11

2.4K 124 2
                                    

Elion pov

Kata-kata Anin masih terngiang di otakku. Bahkan ini sudah hari libur usai ujian tengah semester. Seharusnya ada clasmeeting namun aku tidak ingin berangkat sekarang.

Aku masih memikirkan perkataan Anin pada ku dan juga aku tak ingin bertemu dengan Rendra sementara waktu, biarlah janji dahulu dilupakan. Aku ingin memikirkan perasaan ku sekarang.

Perasaan macam apa yang aku rasakan pada Rendra? Rasa suka seperti apa? Aku tahu, hanya saja aku tak ingin mencari tahu nama perasaan itu.

Aku takut terluka. Aku takut dunia menghakimi ku ketika aku tahu nama dari perasaan itu. Aku begitu takut sampai aku tak memikirkan Rendra yang sudah menyatakan rasanya pada ku.

Jika aku diberikan keberanian walau hanya sedikit, aku pasti akan memeluknya pada saat itu. Aku ..tak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, karena aku tak punya keberanian apapun.

"Dia bukan gay dia cuma suka sama lo, Elion."

Kalimat itu terus terngiang di kepala ku, rasanya begitu menyesakkan hingga ingin membuat ku berteriak.

Aku ke balkon kamar, menatap langit hari ini yang mendung. Sepertinya hujan akan datang.

Tak ada bukti pasti tentang Rendra yang bukan seorang gay, dari dahulu dia tak pernah peduli pada sekitarnya kecuali ..aku.

Entahlah, aku baru menyadari saat ini. Mungkin karena aku memikirkannya.

Kenapa baru sekarang? Aku bingung. Dia mungkin sudah menyukai ku lama karena dia begitu memperhatikan diri ku dengan sangat lembut.

Apa yang membuatnya menyukai ku? Dia adalah orang yang nyaris sempurna. Tampan, pintar, kaya, dan di sukai banyak gadis. Tapi kenapa dia menyukai aku? Apa bagusnya aku ini? Sungguh aku tak mengerti.

Suara dering telepon membuat ku terperanjat, mereka mungkin mencari ku ketika aku yang selalu berangkat tiba-tiba tidak berangkat.

Namun ketika melihat nama yang tertera pada layar ponsel, aku menghembuskan nafas ku gusar, kemudian dengan terpaksa mengangkatnya.

"Kenapa?"

Dia bertanya dengan nada khawatir nya, bagaimana bisa aku tak menyimpan rasa jika dia begitu perhatian dan juga lembut? Aku bisa gila.

"Gue capek."

"Aku ke sana."

Setelah itu sambungan telepon terputus, dia selalu serius dengan ucapannya. Maka sekarang dia akan benar-benar kemari.

Sepertinya aku salah. Kita sangat akrab sampai hal itu menjadi sebuah pertanyaan. Aku merasa kita tak akrab hanya karena dia tak banyak bicara pada ku.

Tak lama aku menunggu, suara bel rumah berbunyi. Aku berjalan menuruni tangga, namun bunda sudah membukanya lebih dahulu dan membiarkannya masuk.

Dia tersenyum padaku dengan begitu lembut, aku selalu terpesona dengan senyum itu.

"Udah lama Rendra gak ke sini."

"Bunda lanjut masak sana, katanya mau ke kantor ayah."

"Iya-iya, kalian juga kalau mau makan ada di kulkas, nanti panasin aja dulu."

Aku mengangguk lalu menarik Rendra untuk pergi ke kamar ku.

Sampai di kamar, aku merebahkan tubuh ku di ranjang dan dia hanya duduk di tepi ranjang sembari menatap ku.

Matanya bergulir menatap kesetiap ruangan, tak ada apapun di kamar ku hanya ada beberapa foto kecil ku dan barang-barang ku.

"Kamu manis."

Berapa kali lagi dia akan mengatakan itu? Aku tahu itu, tapi ketika dia yang mengatakannya jantung ku berdegup kencang. Dan ..sialnya aku tak membenci hal itu.

Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mempertimbangkan perasaan ku seperti apa yang Anin katakan?  Sepupunya itu sangat ingin Rendra bahagia.

Dan dia mengatakan pada ku banyak hal agar Rendra bahagia, seakan aku adalah wujud kebahagiannya.

Dia mengatakan kalau Rendra tak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ketika aku menatap matanya, aku bertanya-tanya apakah dia sungguh bahagia dengan diri ku.

Lalu ketika aku menemukan jawabannya, aku terdiam. Matanya memang sayu tapi ketika menatap ku dia menatap dengan penuh kelembutan, seakan benar-benar ada kebahagian dari sana, wajahnya yang awalnya datar, ketika dia menatap ku dia tersenyum tipis namun terlihat sangat tulus. Apa itu benar Rendra? Kamu bahagia bersama ku? Aku sampai tak habis pikir.

"Kenapa lo suka gue?"

Pertanyaan itu terucap begitu saja, anehnya dia hanya bergeming. Tak menjawab, tapi otaknya seakan terus berputar.

"Karena kamu Elion."

Jawaban yang dia katakan sungguh tak membantu menjawab pertanyaan ku, tapi itu tulus dia katakan sebagai sebuah jawaban.

Karena aku Elion, lalu kalau bukan? Tidak- dia mengatakan itu karena aku adalah aku. Ini seperti yang dikatakan Anin.

"Dia bukan gay dia cuma suka sama lo, Elion."

Bahkan suaranya masih teringat jelas di kepala ku, itu terus terputar seperti kaset rusak seakan memaksaku untuk mengatakan perasaan ku padanya.

"Jangan terbebani."

Dia mengusap lembut pipi ku, mencium kening ku. Apakah ini perlakuan seorang teman? Kita tak bisa menjadi teman lagi sekarang.

"Aku akan pergi."

"Gak, lo mau kemana? Lo kan baru sampai."

Kenapa dia ingin pergi? Jangan lakukan itu, aku memang tak ingin melihatmu tapi aku tak ingin membiarkanmu pergi ketika kamu sudah berada di sisiku.

"Gak, bukan itu."

Dia menghela nafasnya menatap ku dengan wajah seriusnya, seolah dia akan mengatakan hal yang sangat serius padaku.

"Setelah lulus, aku akan pergi darimu. Jadi kamu tak perlu lagi terbebani dengan rasa ini, aku yang salah karena menyukaimu jadi aku akan pergi untuk menghilangkan rasanya."

Dia mengatakan kalimat yang begitu panjang, namun aku benar-benar merasa tak senang. Kenapa ketika kamu bilang kalimat yang panjang untuk pertama kalinya, kalimat itu hanya mengartikan kata selamat tinggal? Lebih baik kamu bilang saja selamat tinggal padaku dengan sangat singkat tapi tak begitu menyakitkan.

"Kenapa lo gak mau tanggung jawab sama rasa lo?"

Dia kembali menyentuh pipi ku, menatap ku dengan lembut dan senyuman tipisnya.

"Lion, seakan kamu suka aku saja."

Benar, kepergiannya adalah sesuatu yang benar agar dia bisa menghilangkan rasa sukanya padaku dan aku juga tak lagi merasa tak nyaman dengan rasa sukanya itu. Tapi karena aku punya perasaan itulah yang membuatku merasa tak suka.

"Itu benar."

Dia menarik tangannya tapi aku kembali menariknya agar tetap menyentuh pipi ku. Tangan ini begitu lembut dan nyaman.

"Gue suka lo."

"Lion ..jangan bercanda."

"Apa gue keliatan bercanda?! Gue suka lo, makanya gue gak peduli lo ngelakuin apa ke gue. Gue sadar waktu lo nyium gue, gue sadar makanya gue menghindar. Gue takut, gue takut sama perasaan gue, rasa kita salah Rendra."

Kenapa aku harus menangis di hadapannya? Air mata ini sungguh tak bisa menahan diri, lihat dirinya yang masih shock.

Setelah beberapa saat dia memelukku, menenangkanku.

"Jangan pergi Rendra, tanggung jawab sama perasaan gue. Lo jadiin gue gay."

Rendra terkekeh, dia mengusap kedua mataku lalu mencium keningku. Sepertinya dia sangat suka mencium keningku. Tak apa, justru hal itu membuatku menjadi lebih tenang tanpa alasan.

"Maaf."

Tbc.

SEATMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang