Chapter 34

440 36 2
                                    

Melihat lelaki yang tidur pulas sambil memeluk tangannya membuat Sagara merasa semakin bersalah. Seharusnya Sagara bisa lebih dewasa dalam menyikapi masalah yang terjadi akhir-akhir ini.

Dia usap rambut Biru yang sudah panjang melewati batas telinga. Lembut, aroma shampo mentol rasanya lebih menyegarkan saat dipakai Biru. Masalah Biru yang tidak tidur selama bermalam-malam itu benar adanya. Biru memang sengaja tidak tidur, paling dalam satu hari dia mengalami beberapa kali microsleep.

Sagara memejamkan mata, tidak sanggup membayangkan jika Biru mengalami microsleep ini sambil mengendarai motornya. Sagara tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika hal itu benar-benar terjadi. Apalagi dia sering mendengar banyak penyebab kecelakaan dikarenakan microsleep.

Kini, setelah berbaikan, tubuh Biru seakan minta hak untuk tidur. Dan ini sudah hari kedua Biru tidur dengan nyenyak. Hanya tidur, Biru bangun jika mau makan itu pun dibangunkan selain itu jika hendak menuntaskan hajatnya di toilet.

Keduanya sudah bicara dari hati ke hati kemarin. Baik Biru maupun Sagara mengakui kesalahannya masing-masing. Biru si sumbu pendek yang mudah tersulut emosi berjanji untuk mengelola emosinya lebih baik lagi. Sagara pun, dia akan selalu jujur dan terbuka tentang apa pun itu.

Keadaan Biru sebenarnya ada sedikit peningkatan, hanya sedikit, karena air seninya masih bercampur darah dan Biru masih meringis kesakitan saat mengeluarkannya.

Penyebab terbesar rasa sakitnya itu dikarenakan Biru terlalu banyak duduk. Kurang minum air putih, asupan minuman hanya kopi dan soda. Selain ginjalnya, lambung Biru juga kena. Tapi bagi Biru, sakit fisik ini tidak sesakit hatinya. Hatinya sakit berjauhan dengan Sagara.

Usapan pada rambut Biru berhenti saat dering telepon mengagetkannya.

"Mau kemana?" rengek Biru saat Sagara berusaha melepas tangan yang digenggam Biru.

"Ada telepon dulu bentar."

"Di sini aja jawabnya," pinta Biru. Rasanya dia tidak mau lagi kehilangan Sagara.

"Iya, tapi ponselnya di sana, saya ambil dulu, ya."

Biru mengangguk, rasa kantuknya mendadak hilang. Khawatir Sagara akan pergi setelah ini.

"Kenapa wajahnya begitu?" tanya Sagara saat tiba membawa ponselnya. Dering teleponnya sudah berhenti.

"Takut ditinggal," jawab Biru jujur. Berbulan-bulan tanpa Sagara membuat hidupnya hampa. Padahal Biru tidak pernah semerana ini saat putus sama pacarnya. Kalau putus, ya cari lagi aja.

"Ya saya di sini. Barusan papa nelpon, tapi gak keburu diangkat. Kalau misal saya harus pulang, gak apa-apa ditinggal?"

Tidak ada jawaban, sebagai gantinya Biru memeluki pinggang Sagara sangat erat. Sagara itu pusat dunianya, Sagara yang membuat Biru menemukan sosok yang dia cari selama ini. Sagara segalanya bagi Biru.

"Diem berarti iya atau tidak?"

"Iya apa? Iya gak apa-apa? Emang keliatan baik-baik aja kalau ditinggal?"

"Manja bener, sih. Bentar telepon papa dulu."

Sagara menarik Biru dan membiarkan pacar mudanya itu berbaring di pangkuannya. Tangan kirinya menyugar rambut Biru yang lembut, mengusap kening yang berjerawat sesekali memencet hidung bangir Biru. Sementara tangan kanannya memegang telepon dan bicara dengan papa melalui sambungan telepon itu.

Benar saja, Sagara harus pulang. Biru yang merengek enggan ditinggal akhirnya diboyong bersama. Dalam perjalanan Biru memeluk pinggang Sagara. Menyandarkan kepala di punggung kokoh kekasihnya itu.

"Jangan tidur," pinta Sagara.

"Enggak tidur, lagi ngendus wangi kamu."

"Iya, awas kalo tidur, ini di motor, takut kamu jatuh."

Biru makin makin menduseli Sagara, menghirup banyak-banyak aroma tubuh Sagara yang menenangkan. Biru gak bisa bayangin kalau kemarin mereka tidak berbaikan, entah sampai kapan Biru berkubang dalam penyesalan yang tidak berkesudahan.

Motor matic Biru masuk ke pekarangan rumah Sagara. Biru turun duluan lalu menunggu Sagara. Pacar cerewetnya membawa obat-obatan Biru dan juga beberapa baju ganti. Khawatir urusannya lama dan diharuskan menginap di sini.

"Ada tamu, ya?" tanya Biru. Ada mobil terparkir di halaman. Sagara mengangguk, mungkin orang kantor atau rekan kerja Papa dan Kak Aksa.

Namun, begitu tiba di ruangan tamu kediaman mereka yang ada hanya ketegangan. Ada perempuan yang ingin sekali Biru cakar mukanya, perempuan yang selalu ngotot ingin jadi istrinya Sagara, perempuan yang pernah menyebarkan thread berisi hal pribadi Sagara dan juga orang yang sama yang pernah mencelakai Jingga sampai mendapatkan jahitan di kepalanya.

"Nah itu dia sudah datang," ucap Andrian Jatmika. Pria seumuran Adrian yang ada di depannya terlihat menghela napas lega.

"Om kira kamu tidak mau datang ke sini," ucap lelaki itu. Biru menajamkan ingatan, dia merasa pernah melihat lelaki itu tapi entah di mana.

"Ada apa?" Sagara mode dingin begini bikin Biru merinding, ingat kembali bagaimana Sagara waktu mereka putus, sama persis begini. Dingin, wajahnya terlihat kejam.

"Ini soal proses peninjauan kembali kasus Om Darius, Biru, duduk sini, Ru. Man, ini Biru anak sulung Darius. Inilah alasan saya ngotot mau memperkarakan ini kembali."

"Saya sudah tua, sudah siap kalau harus mendekam di penjara, lagipula tidak enak harus hidup di bawah bayang-bayang rasa bersalah. Saya hanya minta satu syarat sebelum saya mengakui semua kesalahan di pengadilan nanti."

Setelah mendengar sepotong obrolan itu Biru mengepalkan tangan. Ya, dia ingat, ini adalah satu orang lainnya yang berfoto bersama Adrian dan ayahnya.

"Selama syaratnya masuk akal," kali ini Sagara yang menjawab.

Wasman menepuk tangan Anita pelan, terlihat penuh kasih.

"Jika saya dipenjara, Anita akan sendirian di sini. Ibunya sudah pergi, kakak-kakaknya tidak ada yang peduli. Saya hanya minta satu hal, tolong jangan batalkan perjodohan Sagara dan Anita. Percepat pernikahan mereka, agar saya tenang meninggalkan dia di sini, maka saya akan akui semua kesalahan saya di pengadilan. Sepadan bukan?"

Biru menegang, Sagara bisa lihat Biru pasti marah meledak. Tapi yang terjadi tidak begitu, Biru diam menunduk.

Biru tengah berada dalam kebimbangan. Jika Sagara tidak mau menikahi Anita, Ayahnya akan tetap di penjara. Jika Sagara menyetujui permintaan itu, maka ayahnya akan bebas. Jingga akan bahagia, Biru juga. Meski akan ada sudut hatinya yang luka. Sagara akan menikah, Biru akan segera move on, mencari kerja dan membahagiakan ayahnya.

Sagara menyanggah keinginan itu, tapi berdengung. Biru tidak tahu apa yang dibicarakan Sagara. Semuanya berputar, pandangan Biru buram. Air mata sialan, mengapa harus menangis. Bukannya harus bahagia karena sebentar lagi ayahnya akan bebas?

Tapi membayangkan berpisah lagi dengan Sagara membuatnya sesak. Entah mengapa sesaknya sampai tidak bisa bernapas, sampai dadanya sakit seperti dihimpit. Kepalanya sakit berdenyut, Biru menunduk.

Lantai marmer yang dia pijak seperti bergoyang. Dia merasakan Sagara menggenggam tangannya. Tidak boleh begini, Sagara mau menikah, calon istrinya melihat.

Biru hendak menepis tangan Sagara tapi tak mampu, tubuhnya seperti tidak bertulang, lantainya kembali berputar. Biru pejamkan mata, lalu dibuka lagi. Matanya mengerjap-ngerjap, ah sialan, mungkin Biru masih ngantuk. Tapi aneh, dadanya makin sesak, oksigen seakan menjauh darinya. Biru butuh oksigen, Biru mau bernapas tapi susah.

Dia berdiri, mungkin di luar dia bisa bernapas, tapi nahas, seiring dengan tubuhnya ditegakkan, kesadarannya terenggut paksa. Hal terakhir yang dia dengar adalah Sagara yang terus meneriakkan namanya.

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang