Chapter 36

1.3K 82 10
                                        

Kalau bisa berdiam diri di rumah, Sagara ingin sekali diam dan menunggu Biru sampai dia bangun. Memberikan ucapan selamat pagi dan dilengkapi dengan morning kiss. Tapi Sagara sibuk, pengacara sudah menunggu, proses peninjauan kembali kasus yang menimpa ayahnya Biru harus segera dirampungkan. Sagara ingin melihat Biru dengan senyuman bahagia. Pun dengan Jingga, Sagara ingin melihat gadis itu tidak selalu diliputi dengan perasaan sedih.

Setelah pertemuan dengan pengacara usai, Sagara mengurus segala keperluan untuk segera terbang ke Jerman. Untuk mengesahkan pernikahannya dengan Biru. Sayangnya Biru, lelaki yang hanya dominan dalam urusan ranjang itu kembali salah paham. Lelaki itu tidak ada di rumah saat Sagara kembali.

Gimana tidak panik, Biru belum sepenuhnya sembuh. Lelaki itu sakit dan sedang dalam penyembuhan.

"Mama kenapa izinin dia pergi sih. Astaga dia sakit Ma." Sagara ngomel-ngomel, tangannya terus bergerak menghubungi satu per satu teman Biru yang dia kenal. Tidak ada balasan, sepertinya semua memang sedang sibuk.

"Telepon Jingga, siapa tahu Biru pulang ke rumah kalian," ucap perempuan yang melahirkan Sagara.

"Udah, Jingga masih sekolah. Dia udah nyari tahu lewat tetangga, katanya gak ada yang datang."

"Tadi pamitnya mau ke kampus, mau revisian. Coba kamu ke sana aja, siapa tahu beneran lagi ketemu sama dosen. Jangan parno gitu, ah."

Sagara mengangguk, terpaksa Sagara mengeluarkan mobilnya, lalu pergi dengan perasaan yang tidak bisa dia gambarkan. Sagara tahu pasti ada yang salah sampai-sampai Biru pergi, anak itu memang selalu begitu. Masalahnya benar kata Sagara tadi Biru masih sakit. Kebayang rasa sedihnya saat melihat Biru terbaring di UGD kemarin.

Untungnya, sebelum Sagara sampai di kampus, Rega keburu menelponnya.

"Maaf pak Guru, tadi lagi main PS gak liat ponsel. Nyari Biru, ya? Ada di sini, di rumah Sena. Pak Guru mau jemput?"

"Syukurlah, saya panik nyari dia. Masalahnya kan dia masih sakit."

"Iya, dia emang keliatan gak sehat. Sekarang lagi gitaran di balkon. Kalau mau jemput nanti saya share lokasi pak."

"Terima kasih, Rega. Saya mau ke sana, saya tunggu lokasinya."

Sagara tidak akan pernah membiarkan Biru pergi lagi, dia tidak akan meninggalkan Biru. Sepanjang jalan menuju rumah Sena dirinya terus dihantui rasa panik dan takut. Dalam hubungannya Sagara memanglah seorang submisiv, dia seorang pria dengan posisi bottom dalam kehidupan seksualnya. Tapi dalam kehidupan realitanya, Sagara seperti seorang Top yang mengasuh bottomnya. Sagara yang mengayomi, Sagara yang bertindak layaknya seorang suami.

Biru baru berumur 21 tahun, itu pun rasanya masih terlalu bayi buat Sagara. Pikirannya tidak bisa ditebak, keputusan yang diambil Biru pun selalu berdasarkan emosinya semata. Sagara mendiamkan Biru berujung lelaki itu menderita seperti menghukum diri sendiri. Sagara tidak lagi-lagi menolak Biru, mendorong Biru pergi. Dia sudah berjanji akan hidup bersama Biru, selamanya, sampai tiba saatnya dia harus pergi menghadap Penciptanya.

Sagara mencocokan alamat yang dikirim Rega dengan rumah megah yang ada di hadapannya. Seorang pria tergopoh-gopoh membukakan gerbang.

"Pak Saga?" tanya lelaki itu.

Sagara mengangguk.

"Masukin aja mobilnya, Pak. Saya disuruh Mas Sena buat ngantar sampai belakang, mari ikut saya."

"Terima kasih, Pak."

Setelah parkir Sagara mengikuti lelaki yang ternyata adalah pengurus rumah besar ini. Begitu memasuki ruangan tamu, Sagara disambut foto keluarga, dua lelaki satu di antaranya Sena, kekasih Kastara. Satu lagi mungkin kakak atau adiknya, terlihat serupa. Dan seorang perempuan berwibawa dengan sanggul modern.

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang