XII

6.8K 295 25
                                    

"Kucing ... kucing apa yang bisa nari ?" 

"Emang ada? Kucing apa?"

"Kucing, kuch Hota Hai ...."

"Itu kuch kuch hota hai, Arhan," protes Gina. Keduanya tertawa. "Kamu dari dulu gak berubah. Selalu garing kalo ngelawak."

"Ada satu lagi ..." seru Arhan dengan senyum penuh.

Aku tercengang. Sungguh ini pemandangan langka, rasa-rasanya aku baru pertama kali melihat Arhan tersenyum selebar itu.

"Pocong-pocong apa yang disukai emak-emak?"

"Pocong apa?"

"Pocongan harga."

Kali ini tawa Gina makin menggelegar. Aku spontan membekap mulutku, nyaris ikut tertawa, lupa akan fakta kalo kehadiranku bahkan tidak di sadari keduanya.

"Sekarang kamu harus mengakui kealihanku dalam melawak," ujar Arhan.

Gina terkekeh, hendak memberikan sesuatu pada Arhan. Namun, tangannya malah terkena sudut meja.

"Aw !" ringis Gina. Arhan dengan cepat langsung memberikan Gina tisu.

"Saya ambilin obat merah dulu—"

"Tidak perlu, Arhan. Ini cuma luka sedikit," henti Gina.

"Kamu yakin ? Apa tidak bahaya?"

"Tidak, tenang saja. Saya ini udah dewasa loh, bukan anak kecil," ujar Gina.

Lagi-lagi aku melihat pemandang yang sangat langka, Arhan terlihat sangat cemas dan begitu peduli pada Gina. Apa ini mimpi?

"Eh, Khayla ...." Gina tiba-tiba menoleh.

Keduanya baru menyadari kehadiranku yang sendari tadi berdiri di ambang pintu. Arhan melihat ke arahku, pria itu nampak sangat kaget melihatku. Seolah baru saja melihat hantu di siang bolong.

Beberapa kali dia terlihat berdeham pelan, sebelum mengalihkan pandangannya.

"Hem ...." aku segera tersenyum kikuk, Bingung, apa sebaiknya aku masuk sekarang atau tidak  ?

"Kamu dari tadi di sana?" tanya Arhan. "Maksud saya, apa kamu mendengar yang tadi," tambah Arhan terdengar sangat hati-hati.

Tunggu dulu. Kenapa tiba-tiba wajah Arhan memerah ? Apa dia malu ? Sejak kapan ada kata malu pada kamus besar Arhan?

"Kamu dengar lelucon garing Arhan tadi, gak ?" sahut Gina bersemangat mengoda Arhan.

Apa-apan ini, wajah Arhan makin memerah seperti tomat rebus. Rasanya aku ingin tertawa sekarang. Ini jauh lebih lucu dari dua lelucon Arhan.

"Dengar gak, Ily ?" desak Gina. Arhan diam-diam melirik ke arahku, dia sepertinya sangat berharap aku tidak mendengarnya.

Jadi kuputuskan untuk tidak menjawab pertanyaan itu. "Gin, kamu gak mau nyambut aku yang baru masuk kerja ?" tanyaku mengalihkan.

Gina spontan menepuk jidatnya. "Ah, iya, gimana keadaan kamu? Kamu udah enakkan? Selamat datang kembali ke kantor. Saya gak sabar buat kerja bareng kamu."

Aku dan Gina saling berpelukan sebelum berjalan ke meja masing-masing. Meja Gina berada tepat di sebelah mejaku.

"Khayla, beberapa tugas besarmu telah saya berikan pada Gina. Kamu tinggal urus beberapa hal penting yang lainnya," ujar Arhan sebelum kembali beralih masuk ke ruangannya.

"KHAYLA .... " Gina tiba-tiba memelukku.

"Kamu tahu, dua hari kemarin adalah hari terindah yang pernah ada," seru Gina.

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang