LIV

3.1K 133 1
                                    

"Saya hanya bercanda, maaf jika itu membuat kamu menjadi canggung," sahut Arya saat melihatku hendak menjawab  'tidak' untuk pertanyaannya, tapi ragu.

"Selamanya posisi peri kecil hanya akan ditempati adik tersayang saya, Gina ...." tambah Arya yang kini giliran wajah Gina yang memerah malu.

"Kakak ... saya sudah dewasa," protes Gina ngambek, tapi itu malah semakin membuat Arya tertantang untuk mengoda Gina.

"Loh, jadi sekarang peri kecil kakak malu kalo disebut peri kecil? Selamanya kakak bakal tetap liat kamu sebagai peri kecil yang doyan makan permen sampai masuk rumah sakit selama 1 bulan."

"Kamu lupa ?"Alis Arya naik turun. Gina spontan mencubit pelan lengan Arya. Semua orang tertawa geli melihat keakraban saudara itu, kecuali Arhan tentunya.

Wajah lempeng Arhan memang sangat sulit berubah, meski Arhan berusaha ikut tertawa, tapi yang terlihat malah seperti seringaian. Tidak ada yang sadar akan hal itu. Aku yang sadar diam-diam menertawakan hal itu.

"Senyumnya sangat tidak natural ..." gumamku pelan. Arhan tiba-tiba melotot kearahku. Ya ampun, ingat Khayla ... instuisi Arhan sangat kuat.

"Seharusnya kamu menghargai usaha saya dalam menghargai dan memuliakan tamu," desisnya dengan isyarat mulut

Aku menahan rapat-rapat bibirku agar tidak tertawa dan segera menunduk dalam.

Arhan kemudian kembali menampilkan tawanya yang terlihat seperti seringaian. Sungguh perutku keram jika harus terus menertawakan pemandangan ini.

Satu hal yang Arhan tidak bisa, dia sangat buruk dalam seni berpura-pura.

***

"Ada apa, Gin?" Aku dan bi Iyem yang baru saja dari tamab belakang heran mendapati Gina sendirian ke dapur dengan kursi rodanya.

Kondisi Gina semakin membaik. Ia tidak perlu lagi dirawat secara intensif dan sesekali Arhan datang ke kantor untuk bekerja.

"Hanya bosan jika di kamar saja. Saya ingin melihat kamu dan bi Iyem masak. Saat sembuh, saya ingin kembali belajar memasak lagi ...."

"Neng Gina gak trauma?" tanya bi Iyem.

Gina menggeleng. "Kalo trauma, entar selamanya saya gak bisa masak."

"MasyaAllah, tekad kamu kuat banget ya pengen bisa masak," pujiku.

"Karena Gina sangat tidak suka kekalahan ...." Suara Arya menyahut. "Iyakan, Peri kecil kakak?"

"Peri kecil ..." Gina mengembungkan pipinya. "Saya sudah dewasa, Kak ...." koreksi Gina yang membuat Arya terkekeh.

"Hari ini mau masak apa? Biar saya yang masak." Arya  memperhatikan bahan makanan yang baru saja aku keluarkan dari kulkas.

"Memangnya Kak Arya bisa masak?" tanyaku spontan.

"Saya gak bisa masak awalnya karena Kak Arya. Kak Arya jago banget masak. Setiap saya mau makan apa aja, Kak Arya bisa buatnya," sahut Gina.

"Loh kok malah nyalahin, Kakak?" Arya tiba-tiba mencubit gemas pipi Gina. Gina mengeluh meski aku yakin itu tidak sakit.

"Kakak lupa? Setiap saya masak, Kakak pasti yang paling repot." Gina mendengus.

"Takut saya luka kena pisau 'lah, takut keciprat minyak 'lah, takut ini—takut itu ...  Akhirnya saya malas, makanya sampai sekarang gak bisa masak."

Perdebatan kecil kakak-beradik itu, menjadi tontonan seru bagiku dan bi Iyem. Terkadang kami ikut tertawa dan bercanda bersama.

Arya merupakan tipe pria yang humoris. Dia sangat pandai menciptakan suasana ceria dan hangat selama memasak.

"Sebenarnya ada satu rahasia yang saya simpan dari Gina..." kata Arya tiba-tiba saat kami tengah memasak. Aku, bi Iyem dan terutama Gina langsung kompak menoleh serius padanya.

"Saya memang jago masak, tapi ...." Arya menunduk dalam.

Gina terlihat cemas. "Kakak ...."

"Tapi saya gak jago ngupas bawang merah tanpa nangis," sambungnya terdengar serius.

Hening ....

Butuh waktu bagi otakku untuk mencerna perkataan Arya barusan yang terdengar sangat serius. Bi Iyem dan Gina pun nampak berpikir keras.

"Gak lucu ya ?" tanya Arya.

Wajah kecewa Arya membuat kami serempak tertawa. Arya salah tingkah dan hampir memasukkan buah apel yang barusan Gina potong ke dalam wajan berisi minyak goreng.

"Baru kali ini saya liat Kak Arya salting," goda Gina

"Siapa yang salting?" Arya segera melahap potongan apel yang ada di tangannya. "Tuh liat, Kakak tuh pengen makan buah yang sudah di potongin adik tercinta ..."

"Makin pinter aja cari alasan," cibir Gina. "Padahal saya susah payah kupasin dan potong buat dijadiin salad buah malah dimakan ...."

"Maaf ya ...." Arya tersenyum lebar.

"Kakak salut lihat perkembangan kamu yang sekarang. Makin jago melakukan semuanya. Udah betah di dapur, bisa ngupas buah dan yang terpenting selalu bahagia."

"Semua karena diajari bi Iyem dan Khayla," sahut Gina. "Pokoknya Kakak harus kasih sesuatu ke mereka .... terutama Khayla yang sudah nolongin saya."

Arya mengangguk semangat. "Tentu saja."

"Tunggu sebentar ...." Arya pamit pergi sejenak

Sepuluh menit berikutnya, Arya kembali ke dapur sembari menenteng dua kotak kayu berukuran sedang di tangannya.

Arya memberikan satu kotak pada bi Iyem lalu satu kotak lagi padaku. Kotak itu terlihat sangat indah, tapi perhatianku tertuju pada surat yang tertempel di alas luar kotak.

"Surat apa itu Neng?" celetuk bi Iyem tiba-tiba saat melihatku memegang surat.

"Loh Bi Iyem gak ada?" Aku balik bertanya. "Coba di cek, Bi. Ada kok di tempel di bawahnya," kataku yakin.

"Gak ada Neng."

"Kenapa ?" tanya Gina tiba-tiba, mungkin karena melihat aku dan bi Iyem terlihat mencari sesuatu.

"Surat punya bi Iyem kayaknya jatuh deh, Gin," sahutku. "Makanya gak ada di alas kotak."

"Surat?" Gina bergumam pelan. "Perasaan kemarin, gak ada surat. Kenapa tiba-tiba jadi ada surat?"

"Ini suratnya." Aku menujukkan surat itu pada Gina, tanpa kuduga Gina mengambil  cepat surat itu dari tanganku.

Kemudian berseru nyaring pada Arya yang kembali fokus pada masakan yang ia buat.

"Kak, ini surat cinta Kak Arya buat Khayla, ya?" seru Gina.

Arya menatap kertas itu selama 5 beberapa detik, di detik berikutnya pupil mata Arya seketika membesar. Raut wajahnya terlihat panik.

"Bukan, Gin. Sini kembalikan kertasnya ke kakak—" Arya hendak merebut kertas itu dari Gina. Gina menjauh, menahan  kertas itu dari jangkauan tangan Arya.

"Serius bukan?" Gina tersenyum lebar. Arya terlihat panik.

"Dek, sini kembalikan," seru Arya lagi.

Gina terkekeh melihat wajah panik kakaknya. "Oke akan saya kembalikan setelah saya bacakan suratnya—"

"Jangan!" Arya menggeleng serius.

Gina terlihat makin bersemangat membaca surat itu. "Isinya ..."

***

Holla guys
Happy reading

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang