Chapter 2

3.1K 184 8
                                        

"Pak Saga, ini daftar siswa di kelas Bapak yang masih punya tunggakan." Saga berterima kasih, dia melihat ada lima anak. Sebagai wali kelas, dia dibebankan tugas untuk membuat surat panggilan orangtua perihal penagihan tunggakan SPP yang menunggak selama lebih dari 3 bulan.

Selesai Print surat panggilan orangtua, dia menandatangani dan memasukannya ke dalam amplop cokelat. Lima anak itu Saga kenal sebagai anak baik-baik dan berprestasi. Memang keadaan lagi susah, selain bahan pangan yang melonjak naik, pekerjaan pun susah. Saga hanya menyayangkan, dan berharap semoga anak-anak ini bisa terus bersekolah dan menyelesaikan semua tunggakannya.

Saga pulang setelah memberikan surat panggilan kepada anak yang bersangkutan. Dengan wajah penuh penyesalan dia menguatkan anak-anak didiknya.

"Pak, boleh gak sih kasih saya kesempatan gitu, Pak. Kasih waktu buat bayar semuanya, jangan panggil dulu wali saya?" Arsyila. Murid paling pintar di kelasnya memohon dengan air mata.

"Maaf, Arsyila, ini salah satu aturan sekolah. Kamu punya hak mendapatkan seluruh pelajaran, perlindungan dan fasilitas yang ada di sekolah ini. Tapi kamu juga harus menyelesaikan kewajiban yang merupakan hak sekolah. Semua ini kewajiban kamu, gapapa, panggil aja wali kamu, nanti bapak ngomong dari hati ke hati, siapa tahu bisa memberikan keringanan."

Arsyila menggeleng, bukannya pulang, perempuan berambut panjang itu malah berlutut, tangisannya semakin kencang.

"Arsyila, udah diem, Nak. Nangis gak bikin masalah selesai. Bapak akan berusaha ngerti, tapi bapak minta wali kamu ke sini dulu. Biar ngobrol kesulitannya di mana, siapa tahu nanti kamu bisa dapat keringanan melalui beasiswa anak berprestasi."

"Masalahnya kakak saya udah ngasih uang, Pak. Buat tunggakan segala macam. Tapi aku ceroboh uangnya hilang. Aku gak berani bilang, kasian sama Kakak." Saga mengerti. Arsyila adalah anak baik yang tidak mungkin menyalahgunakan uang sekolah.

"Kamu minta waktu memangnya mau ganti uangnya?"

Arsyila mengangguk, "aku mau coba cari kerja, Pak. Yang penting bisa nutupin uang yang hilang kemarin."

"Duduk dulu, ini keringkan dulu pipinya, Bapak mau ngomong, Arsyila mau dengar?"

Arsyila mengangguk, Saga menjelaskan kalau Arsyila tidak jujur kepada kakaknya maka ke depannya akan semakin rumit. Apalagi dia diam-diam kerja yang belum tentu dapat uang senilai tunggakan dia ke sekolah dengan mudah. Gak bisa sebulan dua bulan dan bulan akan terus berjalan. Apabila nanti ketahuan kerja di tengah kesibukan, Kakaknya pasti gak terima. Bagaimana jika nilai ulangannya nanti anjlok?

Untungnya Arsyila mengerti, dia patuh dan pulang membawa surat panggilan orangtua. Di sekolah Arsyila, prosedur pemanggilan orangtua selalu melalui wali kelas apa pun itu urusannya. Apabila berurusan dengan guru BK nanti wali kelas juga yang akan mendampingi orangtua siswa menemui guru BK. Atau seperti sekarang ini, urusannya dengan tata usaha. Nantinya wali kelas akan menemani kelima orangtua/wali siswa yang dipanggil untuk menemui staf tata usaha dan diskusi tentang tunggakan yang belum dibayarkan. Berat memang tugas Saga sebagai wali kelas, tapi tak mengapa, lelaki itu suka dengan pekerjaannya.

Keesokan harinya, tepat pukul 10.00 empat dari lima orangtua siswa sudah hadir. Arsyila datang menemui Saga dengan wajah takut dan Canggung.

"Aa gak bisa datang jam 10, Pak. Katanya ada kelas selesainya setengah sebelas, aku disuruh minta izin karena aa bakalan Telat. Dia janji dari kampus langsung ke sini."

Saga mengangguk, dia mengerti, kabar tentang keluarga Arsyila sudah beredar dari tahun-tahun sebelumnya. Arsyila selalu dipantau agar tidak kena kasus bully di sekolah. Pasalnya, Arsyila dan sejarah keluarganya menjadi pasar yang empuk dijadikan bahan perundungan.

"Gapapa, Arsyila. Kamu masuk kelas aja dulu, nanti saya titip pesan ke guru piket kalau aa kamu datang biar langsung temui saya di ruang guru."

"Makasih, Pak Saga."

Saga tersenyum, lalu dia mengantar empat wali murid yang sudah hadir untuk bertemu dengan staf tata usaha. Mulai negosiasi tentang tunggakan yang belum terbayar. Setengah jam setelah empat wali murid itu pulang seseorang menemui Saga di ruangannya.

"Pak?"

"Kamu?"

Lelaki yang merupakan wali murid Arsyila adalah Biru, sopir taksi online yang menyaksikan permasalahan Saga dengan mantan kekasihnya.

"Saya Biru, Pak. Kakaknya Arsyila Jingga."

"Silakan duduk dulu," ucap Saga. Dia melihat sekitar ruangan guru, tidak ada siapa pun di sana mengingat ini adalah jam mengajar.

"Terima kasih, Pak. Jingga, maksud saya Arsyila sudah menjelaskan sama Bapak alasan kami belum bayar tunggakan?"

Saga mengangguk, dia gugup. Masalahnya orientasi seksualnya tidak diketahui siapa pun di sekolah ini. Itu tetap menjadi rahasia, Biru sudah menyaksikan sendiri bagaimana dirinya berseteru dengan mantan pacarnya di taksi online waktu itu.

"Sudah, tidak ada yang dia sembunyikan, saya sebenarnya mengerti. Tapi tetap saja, ini sudah jatuh tempo, sudah 3 bulan sekolah memberikan keringanan."

"Minta waktu satu Minggu lagi, bisa? Saya usahakan, Pak."

"Masalahnya Senin sudah mulai UAS, agar semua siswa bisa ikut UAS ini maka harus segera diselesaikan. Begini saja, kita bicarakan ini dengan staf tata usaha. Nanti kita diskusi bagaimana baiknya."

"Kalau tetap belum membayar, apa Jingga gak bisa ikutan UAS, Pak?" Biru bertanya. Terbayang bagaimana sakitnya perasaan Jingga jika gak bisa ikut UAS.

"Biasanya tetap ikut, tetapi kami pisahkan tempatnya. Entah itu di sini, di ruangan guru, atau di ruangan guru BK."

Biru mengangguk, dia menatap Saga yang sejak tadi menghindari kontak mata dengannya. Biru mengerti, mungkin Saga malu dengan kejadian waktu itu.

"Bagaimana dengan luka di leher Bapak? Udah sembuh?"

Saga terkesiap, lelaki itu sontak menyentuh lehernya. Dia menggeleng memang masih ada memar di sekitar sana, ngilu bekas cekikan pun masih dia rasakan.

"Trus pacar Bapak masih di sana? Proses hukumnya berlanjut?"

Saga tidak suka ada orang yang mencampuri urusannya. Apalagi ini, pertanyaan dari Biru bisa saja didengar oleh guru lain.

"Begini saja, Mas. Saya memberikan penawaran kepada kamu."

"Apa?"

"Saya bantu lunasi semua tunggakan Arsyila, tapi saya mohon, Mas Biru sebagai wali dari Arsyila tidak pernah mengungkit kejadian malam itu, juga tetap menjaga rahasia saya, status saya dan juga ... Orientasi seksual saya."

Brak!

Biru tersinggung dan menggebrak meja.

"Memangnya saya ada tampang jadi orang Cepu yang akan beberkan rahasia Anda, Pak? Wajah saya nunjukin kalau saya bakalan halalkan segala cara buat bayar sekolah adik saya?"

"Bukan gitu, Mas, bukan. Saya gak maksud begitu, saya hanya..."

"Apa?" Suara Biru meninggi, lelaki itu berdiri, tangan terkepal erat menahan emosi.

"Barusan itu apa? Bapak menghina saya dengan ngomong begitu. Besok saya bakalan bayar semuanya!"

Saga melongo, anak muda yang pernah membantunya melerai perkelahian dengan Baskara marah-marah di depan matanya. Dia menyadari kesalahannya, Sagara menyesal, dia mengejar Biru sayangnya kehilangan jejak karena lelaki itu sudah meninggalkan area sekolah.

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang