisa tidur sama kayak saya waktu itu?" tanya Arya lagi yang segera aku setujui.
"Lapar gak?" tanyanya lagi.
"Sedikit."
"Pas kalo gitu, gimana kalo kita masak mie aja."
Belum sempat aku menjawab, Arya langsung menyela..
"Biar saya masakin. Lagi pengen masak mi."
Dan akhirnya dengan sedikit terpaksa aku setuju. Arya dengan cekatan memasakan mi di dapur, hanya dalam hitungan 10 menit, mi ala Arya sudah jadi.
"Ayo cobain, saya yakin nanti pasti kamu ketagihan," kata Arya seraya menghidangkan satu mangkuk besar mi kuah dengan aroma yang menggugah selera.
"Terima kasih, Kak ....." Baru hendak menyuap, tiba-tiba, entah dari mana, Arhan duduk di sebelah kursiku, wajahnya datar sembari bertanya,
"Buat saya mana?"
Benar-benar tidak merasa kalo kehadirannya bagai hantu yang mengejutkan.
"Tuan mau makan mi? Bukannya Tuan, anti makanan 'tidak' sehat?" celetukku spontan.
Arhan menoleh padaku. "Sudah tahu tidak sehat, tapi kamu tetap saja makan terus ..." cibirnya.
Aku aku spontan menghentikan kunyahanku. Jika dilanjutkan, yang ada Arhan akan habis membantaiku. Aku memilih tidak menghiraukan perkataan Arhan barusan.
"Arya, boleh saya minta mi juga?" tanya Arhan kali ini dengan nada yang jauh lebih ramah dan sopan.
Arya mengangguk pelan. "Tentu saja boleh. Saya masak cukup banyak."
"Terima kasih," ucap Arhan pada Arya begitu satu mangkuk kuah tersaji di hadapannya.
Tanpa sadar, aku diam-diam mrnanti reaksi Arhan saat mencoba mi buatan Arya dan tanpaku sadar, Arya sepertinya juga penasaran akan reaksi Arhan.
"Gimana rasanya? Enak?" tanya Arya yang greget menanti penilaian Arhan.
"Hem, sepertinya kita harus bettel masak mi ...." jawab Arhan yang membuat Arya seketika tersenyum miring.
"Baiklah, saya menerima tantangan kamu ...." sahut Arya.
"Khayla yang akan jadi jurinya," tambah Arhan tanpa perlu repot pertanya apa aku setuju atau tidak.
Aku mendengus keras, jika Arhan sudah mode seenak jidat memang paling menyebalkan. Sepuluh menit berikutnya, dua mangkuk besar mi kuah tersaji di hadapanku.
Keduanya sama-sama mengoda, mi buatan Arya memiliki kuah kari putih creami sedangkan mi Arhan terlihat polos dan ringan
"Cobain makan mi saya dulu ..." kata Arhan bersikeras.
"Tidak, sepertinya lebih baik mi saya dulu." Arya mengeser mangkuk Arhan, jelas Arhan tidak terima itu. Mulai terjadi perdebatan kecil di antara mereka.
"Kalo berisik, saya gak jadi cobain dua-duanya," ujarku pelan.
Namun, berefek besar. Keduanya dengan patuh langsung diam dan duduk tenang di kursi masing-masing.
"Karena Kak Arya yang duluan selesai, jadi saya cobai mi punya Kak Arya dulu," putusku membuat Arhan seketika berdecak pelan dan Arya tersenyum puas.
"Saya masak mi itu dengan bumbu rahasia," sahut Arya. "Saya yakin kamu pasti suka."
"Gimana suka gak?" tanya Arya lagi.
Aku mengangguk. Benar dugaanku kuah mi yang Arya buat terasa sangat creamy, lebih creami dan segar dari yang aku duga. Rasanya aku tidak ingin berhenti menyeruput kuahnya.
"Sekarang, giliran mi Tuan Arhan ..." Aku kemudian menyedok sedikit kuah mi buatan Arhan.
"Kuah ini rasanya ..."
Seketika aku tertegun. Rasa kuah ini persis seperti kuah mi buatanku .... terasa segar, gurih dan ringan ...
Mendadak kepalaku terasa sakit, pandanganku berubah menampilkan sekelebat dua orang yang tertawa sembari makan mie.
Aku tersentak kaget, kepalaku makin terasa sakit.
"Khayla, kamu kenapa?" Aku mendengar suara Arya bertanya bingung. Namun, pertanyaan Arhan membuatku bingung.
"Apa kamu mulai menyadarinya, Khayla?"
***
Happy reading.
See you ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Atau Potong Gaji ?!
ChickLit"Nikah atau potong gaji ?!" Pertanyaan yang terus Khayla dengar setiap kali bertemu bosnya, Arhan. Jika kalian berpikir, Arhan itu semacam om-om berperut buncit dengan wajah yang tak enak di pandang serta otak mesum yang menjijikkan. Kalian salah be...