Chapter 3

158 11 5
                                    

Turun dari ojek online yang dia tumpangi, Biru berjalan tergesa menuju cafetaria di kampusnya. Wajahnya memerah karena panas dan juga amarah. Dia mencari dua sahabatnya yang sedang makan siang di sana.

"Anjing! Anjing anjing homo sialan!" Biru mengumpat, lelaki itu duduk dan menenggak minuman milik Rega, sahabatnya.

"Gue homo ya, kalau Lo lupa." Kastara sensi saat dengar umpatan Biru.

"Tck! Ah gak tau ah. Ga, Lo ada uang berapa, dah?"

Rega berhenti mengunyah, dia merogoh dompetnya dan mengeluarkan isinya. Kastara yang tidak ditanya malah ikut-ikutan.

"Gue punya dua ratus sepuluh rebu kalau cash. Lo berapa, Kas?" tanya Rega.

"Gue seratus tujuh lima cash, eh bentar-bentar." Kastara ngubek-ngubek tas dan nemu uang yang masih digulung struk belanja minimarket. "Ditambah ini dua puluh delapan maratus, jadi berapa ya?"

"Sianjing! Bukan itu, kalian punya tabungan berapa? Jangan goblog deh gue siram kuah pempek tau rasa."

"Lah, salah ya?" tanya Rega.

"Ga beli mobil gue, Ga, atau gadai gapapa, gue asal punya uang dulu buat beberes uang sekolah Jingga aja dulu."

Rega sama Kastara saling lihat. Dikira beli kacang goreng kali, ya, gampang aja Biru nodong Rega buat beli mobilnya. Kalaupun ada uang jelas gak bakalan cukup buat beli Grand Livina 2021 yang harga secondnya aja di atas seratus mapuluh juta.

"Ga, Please. Gue minta DP sepuluh juta aja dulu, Ga. Trus utang gue potong aja di situ."

Rega geleng kepala, trus lanjut ngunyah pempek kapal selam, seruput cukonya.

"Ga Lo denger gak sih? Anjir ah."

"Lo ngumpat si homo- si homo ujung-ujungnya maksa Rega buat beli mobil Lo emang ada apa sebenarnya. Cerita yang bener dulu siapa tau kami bisa bantu, iya kan, Ga?" ujar Kastara.

"Tau, tuh, makanya jangan diduluin emosi," sambung Rega.

"Jadi gini, Minggu lalu pas gue pinjem mobil Lo buat narik tuh gue kan dapat penumpang cowok dua. Sepasang kekasih gitu. Mereka berantem, sory Ga baru cerita sekarang. Satunya dicekik di mobil Lo, gue Ampe panik takut kenapa-kenapa mana mobil pinjeman."

"Trus?"

"Dengerin dulu anjim, gue belum selesai." Biru gebrak meja, Kastara di sebelahnya hanya tertawa sementara Rega sudah fokus dengan menyimpan sisa pempeknya.

"Ceritanya gue berhasil nolongin tuh cowok yang paling lemah deh, yang dicekik, Ampe ke kantor polisi segala. Ya gue dapat uang lumayan, tapi kan gak cukup buat bayaran SPP Jingga, sama uang batik, apalagi tuh buku apalah gue gak ngerti. Trus gue pinjem kan uang ke Lo maratus rebu, kan?"

Rega mengangguk.

"Tapi adek gue apes, uangnya ilang di kelas. Katanya dia yakin sebelum pergi ke TU itu uang masih ada di tas, adek gue cuma pergi ke toilet bentar udah raib."

"Lagian masih musim bayar sekolah pake uang cash?" tanya Kastara.

"Ya gue adanya cash, hasil narik, sama dapat dari dia cash juga. Males banget kudu masukin rekening dulu."

"Ya coba Lo gak malas masukin rekening, tinggal ke ATM aja setor tunai, sekarang apa-apa gampang, mudah, kalau gitu kan aman, gak ilang. Palingan dipotong sama admin bulanan gak sampe tiga puluh rebu."

Kastara ada benernya juga sih, Biru ngaku salah.

"Udah lanjutin ceritanya," pinta Rega.

"Karena gak bisa bayar dan besok Senin udah mau UAS orangtua atau wali siswa dipanggil sama wali kelasnya. Ya tadi itu gue ke sekolah Jingga. Lo tahu, wali kelas Jingga tuh cowok yang berantem di mobil, yang dicekik pacarnya sampe nyaris mati."

Rega dan Kastara terlihat kaget. Dunia sempit banget, sudah kayak di novel BL yang biasa dibaca di Wattpad.

"Gue kayaknya udah nangkep benang merahnya, nih, coba lanjut, Ru."

"Wajar gak sih gue tanya kabar dia, wajar, kan? Pak Saga tuh nyaris mati sampe mengap-mengap dicekik gitu. Lehernya sampe memar, gue tanya lehernya masih sakit apa engga. Kalian tau jawaban dia?"

Kompak Rega dan Kastara menggelengkan kepalanya.

"Saya bantu lunasi semua tunggakan Arsyila, tapi saya mohon, Mas Biru sebagai wali dari Arsyila tidak pernah mengungkit kejadian malam itu, juga tetap menjaga rahasia saya, status saya dan juga Orientasi seksual saya." Biru meniru cara bicara Saga.

"Tck! Ngerasa terhina, Lo?" tanya Kastara?

"Iyalah, gue ngambek jelas. Emang tampang gue kaya orang Cepu? Pemeras yang memanfaatkan situasi?"

"Trus gimana?" tanya Rega.

"Ya gak gimana-gimana, gue gak mau begitu. Gue ngambek dan janji bayar semuanya besok tapi gue sebenarnya gak ada duit sama sekali, Ga. Makanya gue minta sama Lo, DPin dulu mobil gue. Iya sih mobilnya di bengkel. Nanti biaya perbaikan segala macam tinggal potong dari situ aja."

Rega menghela napas. Kastara juga, capek banget ngadepin orang kaya gengsian yang gak terima kalau sekarang dirinya udah jatuh miskin. Gak miskin-miskin amat sih, masih punya Grand Livina 2021 yang sakit-sakitan karena meratapi nasibnya juga harus kena banjir beberapa kali.

"Gue boleh ngomong gak sih?" tanya Kastara.

"Gue gak larang Lo buat ngomong, Kas. Biasanya juga ceplas-ceplos aja."

"Sebenarnya pak ...."

"Saga," sambung Biru.

"Iya, sebenarnya Pak Saga itu ngasih win win solusion kalau menurut gue. Apa salahnya terima tawaran dia. Ini menurut kacamata gue yang homo nih, ya. Lo tau, orang homo di sekitar kita itu dipandang setengah mata."

"Sebelah," timpal Biru.

"Iya, udah mah matanya sebelah, yang dipake setengahnya doang. Pokoknya serendah itu kami di mata orang-orang, Ru. Kalau kata gue mah, Pak Saga wajar aja ngomong gitu karena doi khawatir, dia pendidik, dia jadi role model siswanya. Dia panutan, gak lucu kalau identitas dia tersebar. Reputasi dia sebagai guru terancam, kerjaan dia, nama baik dia."

"Yatapi kenapa ke Gue, emangnya gue ada tampang Cepu?"

"Ini bukan perkara Cepu atau enggaknya, Ru. Gue yakin Pak Saga gak maksud ngomong gitu atau ngerendahin Lo dengan tawarannya. Coba gini deh, yang datang posisinya bukan Lo. Orang tua lain yang sama sekali gak open masalah LGBT? Apa gak langsung lapor kepala sekolah karena yang jadi wali kelas anaknya itu adalah guru gay? Iyakan, okelah Lo bilang gak Cepu karena Lo udah sedikit open. Itu juga karena gue sebagai sohib Lo yang duluan homo jadinya Lo bisa nerima. Atau posisikan diri Lo yang sama sekali gak kenal gue, gak hidup di lingkungan yang ada gaynya. Gue yakin Lo juga bakalan ngelakuin hal yang sama, Lo bakalan lapor kepala sekolah karena gak mau adek Lo kena pengaruh buruk. Iyakan?"

"Tapi,"

"Gak ada tapi, Ru. Gue yakin Pak Saga refleks, gue yakin pak Saga sekarang lagi panik."

"Gue kudu gimana?"

"Lo harus ngomong baik-baik sama dia Ru," ujar Rega. Dia setuju dengan pendapat Kastara. "Minimalnya gini, Ru. Pak Saga bilang mau lunasin tunggakan Jingga, ya udah Lo terima aja. Kalau merasa terhina, Lo bilang ke Pak Saga, Lo terima ini bukan sebagai sogokan. Nah Lo janjiin sama dia buat bayar semuanya nanti. Istilahnya pak Saga cuma nalangin dulu."

"Lah, gue jadinya utang dong?"

"Ya ke gue juga sama ngutang kan? Apa bedanya? Ru Biru, gue emang keliatan orang ada, ada duit, tapi ya itu duit bokap. Gue ya sama aja kayak yang lain dijatah sekian per bulan. Mana cukup buat DPin mobil kaya lo minta."

Iya, ya.

Biru merenung, setelah mendapat wejangan dari dua sahabatnya. Lelaki itu nyesel udah marah-marah sama Pak Saga. Dia gak mikirin imbas ke depannya marah begitu ke wali kelas Jingga. Gimana kalau semuanya ngaruh ke Jingga? Gimana kalau Jingga dikucilkan segala macam?

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang