DUA PULUH DUA

856 32 0
                                    

Happy Reading 🤍

Libur hari Sabtu ini, Zeandra memulainya dengan berolahraga di gym yang terletak di apartemennya. Setelah itu, rencananya ia akan berangkat ke Jakarta untuk menemui kedua orangtuanya.

Sejak Zeandra tinggal bersama Farah, ia belum pernah melakukan panggilan video bersama kedua orangtuanya. Bahkan, ia juga belum sempat memberitahu Keenan yang sekarang menjadi bagian penting dalam hidupnya. Zeandra menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal serius ini, dan ia merasa bahwa saat ini adalah waktu yang tepat. Ia memutuskan untuk membawa Keenan dan Suster Ida untuk ikut ke Jakarta.

"Sus, udah beres?" tanya Zeandra saat memasuki apartemen dan melihat Suster Ida sedang sibuk memasukkan perlengkapan Keenan ke dalam tas.

"Udah beres, Bu," jawab Suster Ida dengan ramah.

"Okey tunggu, saya mandi dulu," ucap Zeandra sambil menuju ke kamar mandi.

Suster Ida mengangguk dan melanjutkan tugasnya. Ia memastikan bahwa semua perlengkapan Keenan sudah siap dan terorganisir dengan baik untuk perjalanan mereka ke Jakarta.

Setelah mandi, Zeandra keluar dari kamar mandi dan melihat Suster Ida sedang menunggunya dengan tas dan perlengkapan Keenan yang siap.

"Terima kasih, Sus," ucap Zeandra dengan senyuman. "Ayok berangkat sekarang aja."

"Mari, Bu," kata Suster Ida dengan semangat.

Pagi ini, perjalanan menuju Jakarta terlihat ramai dan lancar. Berbeda dengan perjalanan sebaliknya, yaitu dari Jakarta menuju Bandung, yang seringkali terjadi kemacetan di jalan tol. Begitu terlihat sekali perbedaannya di jalan tol hari ini. Mungkin ini disebabkan karena hari libur, di mana orang-orang dari kota metropolitan ingin menghilangkan penat dan stres dengan pergi berjalan-jalan ke Bandung yang terkenal dengan banyaknya tempat wisata.

Karena perjalanan tidak macet, perjalan Zeandra terasa begitu singkat. Jam dua belas siang, mereka sudah sampai di depan rumah Zeandra.

Mereka turun dari mobil dan membuka pintu rumah dengan hati-hati. Zeandra merasa sedikit gugup dan berharap bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.

"Assalamualaikum, Ma, Pah," panggil Zeandra saat memasuki ruang tamu dan tidak menemukan kedua orangtuanya di sana.

"Lho, Zea, kok gak bilang mamah mau pulang?" tanya mamanya yang muncul dari arah dapur.

"Papah mana?" tanya Zeandra tanpa menjawab pertanyaan mamanya.

"Papa di atas," jawab mamanya.

"Itu siapa, Ze?" tanya mamanya lagi, melihat Keenan yang sedang digendong oleh Suster Ida.

"Sus, boleh ke belakang dulu? Di sana ada pintu ke kolam renang," ucap Zeandra sambil menunjukkan arah ke halaman belakang.

Setelah Suster Ida dan Keenan berlalu, Zeandra duduk di sofa diikuti oleh mamanya.

"Itu siapa, Ze?" tanya mamanya lagi.

"Ma, boleh minta tolong panggilin papa gak?" tanya Zeandra pada mamanya. Namun, sebelum mamanya bisa memanggil papanya, sosok laki-laki paruh baya itu tiba-tiba muncul dari arah tangga.

"Pulang kok gak ngabarin, Ze?" tanya papanya sambil duduk di samping mamanya.

"Sebenernya aku ke sini cuma sebentar, ada yang mau aku omongin," ungkap Zeandra dengan serius.

Mamah dan Papah Zeandra saling pandang, khawatir dengan ekspresi wajah Zeandra yang serius. Mereka duduk bersama, menyiapkan diri untuk mendengarkan apa yang akan Zeandra sampaikan.

Zeandra menyampaikan kisahnya sejak ia bertemu dan akhirnya bersahabat dengan Farah, hingga hari di mana Farah menghembuskan nafas terakhirnya. Ia juga menjelaskan tentang Keenan yang sekarang menjadi bagian penting dalam hidupnya. Kedua orangtuanya hanya mendengarkan dengan seksama, menyerap setiap kata yang Zeandra sampaikan.

Setelah Zeandra selesai bercerita, ada keheningan sejenak di ruangan itu. Raut wajah kedua orangtuanya terlihat serius, membuat Zeandra merasa gelisah. Mungkin kehadiran Keenan belum diterima dengan baik oleh kedua orangtuanya, pikirnya.

"Kalo mama gapapa, gimana, Pah?"

"Papa gak masalah kalau anak itu diasuh oleh kita," ucap papanya dengan tegas.

Zeandra tak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Dugaannya sejak awal ternyata salah. Kedua orangtuanya ternyata menerima Keenan dengan tangan terbuka.

"Beneran, Pah?" tanya Zeandra dengan rasa tak percaya.

"Gak ada salahnya kita ngurus anak itu, Ze. Anggap saja kita sedang mengadopsi anak yang tidak memiliki kedua orang tua," ucap papanya dengan penuh keyakinan.

"Iya, Ze, mamah juga gak keberatan kalau anak itu tinggal sama mamah. Toh, mama juga, sama papa, kesepian di sini," sambung mamanya dengan senyum hangat.

Setelah mendengar pendapat orangtuanya, Zeandra memanggil Suster Ida yang sedang bermain dengan Keenan di halaman belakang.

"Sus, Suster," panggil Zeandra.

Tak lama kemudian, Suster Ida menghampiri Zeandra dengan Keenan di gendongannya.

"Keenannya biar jalan sendiri aja, Sus. Berat kalau digendong terus," ucap Zeandra sambil menyeringai.

Suster Ida mengangguk memahami permintaan Zeandra dan meletakkan Keenan di lantai agar dapat berjalan sendiri. Keenan terlihat senang dapat berdiri di samping Zeandra.

"Naan, kenalan sama kakek dan nenek, ya," ucap Zeandra sambil mengajak Keenan untuk bersalaman dengan kedua orangtuanya.

Keenan mungkin belum sepenuhnya memahami arti dari "kakek" dan "nenek," tetapi ia mengikuti ajakan Zeandra dengan antusias. Kedua orangtuanya Zeandra dengan penuh senang dan haru merentangkan tangan mereka untuk bersalaman dengan Keenan.

"Selamat datang di keluarga kita, Keenan," ucap mamanya dengan penuh kehangatan.

"Naan punya nenek kakek?" tanya Keenan sambil melihat kedua orang tua Zeandra secara bergantian.

"Iya, ini nenek kakeknya," ucap mamanya Zeandra dengan senyuman hangat.

Keenan terlihat sedikit bingung dan memperhatikan dengan ekspresi sedih. Kemudian, Keenan berkata dengan lesu, "Tapi Naan gak punya Papah."

Kedua orangtua Zeandra saling pandang, merasa tersentuh dengan perasaan Keenan yang tulus. Zeandra mencoba memberikan kejelasan dan meyakinkan Keenan.

"Papah lagi kerja, cari uang buat Naan. Nanti, kalau uangnya sudah banyak, Papah pulang," ucap Zeandra mencoba memberi pemahaman pada Keenan.

"Lama ya?" tanya Keenan dengan polosnya.

"Lama, kan uangnya masih sedikit," jawab Zeandra dengan lembut.

"Ohya, Keenan tumben nanyain Papah, kenapa?" tanya Zeandra lagi. Dia teringat bahwa Farah pernah memberitahunya bahwa Keenan tidak pernah membahas Papahnya sama sekali, mungkin karena sejak ia lahir, ia tidak pernah melihat ayahnya.

"Kemarin, Naan ketemu Om. Terus, Om nanyain Papah naan," ucap Keenan yang berhasil membuat Zeandra terkejut. Setelah itu, Zeandra beralih menatap Suster Ida dengan pertanyaan dalam pikirannya.

"Itu, Bu. Kemarin waktu Keenan beli ice cream, dia ketemu sama tiga laki-laki. Mereka duduk bareng tapi saya pisah meja, jadi saya gak denger mereka ngomongin apa," ungkap Suster Ida.

"Suster, kenapa percaya gitu aja? Kalau mereka orang jahat, gimana?" tanya Zeandra dengan rasa khawatir.

"Om baik," ucap Keenan mendengar ucapan Zeandra, mencoba memberikan keyakinan pada ibunya.

"Maaf, Bu. Saya awalnya sudah melarang, tapi si Dede mau sama mereka. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, tapi laki-laki itu juga bilang bukan orang jahat dan meminta saya untuk mengawasi dari jauh," jelas Suster Ida dengan cemas.

"Udah, udah, Ze. Keenan kan baik-baik aja sekarang," ucap Papah Zeandra untuk menenangkan situasi.

Zeandra merasa lega mendengar ucapan Papahnya, yang mencoba menenangkan kekhawatirannya. Ia sadar bahwa Keenan adalah anak yang baik dan bisa mempercayai instingnya. Namun, sebagai orang tua, Keenan tetap harus dijaga dan diperhatikan dengan baik.

"Om baik, Ma," ucap Keenan lagi.

"Iya, tapi Mama gak tahu omnya yang mana," kata Zeandra dengan kebingungan.

"Maaf ya, Bu, saya gak tahu kalau bakal jadi begini," ucap Suster Ida dengan rasa penyesalan.

"Mungkin Keenan rindu sosok ayahnya, Zea. Makanya, ketika dia ketemu orang baru, dia merasakan kehadiran ayahnya," saran Mama Zea dengan penuh pengertian.

"Nama omnya siapa, Naan?" tanya Papa Zea.

"Om Ifan, Om Afa, sama om satu lagi, tapi Naan lupa namanya," jawab Keenan dengan wajah penuh kepolosan.

"Suster, gak kenalan?" tanya Zeandra.

"Saya gak sempat kenalan, Bu. Si Aa-Aa itu cuma nanya-nanya tentang Keenan saja ke saya," jawab Suster Ida.

"Kalau Sus bisa kasih tahu, penampilan orangnya gimana?" tanya Zeandra dengan harap.

"Orangnya ada tiga, satu pake jas, yang dua lagi pake baju kaos biasa," jelas Suster Ida.

"Udah bapak-bapak?" tanya Zeandra lagi.

"Ya, sekitaran 35 mungkin, Bu," jawab Suster Ida.

Zeandra mencoba menyusun puzzle informasi yang ada untuk mencari tahu lebih lanjut tentang identitas ketiga orang itu. Meskipun informasi yang mereka miliki masih terbatas, setidaknya mereka memiliki petunjuk awal.

"Om mau main ke rumah kita?" ucap Keenan.

"Oh ya?" tanya Zeandra pada Keenan dengan rasa penasaran.

"Suster, ngasih informasi alamat kita ke orang-orang itu?" tanya Zeandra pada Suster Ida dengan kekhawatiran.

"Tidak, Bu. Saya tidak memberikan informasi apa pun kepada mereka," jawab Suster Ida dengan tegas.

Zeandra merasa lega mendengar penjelasan Suster Ida. Meskipun situasinya masih ambigu, setidaknya orang-orang yang Keenan temui tidak memiliki akses langsung ke alamat rumah mereka. Namun, Zeandra tetap merasa waspada dan berhati-hati.














Tolong tinggalkan bintang🤍
trimsss 🤍

A Journey Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang