Happy Reading 🤍
Acara resmi telah selesai beberapa menit yang lalu, dan semua keluarga sibuk menikmati makan siang, termasuk Keenan yang asyik bermain dengan Rifan dan Dimas, mereka terlihat semakin akrab. Namun, Rafa dan Zeandra harus melanjutkan ke sesi dokumentasi acara pertunangan mereka.
Sepanjang sesi foto pertunangan, Zeandra terus menunduk, tak memperhatikan sekelilingnya. Ia tenggelam dalam alam pikirannya sendiri, hingga tidak menyadari bahwa Mamanya telah menyewa jasa fotografer untuk mendokumentasikan acara tersebut.
"Bisa gak sih, Pak, gak usah terlalu deket?" tanya Zeandra pada Rafa di tengah sesi foto, dengan suara yang sangat pelan.
"Saya disuruh fotografernya, Ze," jawab Rafa.
"Mas, boleh ganti pose gak, yang agak jauh gitu?" ucap Zeandra pada salah seorang fotografernya.
"Boleh, Mbak, tapi setelah ini ya, kita belum dapet foto yang deketan," jawab sang fotografer.
"Kita belum punya foto nunjukin cincinnya," tambah fotografernya lagi.
"Hah?!" tanya Rafa.
"Begini, Pak," ucap Zeandra sambil meraih tangan Rafa dan mempraktekkannya.
"Oh, oke," jawab Rafa.
"Gini aja gak bisa."
"Oke, senyum, lihat ke kamera, tunjukin cincinnya, satu, dua, tiga," ucap fotografer untuk mengarahkan sesi foto mereka.
Setelah lima menit berlalu, Zeandra benar-benar sudah kehabisan tenaga, ditambah lagi moodnya yang sudah berada di titik terendah.
"Mas, sudah cukup, ya? Saya udah pegel," ucap Zeandra.
Berbagai pose sudah ia praktekkan, mulai dari pose formal duduk berdua dengan Rafa hingga pose yang lebih bebas, walaupun terdapat kecanggungan yang terasa di dalam dirinya.
"Oke, Mbak, satu foto lagi saya mau foto cincinnya," ucap fotografer.
"Lah, kan tadi udah, Mas?" tanya Zeandra, namun Rafa hanya diam, ia mengikuti semua instruksi dari fotografer.
"Jari Mbaknya sama Masnya harus rapat, supaya cincinnya terlihat jelas, gak kelihatan mukanya ko, cuma jari," jelas fotografer.
"Yaudah, cepatin aja, saya beberan udah capek, Mas," tambah Zeandra dengan jujur. Ia benar-benar merasa lelah, mulai dari bangun pagi, perjalanan ke Jakarta, persiapan acara pertunangannya, hingga menjalani proses dokumentasi setelah acara resmi berlangsung. Bahkan, Zeandra belum sempat untuk makan sedikit pun di tengah kesibukannya.
Saat sesi foto selesai, Zeandra mengira bahwa ia akhirnya bisa beristirahat, namun ketika baru saja menginjakkan kaki di tangga pertama, mamanya memanggil.
"Zea, mau kemana?" tanya mamanya.
"Em, eh, anu ma..."
"Anu apa?" tanya mamanya kembali.
"Aku mau ke toilet dulu," ucap Zeandra dengan sedikit kebingungan.
"Kan di bawah ada," sela mamanya.
"Sekalian mau benerin rambutku sama Mbak MUA-nya," jelas Zeandra.
"Oh, yaudah, cepet ya," ucap Mamanya lalu melanjutkan berbincang dengan para tamu.
Dengan langkah yang cepat, Zeandra berjalan menaiki tangga, dan sesampainya di kamar, ia langsung merebahkan dirinya ke atas kasur.
"Huh, capek banget. Segini tu baru tunangan, belum lagi kalau nikah. Aduh, gak kebayang gue," gumam Zeandra sendiri sambil menghela nafas dalam. Rasanya kelelahan yang dirasakannya tak hanya terasa di tubuhnya, tetapi juga di pikirannya yang terus berputar menghadapi masa depan yang semakin mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey Of Love
Literatura FemininaSemuanya berawal ketika Zeandra dipindah tugaskan ke Bandung, yang mengubah kehidupannya secara drastis. Hidupnya menjadi sangat epik ketika ia harus berurusan dengan atasannya yang menurutnya annoying. Adu mulut seringkali memecah ketenangan, membu...