Aku pikir status sebagai pengangguran tidak akan terlalu mengusikku dalam beberapa pekan ke depan. Nyatanya, tidak. Setelah resmi menjadi pengangguran, aku mendapatkan fakta kalo sekarang bunda terlilit utang.
"Bun, bisa jelasin ke Khayla kenapa ini bisa terjadi ?" tanyaku, setelah satu jam berhasil menenangkan Bunda, yang terus menangis hingga matanya bengkak.
"Bunda ditipu, Khayla ...." sahut bunda. "Teman bunda menipu bunda. Dia meminjam uang atas nama bunda dan bunda terancam masuk penjara jika tidak segera membayarnya sekarang. "
"Kok bisa, Bun? Kenapa selama ini Bunda gak cerita apa pun ke Khayla?"
"Maafin bunda, Nak ...." Bunda kembali terisak. Aku segera memeluk bunda menenangkan.
"Biar semua ini bunda urus sendiri. Kamu tidak perlu terlibat. Ini kesalahan bunda."
"Bun, gak gitu maksud Khayla ..." aku meraih tangan bunda, memberi tahu bunda kalo aku tidak akan pernah membiarkannya menghadapi masalah sendiri.
***
"Lo gak bercandakan, Ily ?" seru Prisil dari panggilan telepon, setelah aku menceritakan segalanya pada Prisil.
"Cuma itu satu-satunya cara, "sahutku pelan.
"Kenapa lo baru cerita ini ke gue? Kenapa gak dari kemarin? Lo bisa pinjam uang tabungan gue."
"Gue gak mau buat lo ikut kepikiran, Cil," jawabku jujur.
"Kalo gitu buat apa punya besty? Kata lo, besty harus saling memanfaatkan. Kenapa lo gak manfaatin gue?" seru Prisil, terdengar sangat kesal. Berbanding terbalik dengan aku yang malah terkekeh.
"Baru kali ini ada orang yang pengen banget dimanfaatin," ujarku.
"Gue serius, Ily ..." ketus Prisil dari seberang sana. "Sekarang lo batalin perjanjian lo itu. Kita ke bank, ambil semua tabungan gue."
"Cil, bahkan tabungan gue dan lo gak bakal bisa bayar setengah dari utang itu." Aku terduduk lemas di kursi.
"Setidaknya cara ini bisa bantu gue nambah waktu buat bayar utang."
Spontan Prisil berdecak keras. "Emangnya gak ada cara lain, Ily? Lo gak takut jadi pembantu di rumah itu? Gimana kalo ternyata orangnya jahat?"
"Lo kok malah nakutin gue sih." Kali ini giliran aku yang berdecak keras.
"Bukan nakut, Ily. Tapi menganalisis kemungkinan terburuk. Makanya gue gak setuju lo jadi pembantu di sana, apalagi selama 4 bulan dan lo harus tinggal di sana. Itu bukan waktu yang sebentar, Ily."
Sebenarnya apa yang Prisil katakan juga menjadi ketakutanku. Aku juga merasa cemas untuk apa yang akan aku hadapi sekarang.
Aku tidak tahu apa pun tentang orang yang akan menjadikanku pembantu. Bagaimana bisa aku merasa tenang? Aku hanya mendapat alamat rumahnya, tanpa tahu siapa dia.
"Lo tenang aja, gue udah bawa alat-alat buat jaga diri," sahutku berusaha setenang mungkin.
Ya, meski tidak bisa menyakinkan diriku sendiri, aku cukup handal untuk bisa menyakinkan bunda dan Prisil kalo semua akan baik-baik saja.
Bunda dan Prisil tidak perlu tahu ketakutan dan rasa raguku.
"Gue gak mau tahu, pokoknya selama lo di sana, lo harus selalu telepon gue. Lo harus selalu kasih tahu gue kondisi lo."
"Iya, insyaAllah," sahutku, nyaris terisak karena terharu dengan perkataan Prisil.
Beruntung aku segera berhasil mengendalikan diri. Aku tidak ingin Prisil malah salah paham dengan tangisku.
"Kapan lo mulai kerja ke sana?" tanya Prisil.
"Mulai pagi besok."
"Kenapa lo baru ngomong sekarang !" seru Prisil heboh. "Kalo tahu gitu, sebelum jam 9 malam gue udah pamit pergi ke rumah lo."
Aku terkekeh mendengar teriakan heboh Prisil. "Gue emang sengaja ngasih tahu lo jam segini. Biar lo gak ke rumah gue."
"Lo jahat banget !" seru Prisil ngambek.
"Lo juga baru pulang lembur. Kalo ke sini, besok lo bisa telat bangun kerja."
"Tapi, kan—"
"Udah mending sekarang lo istirahat. Lo belum makan malam, kan? Gue juga mau beresin barang yang mau gue bawa besok."
Aku baru hendak mengakhiri panggilan, tapi tiba-tiba Prisil menghentikan.
Dengan suara lirih, Prisil mengatakan. "Ily, maafin gue ya. Maafin gue yang gak bisa bantu lo. Kalo aja tabungan gue gak sedikit ini, gue pasti bisa bantu lo ..."
"Cil, Gue gak suka kalo lo nyalahin diri lo !" seruku. "Ini bukan salah lo dan ini juga bukan tanggung jawab lo. Lo ada sebagai sahabat gue itu lebih dari cukup buat gue."
Aku yang sendari tadi menahan diri untuk tidak menangis, seketika terisak saat mendengar Prisil menangis di seberang sana.
"Gue harap kita bisa sahabatan selamanya," katanya.
Aku tahu kalo keadaan keuangan Prisil juga tidak baik-baik saja, ibunya sering sakit dan Prisil satu-satunya tulang punggung keluarga setelah ayahnya tiada, meski begitu ia masih bersikeras ingin menolongku.
"Gue beruntung punya sahabat sebaik lo, Cil ...."
Malam itu kami larut dalam tangisan bersama, mencoba saling menguatkan satu sama lain. Menyakinkan diri bahwa esok badai akan segera usai.
***
Eh, BTW ada yang penasaran gak sih kenapa author kasih semua judul bab pake angka romawi ? Hahahha... walau gak ada yang penasaran, bakal author jelasin alasannya.Alasannya karena .... angka romawi itu ikonik di kepala author. Angka romawi jadi salah satu materi pelajaran matematika SD yang cepat banget author pahami.
Makanya, author pengen semua orang yang baca cerita ini, sekalian mengingat kembali angka romawi... hahahha... Iya, jadi cuma itu alasannya 😅😅
Maaf kalo agak maksa dikit 🤣
Happy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Atau Potong Gaji ?!
Чиклит"Nikah atau potong gaji ?!" Pertanyaan yang terus Khayla dengar setiap kali bertemu bosnya, Arhan. Jika kalian berpikir, Arhan itu semacam om-om berperut buncit dengan wajah yang tak enak di pandang serta otak mesum yang menjijikkan. Kalian salah be...