Chapter 12

108 10 11
                                    

Butuh waktu hampir satu jam buat menenangkan Biru. Namun, meski begitu, Sagara dengan sabar menunggu lelaki itu. Di sofa tunggal Sagara merelakan bahunya menjadi sandaran Biru. Tangan mereka masih bertautan, sejujurnya Sagara merasa kram dan kesemutan. Umur gak pernah bohong, dalam posisi sama selama satu jam tentu saja membuat tubuhnya bereaksi.

"Sagara," panggil Biru.

"Hmm," jawab Sagara. Gak tau harus ngomong apa, selain tangan kanannya kebas, Sagara pun belum menemukan topik yang tepat untuk bicara. Padahal lelaki ini selalu berkata iri dengan kedekatan Biru dan Jingga. Ternyata, sedekat apa pun Sibling, masalah pasti datang menghampiri.

"Sory, kamu harus liat aku kaya begini, lemah banget, ya?"

Tangan yang berada di genggaman Biru sengaja Sagara lepas, lalu beralih merangkul Biru. Posisinya kini semakin nyaman, kepala Biru yang semula bersandar di pundak Sagara kini berlabuh di dada.

"Gak ada yang bilang kamu harus selalu kuat, Ru. Jika kamu malu menunjukkan sisi lemahmu pada orang lain, maka tunjukkan hanya padaku."

"Ah gak keren," sahut Biru, suaranya serak. Kebanyakan menangis meski tangisannya tanpa raungan.

"Kamu pasti penganut laki-laki gak boleh nangis, ya?" tanya Sagara.

"Bukan gitu, tapi ya gak keren aja. Harusnya yang ada di posisi ini tuh kamu, trus aku menenangkan, kan keren gitu gagah."

"Bego!" Sagara menjitak kepala Biru dengan tangan kirinya. "Gak ada yang keren dan gagah, gak ada yang lemah juga, kalau mau nangis, ya, nangis. Manusiawi, toh waktu bayi aja bahasa kita tangisan, kok."

"Ah ... Sagara, aku makin cinta," ujar Biru suaranya pelan, khawatir kedengaran Jingga.

"Jadi sekarang sudah tenang, ya? Udah bisa gombal gitu, kok."

"Tapi masih pengen peluk!"

"Ada waktunya, Ru. Lihat kuenya mulai dikerubuti semut. Sekarang saya bantu agar kalian selesaikan masalah dulu. Oke, sini lihat wajahnya."

Biru bangkit dan bergeser agak mundur, sebenarnya tidak terlihat ada jejak air mata, tapi Biru sangat kusut. Di pipi kirinya terdapat bekas dia bersandar di dada Sagara.

"Jelek banget sih," goda Sagara. Biru diam bulu matanya bergetar menatap Sagara dalam diam.

Sagara mengelus pipi kiri dan pipi kanan Biru. Mengelus kelopak matanya, melihat dengan seksama lelaki dengan mata sehitam obsidian itu.

"Aku bersedia menjatuhkan hati, menjatuhkan diri pada anak muda seperti kamu, Ru. Alasannya karena aku percaya, kamu bisa memberikan rasa nyaman, rasa aman, ketenangan yang gak aku dapatkan dari mantan-mantan aku," bisik Sagara. "Tapi melihat kamu semarah itu sama adik kamu, perempuan lagi, membuat aku bertanya-tanya apakah tepat pilihanku ini?"

"Ih jangan ngomong gitu, sumpah, tadi aku kebawa emosi aja," sangkal Biru, dia panik mendengar ucapan Sagara.

"Ayo kita berjanji, dalam hubungan ini, ketika ada masalah. Baik antara kita, ataupun melibatkan keluarga, kita duduk bersama dan selesaikan masalahnya minimal dalam satu hari. Sanggup?"

Biru mengangguk setuju. Pandangannya beralih ke tirai kamar Jingga yang melambai pelan karena tertiup angin.

"Mau obrolin sekarang sama Arsyila?"

"Iya."

Sagara melepaskan pegangan tangannya, lelaki itu berdiri dan memberanikan diri menghampiri Jingga di kamarnya. Sagara melihat gadis itu meringkuk di tempat tidur, memeluk boneka bebek yang sudah lusuh dan lepet.

"Arsyila, sayang, bisa bangun? Boleh Bapak masuk?"

Jingga mengubah posisinya menjadi duduk. Dia menghapus bulir-bulir bening yang membasahi seluruh wajahnya dengan handuk kecil.

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang