"Sagara kita tinggal bareng aja gimana?"
Yang diajak bicara diam saja, dia mengumpulkan pakaiannya yang berserak. Jangan pikir Sagara dan Biru sudah melakukan 'itu', di tengah pergumulan mereka, Sagara mendapatkan kembali kesadarannya. Dia mendorong Biru sampai terjengkang, lalu mengambil selimut yang terlipat rapi untuk menutup tubuh telanjang Biru.
"Kita baru kenal, bertemu pun bisa dihitung dengan jari sebelah aja. Kamu dengan entengnya ngajak tinggal bareng kaya mau ngajak petak umpet."
Biru membuka selimutnya, Sagara buru-buru menunduk, enggan melihat meski hatinya bergejolak. Dia cowok normal, normal maksudnya punya berahi, meski orientasi seksualnya ke arah sana Sagara bisa merasakan berahi. Bahkan mungkin sama seperti lelaki pada umumnya.
"Pakai dulu bajunya, atau tutup pake selimut."
Bukan Biru namanya kalau dia nurut apa kata Sagara, dia berdiri di belakang Sagara, melingkupi lelaki itu dengan pelukan.
"Si Joni gak mau tidur," keluh Biru, Sagara pun dapat merasakan tonjolan itu di belakang tubuhnya.
"Jangan Biru, saya gak mau. Saya gak siap dan gak akan pernah siap."
Sagara melepas tangan Biru, lalu memakai pakaiannya. Dia mengambil kembali selimut yang sempat Biru buang, lalu memakaikan kembali di tubuh Biru.
"Saya tunggu di luar. Kalau kamu memang benar mau nolong, ayo kita berangkat ambil barang-barang."
"Sini dulu bentar," ajak Biru. Tangan Sagara yang sudah memegang gagang pintu membeku sejenak kala Biru meraihnya.
"Maaf, ya, maaf karena tiba-tiba saya gak sabaran gini. Hampir aja kelewat batas, sekarang kamu tunggu di luar jangan kabur. Saya pake baju dulu," ucapan Biru diakhiri dengan kecupan ringan di bibir.
Biru seperti orang kesetanan, dia mengambil baju yang berserak di lantai kamar. Memakainya satu per satu dengan tergesa, sampai-sampai dia terbentur sudut meja. Pinggangnya ngilu luar biasa, dia memeganginya seraya berjongkok merasakan kenikmatan yang menyiksa. Air matanya keluar saking sakitnya.
Namun, rasa sakit itu terbayar kala melihat Sagara duduk tenang menunggunya di sofa tunggal milik pemilik kontrakan. Biru nyaris panik, takut Sagara ngambek karena tiba-tiba dia hampir saja memakannya.
"Sebentar, Sagara."
Sagara mengangguk, melihat gerak-gerik Biru melintasi ruangan yang tidak begitu luas itu.
"Jingga, Aa masuk, ya."
Lalu Biru masuk ke kamar Jingga, satu-satunya kamar yang tidak memiliki pintu, hanya tirai kain sebagai pembatas. Kontrakan Biru merupakan kontrakan petakan, tetapi cukup luas.
Dari ruangan tamu, Sagara bisa melihat satu kamar dengan pintu tertutup, kamar yang baru saja dia gunakan untuk mesum dengan Kakak dari anak didiknya. Satu pintu lagi, merupakan pembatas antara ruangan tamu dan ruangan lain yang dia yakini sebagai dapur, di sisi sebelahnya ada kamar Jingga.
"Aa mungkin pulang malam karena harus ke rumah Bunda dulu. Antar Pak Sagara juga, Jingga gak usah masak nasi, ya. Nanti aa kirim saldo gopay, Jingga pesan aja makanannya. Ingat jangan seblak lagi."
"Tapi kalau enggak kemaleman banget pulangnya beli sate GY ya, sama lontong aja."
"Iya kalau masih buka."
Biru keluar kamar Jingga, Sagara menatapnya dan tersenyum. Hubungan dua saudara yang begitu dekat. Sagara iri, dia dan saudaranya malah berdebat setiap kali bertemu.
"Ayo," ajak Biru membukakan pintu untuk Sagara.
"Arsyila, Bapak pamit, ya."
"Eh sebentar, Pak." Terdengar dari arah kamar. Tidak lama kemudian, Jingga keluar dan menyalami Sagara.
"Kirain pak Saga udah pulang, hati-hati, Pak."
Sagara mengelus puncak kepala Jingga.
Cukup lama mereka saling diam. Dua persimpangan lampu merah pun Sagara dan Biru masih menikmati rasa canggung yang terjadi. Biru bahkan menyesali semuanya, andai saja dia tidak buru-buru membawa Sagara ke kamar semua gak akan terjadi seperti ini.
"Saya takut ke depannya kamu terlibat masalah saya, Biru," ucap Sagara memecahkan keheningan.
Biru memutar roda kemudi, mengendarai mobilnya menuju rumah jahit milik Bunda Selen.
"Hidup saya sudah penuh dengan masalah sejak awal, Sagara. Saya juga udah ngalamin pindah kontrakan karena diusir kaya gini. Udah biasa, tenang aja. Oh iya, sebentar ya, saya ke rumah Jahit yang di depan dulu."
"Mau jahit baju?"
"Ikut aja ke dalam kalau keberatan nunggu di sini."
"Saya nunggu aja deh."
Biru mengambil tas kecil yang dia simpan di dashboard. Lalu mendekati Sagara dan mencuri kesempatan untuk mengecup pipi Sagara. Sayangnya Sagara lebih cepat dari Biru, dia buru-buru mendorong Biru. Dia malah tertawa, gak kuat dengan kelucuan Sagara. Dia terlihat malu, pipinya merekah kemerahan.
"Bundaaaa maaf kesorean," ujar Biru begitu memasukin rumah jahit. Sena dan Kastara terlihat kesal karena Biru ngaret.
"Sory bro, ada sesuatu yang gak terduga."
"Kas marah-marah tuh. Padahal Bunda juga gak buru-buru, orang masih di sini sampai malam." Mendapat pembelaan dari Bunda Selen, Biru mencibir dan mengejek Sagara.
"Bunda ini surat-surat kendaraannya, lengkap. Bunda mau cek dulu mobilnya?"
"Gak ngerti Bunda mah, nanti biar Sena aja yang bantu cek. Ya, Sen?"
"Gampang, Bunda."
"Tapi Bunda, boleh gak mobilnya aku kasih setelah dapat motor. Aku juga lagi bantu seseorang buat nyari kontrakan, paling 3 hari sampai semuanya selesai."
Bunda mengangguk, mengambil sebotol air mineral dan memberikannya kepada Biru.
"Tapi, Bund. Aku minta uangnya duluan," ucap Biru diikuti kekehan.
"Gak tau malu," umpat Kastara.
"Kas, saling bantulah, tenang aja Biru sayang. Bunda transfer ya, nomor rekeningnya tulis di sini."
Secarik kertas Bunda Selen beri kepada Biru, lalu dia menuliskan nomor rekening pada Bunda.
"Bunda Biru gak bisa lama-lama, ada yang nunggu di luar."
"Ini STNKnya bawa aja dulu, Ru. Bunda terima BPKBnya ya, bentar lagi bunda transfer."
Biru mendekat dan memeluk Bunda. Sedekat itu mereka, sejak Biru mengalami berbagai cobaan dalam rumahnya, Bunda Selen adalah yang paling sigap membantu.
Tanpa Biru ketahui, Kastara mengikuti dari belakang.
"Sama siapa Lo?" tanya Kastara.
"Pak Guru," bisik Biru, senyumnya mengembang terlihat bahagia. "Gue mau nyari kontrakan buat dia. Sekalian nyari motor juga, mumpung Sagara bisa ikut. Biar dia yang milih."
"Bucin Lo, Bangke!" Kastara merangkul Biru dan mendekatkan wajahnya.
Dari dalam mobil terlihat dengan jelas kedua lelaki itu seperti sedang bermesraan. Sagara menunduk, seharusnya dia tahu, anak muda seperti biru tidak akan seserius itu mendekati lelaki tua seperti dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA BIRU [END]
RomanceTakdir selalu tidak terduga. Luka Sagara berganti tawa karena Biru. Takut Sagara sirna bersama Biru. Biru bukan sekadar anak mahasiswa berusia 21 tahun. Lebih dari itu, Biru adalah segalanya bagi Sagara. (21+) Semoga kalian bijak memilih bacaan.