"Kebiasan buruk ... lari sebelum orang lain selesai bicara."
Aku tersentak saat Arhan sudah ada di belakangku. Lagi, aku hendak kabur dari taman. Arhan menyadari itu dan kali ini ia berhasil menghentikanku.
"Saya ingin mengatakan dua hal ..." kata Arhan. "Pertama saya ingin minta maaf soal yang tadi. Saya salah karena sudah memegang tangan kamu."
Aku mengangguk pelan. Arhan terlihat menyesali perbuatannya, tidak ada alasan bagiku untuk tidak memaafkan.
"Terima kasih." Arhan tersenyum lega. "Dan yang kedua, saya ingin menuntut kamu. Kamu harus meminta maaf pada saya."
"Ha?" Aku spontan mengangga, tidak mengerti.
"Dalam Islam memfintah orang juga dosa. Kamu sudah fintah saya meluk Gina. Padahal saya gak pernah nyentuh Gina, apa lagi meluk. Jadi kamu harus—"
"Tapi saya liat sendiri kok," potongku keceplosan.
"Liat sendiri?" Arhan bergumam, lalu memicingkan mata ke arahku.
"Makanya tabayun dulu, jangan asal simpulin sendiri. Kaki Gina kepleset dari pijakan kursi roda pas mau ambil susu kocok, makanya keliatan kayak mau meluk."
Dengan bodohnya aku ber'oh' riang, tanpa wajah bersalah. "Jadi gitu ya, Tuan ...."
Arhan kembali memicingjan matanya. "Jadi ...."
"Saya minta maaf, Tuan ..."
"Good girls ...." Tatapan sinis Arhan berubah menjadi tatapan lembut yang membuatku salah tingkah.
"Tuan, Sudah selesai, kan? Sekarang sayang boleh pergikan ...." Aku segera ingin kabur, Arhan kembali menghentikan.
"Lidah buaya sangat bagus untuk menyembuhkan luka bakar tingkat pertama. Rasanya dingin dan tidak akan membuat pedih di luka," kata Arhan. "Kamu harus segera mengobati luka di tangan kamu."
Aku mengangguk, ingin ini cepat berakhir. "Iya, Tuan, nanti saya cari gel lidah buaya. Sekarang sudah malam, saya mau tidur dulu ...."
"Tidak perlu, repot-repot. Saya sudah membelikan." Arhan mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Aku pikir hanya salep biasa, ternyata ...
"Kenapa kamu ketawa?"
Aku nyaris tertawa saat Arhan melihat tanaman lidah buaya berserta pot dan tanahnya di tangan Arhan.
"Tuan memangnya harus banget sama pot dan tanahnya? Banyak loh di luar sana produk lidah buaya. Gak perlu repot-repot." Aku terkekeh.
"Ini namanya berpikir panjang. Kalo sekedar produk lidah buaya, belum tentu fresh dan mengandung aleo vera 100 persen. Kalo inikan asli, langsung dari alam." Arhan bersikeras mempertahankan idenya.
"Kamu tinggal petik, kupas terus dioles di tangan. Apa susahnya?" tambah Arhan. Aku masih sibuk terkekeh, entahlah menurutku ini lucu.
Biasanya saat orang terluka atau sakit, orang akan membelikan obat atau salep. Tapi, Arhan, dia langsung membelikan tanamannya.
"Apa mau saya yang olesin ?" gertak Arhan yang segera kubalas gelengan panik.
"Terima kasih, Tuan."
"Hem ...." Arhan segera pergi dari sana setelah aku menerima tanaman lidah buayanya. "Segeralah istirahat agar luka bakarmu cepat sembuh."
"Iya, Tuan ..."
Aku memandangi tanaman lidah buaya itu, tanpa sadar aku tersenyum. Bukankah ini sangat manis? Hal sepele yang seketika membuat hatiku berbunga-bunga. Aku kembali merasakan jantungnya berdegub dengan sangat cepat.
"Ingat Khayal, Arhan sekarang milik Gina. Mereka akan menikah dan lo harus segera patah hati," gumamku setelah sadar kalo perasaanya salah.
"Berusahala menerima pahitnya obat, ketimbang manisnya permen tapi cuma halu ...."
Aku tersenyum getir.
***
"Alasan apa lagi yang bakal Tuan Putri Khayla berikan kali ini?" sindiri Prisil di seberang sana.
"Maafin gue ...." Aku tidak punya alasan apa pun, tentang kenapa aku memilih tidak menghubungi Prisil dalam dua hari terakhir.
"Lo ada masalah, kan? Ayo cerita ke gue ..." sahut Prisil. Aku menghela napas panjang.
Atau lebih tepatnya, aku tidak ingin Prisil tahu mengenai keadaanku yang sebenarnya. Kemarin, aku tengah bergulat dengan perasaanku sendiri.
Gina mendatangiku dan bilang kalo sakitnya kali ini merupakan sakit yang paling ia sukai. Aku bahagia mendengar kabar itu, tapi aku juga patah hati.
"Sekarang saya yakin jika Arhan mencintai saya," kata Gina.
Aku pikir aku sudah sangat siap menelan pil pahit ini, ternyata sematang apa pun persiapaanku. Aku tetap harus melewat fase sakit saat patah hati.
Berusaha untuk terlihat baik-baik saja, nyatanya memakan banyak energiku. Aku selalu kelelahan setelahnya dan terkadang menangis tanpa sadar. Untunglah, kini aku sudah mulai terbiasa dengan rasa sakit itu.
"Sebelum kita bahas tentang gue, gimana kalo lo lanjutin pembicaraan lusa kemarin. Sekarang gue siap dengerin curhatan lo ..."
Prisil berdeham pelan. "Oh itu, gue nyaris lupa ...."
"Ayo cerita sekarang ...."
"Memangnya sekarang lo lagi di mana?" tanya Prisil tiba-tiba.
"Gue lagi di taman barusan ngambil tanaman lidah buaya buat olesin luka gue. Kenapa?" tanyaku. Gina tidak langsung menyahut.
"Tapi, gue otw mau langsung ke kamar. Ini lagi jalan ke kamar ..." Aku menambahkan.
"Lo tenang aja, suara lo gak akan kedenger siapa pun selain gue," kataku kembali menyakinkan Gina. "Emangnya ini masalah serius ya, Cil? Gak biasanya lo sebingung ini ...."
"Iya, sebenernya gue mau cerita soal—"
"Gina, ngapain kamu di sini?" Aku bingung melihat Gina menunggu di depan pintu kamarku.
"Khayla tolongin saya ..."
"Tolong apa? Luka kamu sakit lagi? Apa butuh saya panggil dokter?"
"Apa kamu sibuk malam ini?" tanya Gina.
"Tidak, memangnya ada apa?" kataku. Gina melirik ponselku.
Aku nyaris lupa jika tadi tengah berbicara dengan Prisil. Saat aku melihat ponselku, panggilan sudah dimatikan.
"Khayla tolong bantu saya buat bujuk Arhan mengizinkan kakak saya tinggal di sana."
"Gina bukannya kamu cerita kalo ...."
Kemarin Gina bercerita bahwa Arhan sangat tidak suka dengan kakak laki-lakinya.
Mereka dulu sangat akrab, tapi menjadi bersitegang saat tiba-tiba kakak Gina memuluk Arhan di depan umum tanpa alasan yang jelas. Semenjak itu, Arhan membenci apa pun tentang kakak Gina dan sangat marah jika ada yang membahasnya.
"Khayla, kamu bantuin saya bujuk Arhan soal ini ya ...."
"Gin, tapi, tuan pasti marah kalo saya ngomongi soal ini."
"Lagian kalo kamu yang dimarahi Arhan, itu tidak akan mempengaruhi apa-apa, kan? Kamu akan tetap kerja di sini. Dan hati kamu pasti tidak akan terpengaruh oleh kemarahan Arhan. Iya, kan?"
***
Holla guys
Happy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Atau Potong Gaji ?!
ChickLit"Nikah atau potong gaji ?!" Pertanyaan yang terus Khayla dengar setiap kali bertemu bosnya, Arhan. Jika kalian berpikir, Arhan itu semacam om-om berperut buncit dengan wajah yang tak enak di pandang serta otak mesum yang menjijikkan. Kalian salah be...