chapter 17

1.3K 100 5
                                        

Berkat usaha Sagara, Biru akhirnya bisa magang di tempat ini. Tempatnya tidak begitu jauh dari kota Bandung. Bisa ditempuh sekitar tiga puluh menit dari rumah kontrakannya itu pun jika tidak terjebak kemacetan. Sayangnya, hampir setiap hari Biru harus berkelahi dengan kemacetan di daerah Cibiru.

Melihat kawasan Industri ini, Biru jadi ingat masa kejayaan ayahnya. Setiap akhir pekan Biru kadang ikut ibunya mengunjungi sang Ayah. Biru selalu ingat kala dia sering bermain di pelataran parkir perusahaan Ayahnya yang tidak jauh dari kawasan-kawasan pabrik yang biru lewati saat ini.

Bahkan Biru bisa melihat tempatnya, dari depan masih tetap sama, ditutup pagar besi yang tinggi. Warnanya Biru dan Jingga. Mereka yang mengambil alih perusahaan itu sama sekali tidak menggantinya. Ada rasa sedih, tapi kemarahannya jauh lebih besar di sana.

Dia tak peduli lagi, Biru memikirkan hidupnya yang sekarang. Memikirkan Jingga dan kisah cintanya dengan Sagara. Mengenai permintaan Jingga agar dia menemui papanya, mungkin akan dilakukan sepulang magang hari ini. Malas sebenarnya, tapi Sagara cerewet.

Perusahaan tempat dirinya Magang, adalah perusahaan besar. Jauh lebih besar dari perusahaan Ayahnya dulu. Biru diam-diam mengagumi Sagara karena rela meninggalkan kejayaan dengan sengaja, tinggal di kontrakan petakan dan bolak-balik naik ojek untuk sekadar pergi mengajar.

"Nah Biru, jangan tegang gitu, ah. Selamat datang di perusahaan kami. Ini rekor loh, sebelumnya Pak Aksa tidak pernah mau mempekerjakan anak Magang."

"Iya, Bu," jawab Biru, masih canggung banget kelihatannya.

"Gak usah manggil ibu, panggil Kak Yayu, Mbak Yayu, teh Yayu. Apa aja asal jangan Ibu. Ayo aku antar keliling ke area produksi," ajak Yayu. Perempuan berusia awal tiga puluhan itu bermata bulat, bulu-bulunya lentik lantaran eyelash extension.

"Iya, Teh," jawab Biru, karena orang Sunda, Biru lebih nyaman menggunakan panggilan teteh, seperti dirinya dipanggil Aa sama Jingga.

Area produksi tempat di mana Biru akan magang selama satu bulan ke depan, bulan selanjutnya Biru akan dipindahkan ke area lain, pokoknya selama magang tiga bulan ini Biru diharuskan menguasai beberapa bidang yang ada di sana.

Untuk pekerjaan pertama, Biru mulai mengelola mesin-mesin besar berteknologi tinggi. Menjadi anak teknik Industri bukan keinginannya, tapi kemauan sang ayah agar Biru bisa meneruskan perusahaan keluarga, sayangnya perusahaan keluarga itu kini bukan lagi milik keluarganya.

Biru, menyelesaikan pekerjaan pertama lancar tanpa hambatan. Hari ini hanya perkenalan, penempatan dan mengurus berkas-berkas Biru pulang tepat setelah jam makan siang. Usai jam kerja selesai, dia kembali ke kota Bandung melewati jalanan provinsi di kabupaten Bandung. Tidak langsung ke rumahnya, Biru sudah janji mau mengunjungi sang Ayah di Lapas Sukamiskin.

Motor maticnya dia kebut karena menurut informasi yang dia terima dari Senja, jadwal kunjungan hanya sampai pukul 14.00.

Untungnya begitu sampai, Biru belum terlambat. Dia memuji kemampuan diri sendiri yang berhasil mengendarai motor dengan cepat. Padahal kalau ketauan Sagara atau Senja, Biru pasti sudah kena marah.

Dari ruang tunggu, Biru merasakan gugup yang tidak terkira. Sejak Ayahnya berada di rumah tahanan dan dipindah ke lapas ini, Biru belum pernah melihat ayahnya sekali pun.

Lelaki itu tampak begitu tua, rambutnya yang biasa klimis tersisir rapi ke belakang kini tampak awut-awutan. Di rahangnya yang masih terlihat tegas ada janggut janggut putih yang luput dari pisau cukur.

Sejenak, pria itu terperangah, dia tidak mengira anak lelakinya berkunjung.

"Biru," panggilnya. Biru senyum, lebih tepatnya terpaksa senyum.

"Maafin Ayah, Biru, maaf!" Lelaki tua itu menangis, air matanya tumpah seiring tumpahnya air hujan di luar lapas.

"Biru disuruh Jingga, Ayah apakabar?"

"Ayah baik, ayah lebih bisa menghargai kehidupan di sini, ayah—"

"Tapi Biru masih marah sama ayah. Biru masih gak terima kehidupan Biru jadi keras begini karena Ayah. Biru harus kerja sambil kuliah, Biru harus menyekolahkan Jingga, harus tinggal di rumah sempit dengan lingkungan kumuh, Ayah mah enak gak perlu susah mikirin nyari apa. Udah disediain sama Negara."

Ayahnya Biru diam, dia biarkan anak sulungnya menumpahkan emosinya. Biar saja dia marah atau memaki yang penting nantinya Biru bisa tenang dan lega.

"Ayah jahat karena tinggalin Biru, mama sama jahatnya karena milih pergi. Biru harus ke siapa saat sedih, Biru harus pura-pura kuat depan Jingga."

Bahu pemuda itu berguncang, sang ayah hanya bisa mengelus lengannya. Memberikan kekuatan yang mungkin bisa bikin Biru tenang.

"Jika boleh membela diri, Ayah mau bela diri depan Biru. Ayah sama dua sahabat ayah bangun perusahaan bersama, usaha kami maju, di luar usaha yang ayah punya. Sayangnya satu dari sahabat ayah itu terlalu serakah, dia mengambil banyak keuntungan dengan menyelundupkan migas, mengakali pengiriman, mengelabui Pertamina. Bodohnya dia kebablasan, Pertamina mengendus kebusukannya. Dia lari, ayah sebagai penanggung jawab di sana jadi kena getahnya."

"Kenapa tidak bilang waktu di pengadilan? Teman papa satunya lagi gimana?"

Ayah Biru tersenyum, wajahnya lebih teduh dibandingkan sejak dia berjaya dulu, "ayah satu-satunya yang bertanggung jawab di sini, teman ayah satunya lagi cuma invest aja tapi gak tau juga, dia terlibat atau enggak, atau sembunyi tangan takut kena getahnya kaya ayah, tidak ada bukti kuat yang meringankan ayah, semua memberatkan. Kerugian Pertamina bukan cuma ratusan juta, tapi milyaran."

"Maaf, waktunya lima menit lagi," peringat seorang sipir. Biru menghela napas, rasanya baru sebentar.

"Aku belum bisa percaya sepenuhnya sama ayah. Kecuali emang ayah bisa buktiin kalau ayah enggak bersalah."

Biru berdiri, "selamat ulang tahun, yah, maaf telat."

Biru tersenyum, dia pergi tanpa mau berbalik. Rasanya sedih, air mata yang sudah kering kini banjir lagi. Biru lemas terduduk di depan lapas, rasanya dia tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Di sisi lain, di sebuah sekolah internasional, Sagara mati-matian menghindari Anita. Sudah tersebar gosip kalau Anita dan Sagara akan segera melangsungkan lamaran. Lelaki itu berdecih, dasar perempuan tidak tahu malu.

"Pak Saga selamat, ya, saya dengar akan segera lamaran. Gak nyangka banget ya, ternyata diam diam kalian—"

"Waduh, Bu," potong Sagara. "Kayaknya salah alamat, deh. Saya enggak akan lamaran, kalau pun saya iya. Ya bukan sama Bu Anita, saya sudah ada calon. Dan bukan dia."

Anita, yang tidak jauh dari sana dan mendengar percakapan itu mendadak geram. Perjuangan dapetin Sagara tidak pernah membuahkan hasil. Bahkan setelah ada rumor lamaran pun sama saja.

Anita sudah minta lagi sama ayahnya, tapi belum ada jawaban pasti.

"Wah, masa sih, saya dengar sendiri loh, kalian mau lamaran."

Sagara menggeleng, lalu izin mengangkat telepon karena bergetar sejak tadi. Sagara sengaja memperlihatkan panggilan itu sama lawan bicaranya.

"Ya, sayang," jawab Sagara. Geli sih, tapi demi menutup rumor bodoh yang tersebar di sekolah.

"Sagara, bisa bawa motor, gak?" tanya Biru, suaranya bergetar Sagara tahu kekasihnya itu sedang menangis. Lemah, iya, masalah apa pun kalau menyangkut keluarga dan orangtua pasti lemah. Semarah-marahnta Biru sama ayahnya tetap saja lebih besar rasa sedih dan kasihan.

"Kamu kenapa?"

"Saya gak sanggup pulang, tolong jemput," ucapnya lemah.

Pikiran buruk sudah menguasai Sagara, lawan bicara Sagara sebelumnya bisa melihat perubahan raut muka Sagara. Begitu pun Anita, gadis yang sejak tadi bersembunyi dekat pilar laboratorium bahasa.

"Saya ke sana sekarang, tolong share lokasinya ya. Kamu tenang dulu, jangan ke mana-mana." Sagara menutup teleponnya.

"Maaf, pacar saya udah nunggu," pamit Sagara. Sengaja bicara dengan jelas karena tahu sejak tadi Anita menguping pembicaraan mereka.

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang