XXXIII

4.1K 176 0
                                    

"Yang penting bukan ke KUA ..." ketus Arhan.

Mendengar itu aku jadi bad mood. Aku malas untuk kembali bertanya pada Arhan yang sangat sulit ditebak. Semenit lalu tersenyum, menit berikutnya ketus. Tindakan dan sifatnya lebih tidak terduga dari ramalan cuaca.

"Terserah deh, " gumamku cepat, tidak ingin memperpanjang hal ini.

"Ayo Fizi kita ke mobil ...." ujarku yang langsung di-aminkan Fizi. Fizi terlihat sudah sangat mengantuk.

"Kak Khayla ngantuk juga ?" tanya Fizi.

"Dikit ...." Sejujurnya aku pun sudah mengantuk dan ingin segera  pulang. Namun, aku tidak ingin tidur sepanjang perjalanan. Aku ingin tahu kemana kami akan pergi.

"Bagus. Aku titip permenku ya, Kak. Takut kelupaan di bawa pas turun. Aku mau tidur soalnya. Kak Khayla beneran gak tidur di mobil juga, kan?"

***

"Khayla bangun ...."

Aku mengerjap, suara Arhan sayup-sayup menyapa indra pendengaranku. Aku tersentak begitu sadar kalo aku ketiduran sepanjang perjalanan.

"Eh, udah sampai ya, Tuan ?" sahutku menatap sekeliling dari dalam mobil. Kok suasananya kayak kenal ? Aku segera mengucek mataku agar lebih fokus.

"Eh, ini di—"

Arhan mengangguk pelan. "Di apartemen kamu. Kamu kangen bundamu, kan? Sekarang kamu bisa ketemu bundamu."

"Ini gak mimpi, kan?" Aku spontan mencubit tanganku sendiri. Sialnya, aku mencubit terlalu keras yang spontan membuatku meringgis dan Arhan menertawakan kebodohanku itu dari balik kaca spion depan.

"Saya memang tidak membolehkan kamu pergi keluar sendirian, tapi kalo bersama saya, tidak masalah," ujar Arhan. Aku tersenyum sumringah.

"Udah buruan turun. Saya dan Fizi tunggu di sini."

Fizi mengeliat, terbangun dari tidurnya. "Kita ke rumah Kak Khayla ?" tanyanya. Aku mengangguk membenarkan.

"Kenapa gak ikut juga ? Ini pertama kalinya Fizi ke rumah saya. Kalian berdua harus jadi tamu saya," putusku.

"Biasanya bunda nyetok banyak cokelat. Kamu harus nyobain," kataku pada Fizi. Fizi langsung setuju untuk turun.

"Ayo, Tuan ..." bujukku. "Mobil gak perlu di jaga. Kan di sini ada satpam ...."

"Baiklah." Arhan turun dari mobil. Ia membawa paper bag di tangannya yang membuatku mengernyit.

"Kapan Tuan beli brownis ini ?"tanyamu spontan.

"Tadi saat di supermarket. Bundamu suka brownis, kan?"

"Kok saya gak liat? Tuan tahu dari mana kalo bunda suka brownis."

"Tahu dari kamu."

"Saya gak pernah bilang."

"Tapi, mata kamu bilang segalanya."

Eh .... 

"Kak beneran ya ada banyak cokelat di rumah kakak?" seru Fizi saat kami sudah sampai di depan pintu apartemenku.

"Tenang aja. Ada banyak stok cokelat ...." Fizi verseru tidak sabar. Tidak lama, pintu terbuka, terlihat bunda tersenyum lebar menyambut ke datangan kami.

"Assalamualikum, Bunda ...."

"Walaikumsalam ...." Bunda langsung memelukku lalu menyambut Arhan dan Fizi.

"Bun, maaf ya, Khayla datangnya mendadak, belum sempet telepon bunda dulu. Soalnya Tuan Arhan juga gak ngasih tahu kalo mau ke sini."

"Tenang aja Sayang. Bunda udah tahu kok. Tuan Arhan yang sudah kasih tahu bunda. Jadi, bunda udah siapin makanan kesukaan kamu."

Aku menoleh pada Arhan untuk mencari jawaban. Arhan tidak menjawab, dia hanya menggerakan sedikit kepalanya sebagai jawaban "ya". Bunda menghampiri Arhan dan Fizi yang sudah duduk manis sofa.

"Mau cokelat ?" Bunda memberikannya pada Fizi. Fizi berseru girang dan dengan cepat keduanya menjadi akrab. Fizi  mengikuti bunda seperti ekor yang setia. Makanan apapun yang bunda suapi dengan semangat Fizi membuka mulutnya.

"Mau tambah lagi ?" tanya bunda.

"Iya, Bunda. Khayla mau ayamnya lagi ..." sahutku masih fokus makanan.  Dari seberang meja aku mendengar suara sumbang Arhan yang terdengar seperti tertawa.

"Oh, kamu juga mau nambah lagi, Khayla?" sahut Bunda.
Aku refleks mengangkat kepala dan baru sadar kalo tadi bunda  bertanya pada Fizi bukan padaku.

"Kamu ambil sendiri di belakang, ya .... bunda mau buatin mangga kocong dulu buat Fizi. Fizi suka mangga kocok, kan?"  Bunda berjalan ke dapur diikuti Fizi.

Jadi gini rasanya punya adik ? batinku bersuara.  Aku tidak sedih hanya belum terbiasa mungkin ....

Kembali dapat kudengar suara sumbang Arhan yang diam-diam menertawakanku.

"Ada yang cemburu," ledeknya.

"Siapa yang cemburu? Saya gak cemburu kok —"

Arhan malah makin puas tertawa. "Kenapa tiba-tiba bau gosong ya ... apa jangan-jangan ada yang lagi kebakar ....."

Kesal, aku meraih satu potong roti di meja. "Makan roti lebih sehat dari pada julidin orang ...." kataku.

Aku tersenyum puas begitu roti itu berhasil menyumpal mulut Arhan dengan sempurna. Arhan kaget, wajahnya memerah. Dia nampak marah.

"Satu sama ..." ledekku. Apa perang besar akan dimulai lagi?
Aku tidak peduli. Sekarang waktunya aku tertawa puas.

***

Holla guys ....

(!)>AN /U^ K÷,!P! S>&?. ?!)a# b!,g÷/ l>(e d!, k[m÷, $[!,^ ? E?!,^ s<s!& ;!n%÷t y! B<!t !@p/!@i o=a,% ?

Skipp sesi curhat. See you ..

Happy reading.

Nikah Atau Potong Gaji ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang