Entah berapa banyak ucapan terima kasih yang bisa Biru berikan kepada Rega. Berkat kebaikan hatinya meminjamkan mobil, Biru akhirnya bisa menebus biaya perbaikan mobil di bengkel. Biru juga bisa bayar sebagian utang dan juga bisa narik pake mobil sendiri. Untungnya, penumpang lagi banyak. Ada juga penumpang offline yang memberikan uang tip lumayan.
Biru baru saja menyelesaikan pekerjaan, malam ini dia tidak akan narik dua puluh empat jam seperti sebelumnya. Badannya terlalu lelah, sinyal untuk beristirahat dia terima manakala kepalanya berdenyut nyeri.
Biru sudah dua kali berhenti di jalan sepi demi meredam rasa sakit. Dia pijat kening dan pejamkan mata berharap rasa sakit itu hilang dengan segera.
Biru akui sudah bekerja terlalu keras, dia kuliah, narik, kuliah, narik, begitu saja seterusnya. Bahkan hari sebelumnya Biru tidur di mobil, kurang dari dua jam.
Di perjalanan pulang, Biru menajamkan penglihatannya. Dua pria dewasa sedang berdebat di pinggir jalan. Rasanya seperti deja vu, apalagi salah seorang yang berdiri di sana adalah orang yang sudah menghantui Biru belakangan ini. Wajahnya tidak menyiratkan rasa takut seperti sebelumnya. Biru melihat Sagara sedang kesal.
Kendaraan yang dia kemudikan menepi tepat di depan Sagara. Biru membuka jendela dan memanggil lelaki itu.
"Sagara, naik," panggilnya, tanpa embel-embel Pak seperti sebelumnya. Sagara mematung sejenak lalu bicara dengan lelaki tampan di sebelahnya.
"Ayo cepat," pinta Sagara sambil fokus dengan ponselnya. Biru melirik sekilas lalu tatapannya beralih pada pria yang ada di luar mobil. Mata pria itu terlihat sedih.
Melintasi gelapnya malam, Biru membawa Sagara meninggalkan tempat itu. Sayangnya rasa sakit di kepalanya kembali menyerang, Biru mau tak mau kembali menepi dan menumpukan kepalanya pada roda kemudi.
"Biru, are you okay?" Sagara menepuk lengan Biru, dibalas dengan anggukkan, setidaknya Sagara lega lelaki itu tidak kenapa-kenapa.
"Sagara bisa nyetir?" tanya Biru. Suaranya melemah pandangannya mulai kabur.
"Kamu kenapa, hei, Biru sakit?"
"Hanya pusing. Tolong gantikan saya nyetir, saya gak sanggup."
Sagara mengangguk, dia turun dari mobil dan berjalan memutar. Biru hanya bergeser dan melangkah ke bangku sebelahnya. Dia atur posisi jok mobilnya setengah berbaring. Lalu kesadarannya terenggut dan tergantikan pekatnya gulita.
Sagara tak banyak bicara. Dia melajukan kendaraannya menuju kediaman Biru. Dalam perjalanan yang tidak begitu panjang itu, Sagara menatap Biru. Wajahnya terlihat lelah, sekalipun dia tidur terlelap kerutan di keningnya tak juga pudar.
Tiba di kediaman Biru, Sagara tidak langsung membangunkan lelaki yang kini terlelap itu. Sagara sempat panik Dia mengira biru pingsan, namun mana kalau melihat napasnya yang teratur. Dia mengerti bahwa Biru hanya butuh tidur.
Sagara hanya diam menatap Biru. Jika Sagara lihat, Biru memiliki kesamaan dengan dirinya. Strugle dalam memenuhi kebutuhan sendiri setelah lepas dari bayang-bayang kekayaan orang tua. Malah, Biru mungkin lebih dewasa dibandingkan dirinya. Semua orang tahu tentang keadaan keluarga Biru, di sekolah pun tersebar bagaimana Arsyila Jingga harus sering menunggak biaya sekolah.
Alih-alih membangunkan Biru, Sagara memilih menyandarkan tubuhnya pada sandaran jok. Membuka kaca sedikit, lalu dipejamkannya mata dan menikmati sapuan angin malam yang mengintip melalui celah kaca dan menerpa wajahnya.
"Nghh ...." Biru menggeliat, dia merentangkan tangannya.
Setelah mengucek mata beberapa kali Biru sadar kalau dirinya masih di mobil. Lelaki itu mengedarkan pandangan dan melihat Sagara memejamkan mata dengan tenang. Napasnya teratur, tangannya bersedekap di dada.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA BIRU [END]
RomansaTakdir selalu tidak terduga. Luka Sagara berganti tawa karena Biru. Takut Sagara sirna bersama Biru. Biru bukan sekadar anak mahasiswa berusia 21 tahun. Lebih dari itu, Biru adalah segalanya bagi Sagara. (21+) Semoga kalian bijak memilih bacaan.