Namanya Biru, Pradipta Biru. Lelaki berusia 21 tahun ini sedang berdiri di pinggir jalan. Sesekali tatapannya jatuh pada ponsel yang dia genggam, lalu pada jalanan di depannya. Lalu lalang mobil menjadi saksi bisu kegelisahan Biru saat ini.
Manakala satu unit SUV menepi di depannya. Dia bergerak maju. Biru tersenyum, merasa masalahnya akan selesai berkat bantuan teman.
"Thanks banget Rega."
"Yo, sampe tengah malam ya, Ru. Jam satuan lah boleh. Pokoknya jangan sampe subuh-subuh. Gue tunggu di club biasa."
Biru mengangguk setuju. Dia mengantarkan Rega terlebih dahulu sebelum mulai kerja sebagai driver taksi online. Terhitung tiga Minggu lalu mobilnya mengalami insiden sampai tidak bisa digunakan untuk mencari nafkah. Jangankan untuk biaya perbaikan mobil, untuk makan pun Biru benar-benar kesusahan.
Biru sudah melamar pekerjaan ke beberapa tempat sebagai pekerja paruh waktu. Sayangnya kebanyakan hanya mempekerjakan pekerja penuh waktu. Mana bisa, bagaimana dengan kuliahnya?
Jika saja Jingga tidak nekad nyari kerja buat bayar SPP sekolahnya, Biru tak akan sesusah ini. Nasib baik selama bertahun-tahun menjadi anak orang kaya harus kandas karena fitnah dan penipuan yang menyebabkan ayahnya kini mendekam di penjara. Ibunya meninggal karena serangan jantung dan rumahnya disita. Biru hanya bisa menyelamatkan mobil miliknya. Mobil yang dia dapatkan sebagai hadiah ulang tahun dari sang ayah.
Matanya berubah cerah saat notifikasi masuk. Tanda ada penumpang yang order jasa taksi onlinenya. Tiga Minggu tidak dibuka ternyata keberuntungan masih berpihak kepadanya.
Sebelum menjemput penumpangnya, Biru konfirmasi terlebih dahulu bahwa dia menggunakan mobil yang berbeda dengan mobil yang tertera pada aplikasi. Dia berkilah mobilnya sedang di bengkel. Calon penumpangnya tidak masalah. Apalagi sudah malam begini, susah cari kendaraan.
Dua orang pria menunggu dengan gusar di titik jemput. Begitu mobil pinjaman Biru berhenti, mereka masuk tanpa banyak bicara.
"Sesuai aplikasi ya, Pak?" ujar Biru. Penumpangnya hanya menjawab dengan suara pelan. Biru bisa melihat salah satunya terlihat marah dan yang satu lagi terlihat sedih. Jika diizinkan menebak Biru pikir keduanya adalah pasangan yang sedang bertengkar.
"Sampai kapan sih Lo campuri urusan gue?"
Biru terkesiap. Benar saja, keributan mulai terjadi.
"Gue cowok Lo, bego!"
"Gue kerja, Bas. Gue kerja, gue di rumah aja ngandelin gaji mana cukup. Lo sukanya foya-foya, judi online, ke club'. Gue harus penuhi kebutuhan kita."
Ah ... Prahara rumah tangga rupanya. Biru membatin, dia mengambil airpods dan menjejalkannya di telinga. Walau sebenarnya dia tidak mendengarkan apa-apa. Jujur Biru rada kepo dengan bahasan keduanya. Bukan apa-apa, takut aja terjadi yang tidak-tidak, apalagi ini mobil pinjaman. Biru tak akan sanggup ganti rugi jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Ngajar apa malam-malam begini? Ngajar ngelonte?"
"Baskara! Bisa jaga mulutnya gak? Setidaknya tunggu sampai rumah kalau mau marah."
"Gue gak tahan lagi, Ga. Gak tahan. Lo nyalah-nyalahin gue gak kerja, gue judi gue foya-foya biar Lo bisa leluasa selingkuh sama anak muda itu, hah?"
Biru melirik penumpangnya dari spion tengah, lelaki berwajah garang sedang menindih lelaki satunya lagi dengan tangan di leher.
"Pak ... Pak ... Aduh jangan pak, pak jangan nanti mati." Biru panik dia menepikan kendaraannya di tempat yang terang. Pekikan dan perkelahian masih terus berlanjut. Dia tak tahu harus bagaimana.
"Tolong!" Biru berusaha memberhentikan kendaraan yang melintas. Dia menelpon Rega sekali pemilik mobil, dia kalut Biru panik. Napasnya tersengal, dia ingat kilas-kilas kejadian saat orangtuanya diserang banyak pihak, dimaki-maki, disiksa bahkan diseret sampai gerbang.
"Kenapa, Dek?" Biru berusaha sadar, seorang pria bersepeda motor menepi dan menghampiri Biru yang panik di pinggir jalan.
"Tolong, penumpang saya berkelahi." Biru menunjuk mobil miliknya, mobil yang sedang bergoyang sehingga jika dilihat sekilas seperti sedang melakukan adegan tidak senonoh.
Biru lega, pertolongan datang begitu cepat. Pria bernama Baskara berhasil diringkus sementara pria berkacamata yang jadi korbannya menunduk di trotoar. Lelaki itu gemetaran, polisi yang memintanya untuk naik ke mobil patroli hanya sanggup menunggu.
"Maaf sudah melibatkan kamu," ujar lelaki itu, dia lepas kacamatanya. Dia hapus dengan pelan air mata yang jatuh tak tertahankan.
"Gak apa-apa, Pak." Padahal sebenarnya kenapa-kenapa, Biru harus mengalami kesialan di hari pertamanya nge-driver online lagi.
Sebagai saksi, Biru ikut ke kantor polisi. Memberikan keterangan dan berjanji bisa dihubungi kapan saja demi mematuhi proses hukum yang berlaku.
"Mas, Mas," panggil Sagara. Korban kekerasan yang Biru tolong.
"Iya?" Biru mengentikan langkahnya. Sagara berjalan ke arahnya, langkahnya tergesa menyisakan debu halus yang mengambang di permukaan lahan parkiran.
"Bisa antar saya, sekalian saya bayar ongkos yang tadi. Maaf merepotkan."
Biru mengangguk, dia mempersilakan Sagara untuk mengikutinya menuju tempat di mana mobilnya parkir. Biru gelisah seperti Cinderella menjelang tengah malam. Hanya tersisa dua jam sebelum dia harus mengembalikan mobilnya kepada Rega.
***
Jadwal kuliahnya makin padat, Biru bahkan tidak punya waktu untuk nyari uang seperti biasanya. Persediaan makanan makin menipis dan sebentar lagi pembayaran rumah yang dia kontrak bersama Jingga akan jatuh tempo.
Tidak ada pilihan selain menjual satu-satunya harta benda yang dia miliki. Mobil itu mungkin harus Biru relakan agar tetap bisa makan dan bayar UKT. Sisa penjualan akan dia gunakan untuk modal usaha, apa saja yang penting kontinyu, apa saja yang penting Jingga tak ada keinginan untuk bekerja lagi.
"Aa," panggil Jingga. Adik satu-satunya yang duduk di kelas 11 mendekat dengan ragu. Ponsel yang sedang Biru gunakan buat posting mobil di Grup jual beli dia simpan di meja.
"Sini," Biru menepuk tempat kosong di sebelahnya. Jingga mendekat lalu memeluk sang kakak dari samping. Satu-satunya keluarga yang dia miliki, satu-satunya keluarga yang akan Biru perjuangkan.
"Maafin Jingga, Kak. Maaf." Gadis itu terisak-isak. Jelas saja Biru kaget, padahal tadi tidak apa-apa. Jingga terus menangis tanpa berkata-kata. Biru membiarkan adiknya menumpahkan tangis, biar lega, biar segala bebannya hilang tak berbekas.
"Udah nangisnya?" tanya Biru, ketika tubuh Jingga tak lagi bergetar.
"Udah, tapi masih pengen nangis."
Biru dan Jingga harus saling menguatkan. Tak ada lagi kasih sayang Ibu dan Ayah. Dunia sedang tidak adil pada keduanya.
"Mau cerita dulu apa nangis lagi?"
Diberi pilihan seperti itu, Jingga melepas pelukannya. Dia berdiri dan mengambil sesuatu dari tasnya. Amplop cokelat berupa panggilan orangtua/wali dari wali kelas. Biru kaget, pasalnya seluruh tunggakan sudah dia selesaikan kemarin, ketika mendapatkan uang dari hasil nyopir ditambah pinjaman dari Rega.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA BIRU [END]
RomanceTakdir selalu tidak terduga. Luka Sagara berganti tawa karena Biru. Takut Sagara sirna bersama Biru. Biru bukan sekadar anak mahasiswa berusia 21 tahun. Lebih dari itu, Biru adalah segalanya bagi Sagara. (21+) Semoga kalian bijak memilih bacaan.