ENAM

1.1K 30 0
                                    

Happy Reading 🤍

Zeandra, Maya dan Ari masih sibuk membicarakan bosnya, terlebih Zeandra yang membandingkan sikap Rafa dan Atasan lamanya di Jakarta, Ardito.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang telah mendengarkan percakapan mereka sejak awal. Rafa, yang ternyata telah berada di belakang mereka, akhirnya memutuskan untuk menunjukkan kehadirannya.

Dengan hanya berdehem, Rafa berhasil menarik perhatian mereka. Ari, Maya, dan Zeandra menoleh ke sumber suara dan terkejut melihat Rafa berdiri di depan mereka dengan wajah yang tampak tidak bersahabat.

"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Rafa, matanya menatap Zeandra dengan intensitas yang membuatnya merasa tidak nyaman.

Ketiganya tampak salah tingkah, terutama Zeandra yang menjadi pusat perhatian Rafa. Mereka berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Rafa, tetapi sulit untuk berpikir jernih ketika dihadapkan dengan tatapan tajam Rafa.

Mereka hanya bisa menunduk, mencoba menghindari tatapan Rafa. Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, Rafa akhirnya kembali berbicara.

"Kalian sedang membicarakan saya?" tuduhnya, suaranya tajam dan penuh dengan kecurigaan.

Maya, yang selalu berani, berusaha menjelaskan. "Nggak, Pak Rafa. Kita cuma..."

Namun, sebelum Maya bisa menyelesaikan kalimatnya, Rafa memotongnya dan menatap Zeandra. "Dan kamu, siapa namamu?" tanya Rafa.

Zeandra menelan ludah, merasa gugup. "Zeandra, Pak," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Rafa mengangguk, kemudian kembali berbicara. "Kamu karyawan baru di sini. Kamu di kirim ke sini untuk bekerja, bukan untuk membandingkan bosmu," ujarnya, suaranya tegas dan penuh otoritas.

Zeandra merasa seperti ditampar oleh kata-kata Rafa. Dia hanya mengangguk. Namun, demi apapun ia ingin menangis saat ini, jiwa cengengnya keluar saat berhadapan dengan Rafa.

Sebelum meninggalkan mereka bertiga, Rafa memberikan pesan kepada Zeandra. Dia meminta Zeandra untuk datang ke ruangannya setelah makan siang.

Zeandra hanya bisa menjawab dengan singkat, "Iya, Pak." Meskipun sebenarnya dia sangat ketakutan dengan pertemuan tersebut. Zeandra merasa bahwa dia mungkin akan menerima hukuman dari Rafa karena telah membicarakannya di belakang.

Dengan perasaan cemas, Zeandra bersiap untuk menghadapi pertemuan dengan Rafa setelah makan siang.

• • •

Di depan pintu ruangan Rafa, Zeandra berdiri dengan cemas, membelakangi pintu. Hatinya berdebar kencang, takut untuk mengetuk pintu ruangan bosnya. Setelah mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Zeandra perlahan berbalik badan untuk mengetuk pintu. Namun, sebelum tangannya menyentuh pintu, kepalan tangannya malah menyentuh wajah Rafa yang tiba-tiba membuka pintu.

Zeandra merasa terkejut dan langsung meminta maaf dengan panik. Namun, Rafa seakan-akan tidak mendengarkannya. Dengan nada marah, Rafa bertanya, "Apa yang kamu lakukan, huh? Kamu buta di sini ada saya? Kamu baru dua hari kerja dan sudah membuat saya marah."

Zeandra hanya bisa menunduk, merasa malu dan bersalah. Dia merasakan tatapan tajam dari Rafa yang membuatnya semakin gugup. Hingga akhirnya, Rafa menyuruhnya masuk ke dalam ruangan dengan suara yang tegas,

"Masuk!" Titah Rafa meninggalkan Zeandra yang masih mematung di tempat.

"Zeandra," panggil Rafa dengan nada tinggi yang membuat Zeandra terkejut. Tanpa ragu, Zeandra mengikuti Rafa masuk ke dalam ruangannya.

• • •

Meskipun AC ruangan menyala, wajah Zeandra dipenuhi keringat. Dia merasa tegang karena berhadapan dengan bos yang disegani. Sejak ia duduk di hadapan Rafa, Zeandra tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya diam, menyimak dengan seksama ucapan dari Rafa yang memberinya tugas tambahan yang mengharuskannya untuk lembur hari ini. Rafa memberikan banyak pekerjaan dengan deadline besok. Zeandra merasa pasrah dan tidak tahu apakah ia akan bisa menyelesaikan semua pekerjaan malam ini atau tidak. Rasanya, ia ingin menangis, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya.

Dalam hati, Zeandra berbisik, ''Mamah, papah, aku mau pulang.'

"Tidakkah kamu mendengar ku, Zeandra?" tanya Rafa dengan serius. Zeandra hanya menunduk, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Jika ia mengeluarkan suara, air matanya akan menetes.

Melihat Zeandra yang tampak tidak berencana untuk menjawab, akhirnya Rafa memanggil Zeandra dengan nada yang begitu tinggi sehingga membuat Zeandra terkejut dan mengedipkan matanya. Sejak saat itu, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya meleleh dan membasahi pipinya.

Rafa yang melihat Zeandra menangis, dan seketika rasa bersalah menyelimuti hatinya. Namun, ia merasa kebingungan tentang apa yang seharusnya dilakukannya.

"Kamu menangis? Dasar cengeng! Kamu itu lemah, baru seperti itu sudah menangis," ucap Rafa dengan mulutnya yang bodoh, tanpa menyadari betapa kata-kata tersebut tidak perlu diucapkannya.

Zeandra merasa hatinya semakin hancur mendengar kata-kata Rafa. Air matanya semakin deras mengalir, tapi ia berusaha untuk tetap tegar meskipun perasaannya terluka.

"Apakah tidak ada sedikit pun empati di dalam diri Bapak?" ucap Zeandra dengan suara tercekat, mencoba menahan tangisnya. "Bapak gak tau apa yang aku rasain."

Rafa terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Zeandra. Dia menyadari bahwa ucapannya yang kasar telah melukai hati Zeandra, dan ia menyesalinya.

"Tapi ini hanya Masalah sepele, Zeandra. Tidak seharusnya kamu menangis" kata Rafa yang masih merasa gengsi untuk mengakui kesalahannya.

Zeandra mengangkat kepalanya dan menatap Rafa dengan tatapan tajam. "Pak Rafa tau, semua orang punya kelemahannya masing-masing, jangan pernah samakan orang lain dengan Bapak."

Rafa merenungkan kata-kata Zeandra dengan serius. Ia menyadari betapa pentingnya melihat kekuatan seseorang dari sudut pandang yang lebih luas.

"Yaudah saya minta maaf, puas kamu?" ucap Rafa.

Zeandra semakin kesal dengan sikap Rafa yang tidak mau mengakui kesalahannya, Zeandra masih terluka, ia berharap bahwa Rafa benar-benar meminta maaf atas kejadian ini.

• • •

Setelah 30 menit berlalu, Zeandra keluar dari ruangan Rafa dengan wajah yang memerah dan matanya yang juga ikut memerah. Siapapun yang melihatnya pasti akan tahu bahwa Zeandra baru saja menangis. Langkahnya terasa berat saat ia berjalan menuju meja kerjanya.

Sesampainya di meja kerjanya, Maya dan Ari melihat keadaannya yang tidak baik. Mereka segera menghampiri Zeandra dengan penuh perhatian.

"Zeandra, kenapa?" tanya Maya dengan nada khawatir, mencoba mencari tahu apa yang membuat Zeandra begitu sedih.

Zeandra, dengan mood yang benar-benar buruk saat ini, hanya menggelengkan kepala dan langsung duduk di kursinya. Dia merasa sulit untuk mengungkapkan perasaannya pada saat ini.

Ari melihat ekspresi Zeandra yang tertekan dan memutuskan untuk memberikan sedikit ruang untuk Zeandra untuk mengumpulkan pikirannya. Dia mengerti bahwa Zeandra sedang dalam kondisi yang rentan dan perlu waktu untuk pulih.

Maya dan Ari saling berpandangan, saling mengerti bahwa mereka harus memberikan dukungan dan kehadiran mereka untuk Zeandra tanpa terlalu banyak bertanya.

Mereka bertiga duduk di meja kerjanya masing-masing, dalam keheningan yang nyaman, memberikan ruang bagi Zeandra untuk memulihkan diri. Meskipun perasaannya masih terluka, mereka tau Zeandra sangat butuh sekali dukungan di saat-saat seperti ini.

A Journey Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang