"Kenapa lo gak tanya apa alasan bos Arhan bohong soal insiden malam itu?" sahut Prisil saat aku menceritakan mengenai kedatangan Gina dan percakapan mereka.
"Ogah, entar yang ada malah dia jawab dengan pertanyaan baru lagi. Gue malas ah main teka-teki ...."
Aku menghempaskan tubuhku di kasur.
Rasanya sangat nyaman, aku nyaris terlelap jika tidak ingat Prisil masih terus berbicara di balik sambungan telepon.
"Tapi gue penasaran, kenapa bos Arhan gak bilang sejujurnya ...." gerutu Prisil.
"Kok jadi lo yang malah semangat banget sih?" Aku spontan memutar bola mata malas. Terdengar di seberang sana, Prisil cengengesa.
"Kan jiwa kepo gue nular dari lo...."
"Enak aja, fitnah ih," sahutku tidak terima. Sejak kapan aku kepo dengan kehiduapan Arhan?
"Khusus Arhan, gue anti kepo maksimal," sambungku.
Tentu saja Prisil langsung tertawa puas. Ya, aku cuma penasaran satu hal dan selebihnya aku tidak akan ingin penasaran lagi.
"Iya deh, percaya ..."
Aku lebih tidak suka kata itu ketimbang tawa meledek Prisil.
"Emang itu faktanya," sahutku ngotot.
"Udah deh, dari pada berantem, mending sekarang kita istirahat," saran Prisil.
Tentu saja aku setuju, aku juga sudah sangat mengantuk.
"See you, Ily. Good night. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku segera mengakhiri panggilan telepon, menyimpan ponsel di nakas dan hendak kembali rebahan di kasur.
"Oh iya, belum minum obat ..." gumamku.
Mataku tanpa sengaja melihat botol minumku di atas nakasku yang kosong.
Itu alasan kenapa aku menundah minum obat dan nyaris lupa.
"Bunda bisa marah tujuh turunan kalo tahu ini." Aku berjalan ke luar kamar untuk mengambil air putih.
Rumah sudah nampak sepi, Bi Iyem dan Fizi sepertinya sudah tidur.
Saat di dapur, aku tidak sengaja mendengar suara lirih seorang wanita.
"Siapa yang nangis?" Seketika aku merinding, aku berusaha untuk tidak takut dan tetap fokus mengisi botol minumku.
"Ayo dong buruan ...." gerutuku melihat keran otomatis yang begitu lama mengisi botol minumku.
Ini baru pertama kalinya aku merasa semua bergerak dengan sangat lama, tapi suara tangis itu makin jelas terdengar.
"Gak boleh takut, Khayla ...." rapalku sembari terus mengucap doa. "Manusia derajatnya lebih tinggi dari jin ...."
Mataku terus mengawasi botol minum, menanti dengan sabar hingga terisi penuh.
"Penuh !" Aku segera mengambil botol minumku, berbalik hendak pergi, dan bruk .... sejak kapan tembok ada di depanku?
Botolku jatuh. Air tumpah di mana-mana.
"Duh, bahaya kalo gak langsung di lap. Kalo ada yang kepleset gimana?"
Aku dilema. Hati dan otakku saling bertengkar. Pergi saja atau bersihin dulu ?
"Oke, bersihin dulu," putusku, samar-samar aku tidak lagi mendengar suara tangis itu. Aku jadi sedikit tenang.
Lantai sudah kering. Aku hanya perlu mengambil air lagi.
"Gak perlu sampai penuh, setengah aja," putusku karena tiba-tiba aku kembali mendengar suara tangisan dari arah taman belakang kian jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Atau Potong Gaji ?!
ChickLit"Nikah atau potong gaji ?!" Pertanyaan yang terus Khayla dengar setiap kali bertemu bosnya, Arhan. Jika kalian berpikir, Arhan itu semacam om-om berperut buncit dengan wajah yang tak enak di pandang serta otak mesum yang menjijikkan. Kalian salah be...