III

13.4K 514 24
                                    

Sudah bisa dipastikan kalo kini aku kembali menjadi buah bibir di setiap sudut kantor. Isu mengenai aku yang batal resign telah menjadi gosip liar yang memuakan.

Aku jadi malas ke kamar mandi hanya untuk mendengar beberapa karyawati yang tengah mengunjingku atau ke pentri untuk menangkap basah beberapa karyawan yang tengah menghinaku seperti tadi pagi.

"Gue dengar Khayla gak jadi resign?"

"Tentu saja. Dia hanya berpura-pura ingin resign agar berhasil menarik perhatian Arhan. Wanita berbisa seperti dia biasa melakukan hal menjijikan seperti itu."

Aku memgenali suara itu. Itu suara Sasa, sekertaris Arhan. Perkataan Sasa tadi, membuat ruangan pentri di penuhi tawa.

"Gue heran kenapa bos suka banget sama tuh cewek? Apa sih spesialnya?"

"Iya, masih jauh cantik Sasa kemana-mana," timpal yang lain.

"Atau mungkin tuh cewek pake pelet gak sih?"

"Eh, iya bisa jadi. Gila sih pelet tuh cewek manjur banget."

Suara tawa kembali terdengar. Bahkan mereka tidak merasa terusik saat seorang karyawan pria masuk untuk mengambil cangkirnya.

Mereka dengan santai malah menghadang karyawan tersebut.

"Eh, menurut lo, cantikan gue apa Khayla ?" tanya Sasa geli.

"Hm ...."  Pria itu berdeham.

"Jawab yang jujur ya ... coba lo liat Sasa, dia cantik, punya body bagus, plus modis. Sedangkan Khayla ...."

Yang lain menambahkan,

"Ibu-ibu bergamis, gak modis dan tukang makan."

Sungguh itu sangat menyebalkan,  terlebih peraturan bodoh Arhan yang mengharuskan mereka selalu menyapaku saat bertemu. Aku jadi harus menarik senyum paksa saat mereka pura-pura tersenyum di hadapanku.

"Lo kenapa lagi, Ily? Udah jangan dengerin apa kata orang. Kata lo, hidup itu cuma sekali. Masa mau lo pake buat sedih mikirin omongan mereka?" Prisil menepuk pelan bahuku.

Aku spontan menghela napas berat. "Gue tahu, Cil. Cuma hari ini gue lagi gak punya banyak tenaga buat nangkis semua omongan mereka. Gue capek. Gak salahkan kalo gue capek?"

Prisil menatapku, maklum. "Ily, lo yang sabar ya."

"Iya, Cil. Makasih semangatnya. Cuma lo yang percaya kalo gue gak kayak apa yang mereka omongin. Lo tahukan kalo gue serius mau resign. Gue gak ada niatan sedikit pun mau caper sama Arhan." Aku menatap Prisil. Semua gosip telah sedikit banyak mengusik benakku.

"Ily ... yang penting lo punya gue yang seratus persen percaya sama lo. Mau mereka ngomong apa tentang lo, gue tahu lo. Lo orang baik yang gue kenal." Prisil menepuk pelan tanganku.

Aku refleks tersenyum. "Gue gak tahu gimana menyedihkannya hidup perkantoran gue tanpa lo, Cil. Lo jangan pernah resign ya, kalo bisa temenin gue sampai tua di sini."

"Idih serem amat kerja di sini sampai tua," celetuk Prisil spontan. Gadis bermata sipit itu lantas tertawa sembari kembali melihat layar laptopnya.

"Seberapa hebatnya perkerjaan di sini, tetap aja gue pengen hidup normal kayak orang-orang, menua bersama doi. Bukan malah jadi prestasi abdi kantor," sambung Prisil jujur membuat perutku tegelak geli.

Aku nyaris terbahak jika tidak sadar kalo itu bukan hal baik dan terutama ini masih jam kerja.

"Emang lo gak niat mau nikah?" tanya Prisil menoleh sedikit ke arahku.

"Gimana mau nikah, semua cowok di kantor aja ngejauh dari gue. Sedangkan hampir setengah waktu gue dihabisin di kantor."

Aku menghela napas berat, memilih untuk kembali fokus dengan semua pekerjaanku.

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang