"Lama banget anjir gue lumutan nunggu di sini," omel Biru ketika melihat Kastara datang bersama pacarnya.
"Sena baru kelar, lagian kan kita janjian jam 2, buka mata Lo baik-baik, sekarang baru jam dua kurang sepuluh menit. Gue belum telat."
"Ya tetep aja, Rega mana?"
Kastara mengangkat bahunya. Sejak pagi Rega memang gak kelihatan, ketika jam kuliah pun Biru tidak bertemu dengannya. Sebenarnya Biru datang ke cafe ini karena Kastara dan Sena memintanya untuk datang.
"Gue mau ngomong penting sama Lo, jangan dipotong atau disanggah, oke?"
Biru mengangguk, lagi pula seriusnya Kastara itu kadang banyak becandanya juga.
"Seandainya Lo jual mobil itu, Lo mau apa? Maksudnya, sekarang punya uang gede, nih, tapi kan uang itu bisa habis kalau enggak diputerin."
"Ada angin apa nanya begini?" tanya Biru, penasaran.
"Gue mau memastikan aja, takut ke depannya Lo malah makin susah gak ada Mata pencaharian."
Biru sudah rencana mau beli motor dan daftar ojek online. Sisanya buat bayar utang-utang dan modal usaha, itu pun kalau masih cukup. Dia jelaskan semuanya sama Kastara dan lelaki itu mengangguk menatap pacarnya.
"Jadi gini, sebenarnya udah lama Bunda tuh butuh banget mobil buat operasional rumah jahit dan galeri. Bunda gak mau nyicil ke leasing karena ya kan jadi bengkak gitu harganya. Jadi kami nabung dan mutusin buat beli mobil, tapi ya gitu, gak ngumpul-ngumpul uangnya."
"Ya udah gapapa, Lo mau DPin dulu?" Biru semringah.
"Rencana kami mau bayar dulu setengah dari harga yang Lo tetapin itu. Setengahnya lagi, kami cicil, boleh? Kalo Lo setuju sekarang kita ke galeri, bunda ada di sana."
Jantung Biru berdegup kencang, ada rasa tidak ikhlas melepas mobil pemberian ayahnya. Satu-satunya harta yang selamat dari sitaan. Tapi jika dia diam saja, kuliahnya tidak akan selesai, padahal tinggal selangkah lagi. Utang sekolah Jingga pun harus dilunasi seluruhnya. Belum kontrakan yang jatuh tempo tanggal dua puluh bulan ini.
"Gue mau sih nalangin dulu sampe lunas, tapi dia gak mau. Gak boleh katanya." Sena buka suara, Biru mengerti, gak semudah itu menerima pemberian kekasihnya.
Setelah sepakat, Biru membawa mobilnya dengan riang menuju kediamannya. Dia harus membawa surat-surat kelengkapan sebelum menyerahkannya kepada Bunda Selen.
Namun, rencana untuk langsung bertolak menuju rumah jahit harus dia urungkan kala melihat Sagara di depan kontrakannya. Biru buru-buru turun dan menghampiri lelaki yang terlihat sedang terluka itu.
"Sagara kenapa?"
Sagara menoleh dia tiba-tiba memeluk Biru, terisak diam-diam.
"Masuk dulu, ayo, Jingga kayaknya udah pulang."
Sagara menahan tangan Biru. "Harusnya saya gak libatkan kamu, Ru. Tapi saya gak tahu harus ke mana lagi."
"Saya bersedia jadi rumah tempat kamu pulang, Sagara, sejak saya menyukai dan memutuskan untuk mendekatimu, sejak itu pula saya memantapkan hati kalau saya akan menjadi orang yang selalu ada buat Sagara."
"Ini entah ulah siapa, yang pasti saya diusir dari rumah yang saya sewa. Pemiliknya datang dan bilang dia akan menempati rumah itu segera. Dia mengembalikan uang sewa setahun ke depan," ungkap Sagara terbata.
"Ya bagus uang sewanya dikembalikan."
"Ini bukan soal uang, Biru. Harus berapa kali lagi saya tiba-tiba pindah, harus berapa kali lagi saya nanggung semua ini, saya capek! Tapi jahatnya, tiba-tiba sekarang saya datang ke kamu, menjerumuskan kamu pada bahaya yang sama."
Biru tidak banyak bicara, dia membawa Sagara ke dalam rumah.
"Jinggaa, Aa pulang. Pake bajunya AA sama Pak Saga." Biru berteriak, dia tahu betul perangai adiknya yang selalu pakai baju pendek kalau ada di rumah.
Tidak lama, Jingga keluar kamar, menyalami Sagara.
"Pak Saga tumben ke sini, nagih utang ya, Pak?" tanya Jingga polos.
"Enggak, dia mau ngecek kamu yang kerjaannya ngefansgirling. Haluin cowok-cowok KPop."
"Ih, Aa, gitu amat!" ketus Jingga. Dia masuk kamar dan membawa buku.
"Kebetulan banget, Pak saya baca novel ini, kan, ya. Nah ini boleh gak sih dipakai buat tugas resensi novel yang Bapak kasih?"
Sagara menatap Biru, dia melihat pemuda itu tersenyum dan berlalu demi memberikan ruang untuk Calon pacar dan adiknya berdekatan. Sagara berdehem, dia tahu suaranya serak karena tangisan sebelumnya.
"Ini novel KPop?"
"Iya, Pak, Fiksi penggemar gitu. Boleh gak?"
"Sebenarnya gak ada batasan sih, mau novel apa pun juga boleh selama itu novel cetak atau novel cetak yang sudah ada versi digitalnya di Ipusnas atau Gramedia digital. Silakan Arsyila, jangan lupa untuk menuliskan apa kelebihan dari novel yang kamu ulas ini."
Jingga mengangguk senang, tadinya dia hendak membeli buku baru. Namun, dia paham bahwa kondisi ekonomi keluarganya sedang tidak baik-baik saja.
"Kalau gitu, makasih, Pak. Aku ke kamar dulu, ya."
Bersamaan dengan itu, Biru datang membawa dua gelas minuman dingin. Dia meraih tisu basah dan mendekati Sagara. Dia raih dagu lelaki itu, lalu menghapus jejak-jejak air mata dengan tisu beraroma floral itu.
Sagara menutup matanya, sapuan dingin memeta wajahnya dia tak berani membuka mata mengingat begitu dekatnya jarak antara dia dan Biru. Dia biarkan hatinya berdebar, dia relakan perutnya bergejolak menerima sentuhan demi sentuhan Biru.
"Sudah makan?" tanya Biru. Sagara membuka mata dan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Kita makan dulu, ya, tapi saya hanya punya telur, Sagara gak apa-apa?"
"Saya gak lapar, Biru. Saya ke sini mau minta tolong, antar saya cari rumah sewa. Saya harus segera mengosongkan rumah itu, kalau bisa malam ini."
Biru membelalakkan matanya, gila aja, membereskan perabotan rumah sekaligus cari rumah penggantinya tidak semudah itu.
"Beberes aja dulu, saya bantu. Nanti barang-barangnya simpan di sini baru besok cari rumah sewa yang baru buat kamu, ya. Kalau cari sekarang gak bakalan keburu."
"Arsyila tidak apa-apa?" tanya Sagara.
"Enggak, nanti saya bilang sama dia. Malam ini, Sagara tidur di sini dulu. Istirahat, saya lihat kamu lelah banget." Lelaki berkacamata itu menunduk, rasanya nyaman saat tangan Biru mengusap-usap kepalanya.
"Malam ini saya tidur di hotel saja, Biru. Saya takut ngerepotin kamu."
Biru merapatkan posisi duduknya, dengan berani dia meraih pinggang ramping Sagara.
"Dengar baik-baik, saya sangat siap jadi rumah kamu, Sagara. Jadi tempat kamu pulang saat lelah, jadi tempat kamu berlindung saat badai, jadi sandaran kamu saat sedih. Saya siap, sangat siap. Saya minta, jadikan saya rumahmu. Jadikan saya tempat kamu pulang. Jangan menderita sendirian, dan saya akan usahakan kebahagiaan untuk kamu, untuk kita."
Sagara meremas dadanya, rasa nyeri itu tidak bisa dia raba dengan tangannya. Sakit sekali mendengar apa yang ingin dia dengan dari orang tuanya malah terucap dari lelaki yang mengaku mencintainya.
Biru mendekatkan wajahnya, kali ini Sagara tidak menolak. Lelaki itu menyatukan bibirnya dengan bibir manis anak muda yang membuatnya tenang. Gerakannya lambat, tidak menuntut, tapi menyenangkan.
Keduanya menyatukan perasaan masing-masing melalui pagutan demi pagutan. Biru berdiri, merengkuh tubuh di depannya. Membawanya ke dalam ruangan yang sangat sederhana. Biru membaringkan tubuh Sagara, lalu kisah cinta itu kini dimulai.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA BIRU [END]
RomanceTakdir selalu tidak terduga. Luka Sagara berganti tawa karena Biru. Takut Sagara sirna bersama Biru. Biru bukan sekadar anak mahasiswa berusia 21 tahun. Lebih dari itu, Biru adalah segalanya bagi Sagara. (21+) Semoga kalian bijak memilih bacaan.