XXIV

5K 184 0
                                    


Dia ...

Dan kata itulah terakhir yang aku ingat. Kini, Aku membuka mata dan mendapati diriku terbaring lemah di kasur.

Ada Bi Iyem yang sibuk mengolesi minyak kayu putih di tangan dan kakiku hingga tidak sadar kalo aku menatapnya.

Aku pingsan. Namun, yang pertama kali aku ingat bukan rasa sakit di kepalaku, melainkan orang yang aku liat hingga kepalaku terasa sakit dan aku berada di sini.

"Neng Khayla akhirnya sadar juga ...." seru Bi Iyem.

Aku dengan susah payah menarik tubuhku, merubah posisi menyeder di kepala kasur.

"Bi Iyem, apa benar orang itu Bos kita? Siapa namanya?"

"Bos? Maksud Neng, Tuan?"

Aku mengangguk lambat, masih berharap apa yang aku liat salah dan aku hanya salah mengenali orang.

Mereka mungkin sedikit mirip, tapi bukan orang yang sama, bisik batinku.

"Tuan Arhan."

Semua harapanku lenyap tak bersisa. Yang aku liat benar, dia ... Arhan.

Mendengar namanya saja, terasa seperti setengah udara di paru-paruku menghilang. Aku merasa sesak napas dan kepalaku kembali berkunang. Kebetulan apa ini ?

"Neng Khayla gak enak badan? Mau bi Iyem ambilin obat ?" tanya Bi Iyem.

Aku menggeleng pelan. Bahkan obat   tidak bisa menghilangkan migren kepalaku yang terjadi karena fakta soal Arhan.

"Tidak, Bi. Terima kasih, maaf sudah merepotkan Bi Iyem ...."

Bi Iyem tersenyum hangat. "Gak masalah Neng.  Sekarang, Neng Khayla istirahat dulu saja malam ini. Biar besok pagi, Neng Khayla bisa mulai bekerja."

***

Ini hari pertamaku bekerja, tapi gelembung semangatku sudah hilang entah kemana.

Keinginanku hanya satu, Aku tidak ingin bertemu dengan Arhan. Namun, lagi-lagi itu mustahil. Arhan  sudah menungguku di ruang tengah.

"Saya rasa kita tidak perlu sesi perkenalan lagi, kan?"

Dari ekor mataku, aku bisa melihat Arhan tersenyum miring. Itu sangat menyebalkan.

"Karena kamu sudah pasti sangat mengenal saya iya, kan?" tanyanya. Aku mengangguk cepat, malas dengan semua basa-basi ini.

"Baiklah. Ini kontrak kerja kamu selama 4 bulan ...." Arhan memberikan beberapa lembar kertas padaku.

Aku masih ingat tentang insiden jebakan kontrak kerja Arhan, jadi kali ini aku membaca dengan sangat cermat setiap poin yang tertulis.

Selagi aku membaca, Arhan terus sibuk menjabarkan semua aturan rumah yang harus aku patuhi.

Aku tidak terlalu mendengar semuanya, aku hanya mendengar kalo Arhan ingin semua pekerjaanku dijalankan dengan benar.

"Bos, eh, maksud saya Tuan ..."  sejujurnya aku masih canggung memanggil Arhan dengan sebutan Tuan. Tapi, ini salah satu peraturan yang Arhan tetapkan agar semuanya sama.

"Boleh saya tahu tentang poin nomor 9? Apa maksud dari 'pihak kedua, selama kontrak kerja 4 bulan tidak boleh keluar rumah ?'"

Arhan menaik alisnya sebelum menjawab. "Saya rasa itu kalimat yang sangat jelas. Tidak ada kata majas dan sebagainya. Masa kamu tidak paham ?"

Aku menggerutu dalam hati, maksudku, aku memang paham  kalimat yang tertulis itu, tapi bukannya ini aneh? Apa maksudnya, aku tidak boleh keluar rumah selama masa kerja? Aku di sini kerja bukan tahanan rumah.

"Saya hanya menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi," tambah Arhan.

"Maksud Tuan?" Rasanya ada ledakan api di dalam hatiku.

Apa maksudnya hal-hal buruk? Apa dia pikir aku akan kabur atau aku akan mencuri di rumahnya atau apa? Perkataan Arhan jelas mengarah pada hal buruk tentangku.

"Saya lapar. Mulai sekarang kamu yang akan bertugas memasak sarapan untuk saya dan juga makan malam," ujar Arhan, benar-benar mengabaikan pertanyaanku.

"Tuan, saya tidak setuju untuk menanda tangani kontrak ini sebelum poin nomor sembilan di revisi." Sama seperti Arhan, aku mengabaikan perkataannya.

Aku melirik tajam ke arahku, jelas aku tidak akan takut dengan tatapan itu. Aku sudah terbiasa menghadapi kegilaan dan juga marahan Arhan.

"Setuju atau tidak itu ada di tangan kamu, tapi saya tidak akan merevisi apa pun. Jika kamu tidak setuju, kamu bisa batalkan semuanya, termasuk perjanjian awal tentang utang itu."

Aku tertegun. Arhan benar-benar kembali membawaku apa titik tidak berdaya. Dia sangat licik !

***

"Bercanda lo gak lucu !" Itulah yang berkali-kali Prisil katakan setelah aku menceritakan segalanya.

Aku menghela napas panjang, bingung harus bagaimana lagi menyakinkan Prisil kalo aku sedang tidak bercanda. Bahkan aku juga berharap kalo semua ini hanya mimpi. Lalu aku terbangun dan berucap, syukurlah hanya mimpi buruk.

"Terserah lo deh ... gue udah gak punya tenaga lagi buat nyakini lo. Pas liat Arhan, rasanya semua tenaga gue langsung gone. Ini kalo roh gak dikurung di raga, mungkin juga udah say good bye."

"Lo bercanda muluk sih, Ily. Gue jadi bingung ini beneran atau gak," ujar Prisil.

Rasanya detik ini juga aku ingin menjerit, frustasi. "Lo tahu, gue rasanya mau lari dari sini. Gue dosa apa bisa dapat mimpi buruk ini ?"

"Ily, banyakin istigfar. Jangan asal ngomong deh."

Aku menghela napas, mencoba menenangkan hatiku yang bergejolak hebat.

"Lo percaya kalo semua ini kebetulan ?" ujar Prisil setelahnya. "Setelah berhasil lepas dari bos Arhan, lo malah ketemu tuan Arhan dan kabar buruknya lo harus tinggal di rumah dia ..."

Aku spontan menggeleng, lupa kalo itu tidak perlu karena Prisik tidak akan melihatnya. "Gue bingung ... tapi hati gue bilang ini gak mungkin."

"Terlalu banyak kebetulan ...." sahut Prisil. "Gue gak mau soudzon, tapi ...."

"Apa mungkin .... semua ini sudah Arhan rencanakan. Mulai dari di pecat hingga bunda yang terlilit utang." Aku tertegun.

"Apa mungkin .... teman bunda, salah satu persuruh Arhan ? Ini rencana Arhan biar bisa ngjebak gue dan bunda ?"

Dadaku seketika terasa sesak. Jika praduga itu benar, rasanya aku ingin segera menruqiyah Arhan dan membawanya ke rumah sakit jiwa ! Dia benar-benar sudah gila, batinku berteriak.

"Hem ... kemungkinan buruk itu yang terjadi," kata Prisil. " Tapi lo gak ada bukti, kan? Tanpa bukti, lo cuma akan dianggap tukang tuduh."

"Lo bener, kali ini gue gak akan terjebak pada lubang yang sama. Gue akan cari bukti keterlibatan Arhan dalam situasi ini !" tekadku.

"Lo punya rencana ?"

Aku terdiam sesaat sebelum teringat kejanggal tadi pagi.

"Ada sesuatu di kamar Arhan. Satu-satunya tempat yang gak boleh gue bersihin cuma kamar Arhan. Setiap keluar dari kamar, Argan selalu pastiin kamarnya terkunci rapat."

"Dan anehnya lagi, Bi Iyem yang sudah bertahun-tahun kerja di sini, gak tahu sama sekali apa yang ada di dalam kamar Arhan."

"Bi Iyem cerita kalo Fizi pernah iseng masuk ke kamar Arhan,
terus Arhan marah besar. Fizi sampai takut pada Arhan sampai sekarang," tuturku.

"Bukti yang gue cari mungkin ada di kamar Arhan ...."

***
Holla guys ....

Selamat datang buat para pembaca baru, semoga betah baca di sini.

Happy reading.

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang