Chapter 10

625 40 4
                                    

"Ini yang terakhir, bakalan muat gak ya? Kalau gak muat sewa pick up aja," ujar Sagara. Membawa kontainer boks berisi buku-buku.

"Muat deh. Itu simpan di belakang aja. Sagara tidak pamitan dulu?"

Sagara memberikan secarik post it berisi pesan dari pemilik rumah. Dia tak perlu pamit atau memberikan kunci, hanya memintanya untuk menitipkan kepada pemilik warung yang ada di depan kontrakan.

Melihat raut kesedihan dari Sagara, Biru hanya memberikan dukungan dan menguatkan dengan menepuk-nepuk tangan Sagara.

"Sudah biasa, mungkin papa melakukan ini biar aku balik lagi ke rumah."

"Kenapa gak balik lagi aja, kan gak perlu bayar kontrakan."

Biru menutup pintu mobilnya, memastikan semuanya masuk dan kembali menatap Sagara.

"Kalau aku pulang berarti aku harus siap nikah sama Anita. Dan kamu tahu sendiri saya tidak suka perempuan. Ya udah, ayo."

Biru membuka pintu mobil untuk Sagara. Memastikan lelaki itu duduk tenang. Sagara menahan napasnya saat Biru mendekat dan memasangkan sabuk pengaman dengan gerakan pelan. Sagara lalu menunduk, khawatir degup jantungnya terdengar oleh Biru.

Sagara semula hendak membuka hati untuk Biru, namun, melihat fakta bahwa Biru baik pada semua orang, mesra dengan temannya, Sagara mulai tahu diri.

"Jangan melamun, deh, semua masalah bisa diatasi, kan. Ini barang-barang di kontrakan saya aja dulu, sekalian Sagara juga nginep semalam ini."

Sagara diam saja, dia tidak akan membiarkan hatinya jatuh terlalu jauh dalam pesona Biru. Dia pernah muda, pernah memiliki masa dengan perasaan yang menggebu seperti perasaan Biru saat ini. Sagara tidak bisa menebak seserius apa Biru, nyatanya, bilang ingin bersama pun tetap tidak bisa jaga sikap dan masih melakukan skin ship dengan orang lain.

Hati Sagara kembali berdenyut kala mengingat kejadian di rumah jahit tadi. Kedekatan Biru dan temannya tidak bisa dibilang wajar.

"Kalau ada yang mengganggu hatimu, tolong katakan."

Sagara terkesiap, dia menoleh lalu menggeleng dan membuka jendela sedikit, membiarkan angin malam menerpa wajahnya.

"Mobilnya udah laku, Sagara. Untung Bunda baik minjemin dulu mobilnya sampai saya dapat motor buat operasional."

Mendengar Biru bicara, Sagara memalingkan wajahnya, dia lihat Biru santai saja sih. Tapi ada gurat sedih di sana yang sengaja dia sembunyikan.

"Bunda kamu?"

Setahu Sagara, Biru dan Jingga adalah anak piatu.

"Bukan, Bundanya temen. Tadi liat, kan yang depan rumah jahit. Nah itu temen sekelas, dia lagi butuh mobil. Jadi kami saling bantu."

"Cuma temen?"

"Iyalah, apalagi?"

"Sedekat itu, loh."

Konsentrasi Biru saat mengemudi teralihkan dengan protes Sagara tentang kedekatannya dengan Kastara. Biru tak mau berbesar hati, tak mau menduga-duga kalau Sagara cemburu kepadanya. Memang berhubungan dengan orang yang lebih tua harus lebih mengerti.

"Kastara tadi emang sengaja, sih. Dia tau Saya lagi deketin Sagara. Dia ... Ya gitu deh. Sagara jangan khawatir, saya tuh kalau udah suka sama seseorang, udah komit mau sama orang itu, komit juga sama diri sendiri buat gak mendua. Bahkan sekadar dalam pikiran pun enggak. Sejak Ibu meninggal dan ayah masuk penjara, saya gak ada waktu buat suka sama seseorang. Baik cowok atau cewek. Fokus saya ke Jingga saja, gimana caranya mental dia baik-baik saja, gimana caranya saya lulus dan dapat kerjaan layak buat menghidupi Jingga. Namun, saat pertama kali kita ketemu, di situ perasaan yang selalu saya kubur sulit sekali buat dihilangkan. Saya serius, Sagara. Saya suka, saya sangat suka sama Sagara. Hati saya yang mau untuk terus dekat sama kamu."

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang