Chapter 23

1K 82 0
                                        

Biru berlarian di pelataran parkir rumah sakit menuju Unit Gawat Darurat. Nyawanya seakan-akan terangkat dari raga sesaat setelah keluar dari perusahaan. Selama kerja sebagai magang, Biru tidak mengeluarkan ponselnya. Perusahaan ini terlihat santai tetapi punya aturan yang mengharuskan setiap orang untuk tidak menggunakan ponsel kecuali ponsel yang diberikan perusahaan untuk beberapa karyawan sebagai inventaris.

Hanya jam istirahat saja para karyawan bisa mengecek ponsel masing-masing. Namun, tidak dengan Biru. Dunia kerja di Industri seperti ini sama persis seperti impiannya sejak lama. Dia terlalu menikmatinya, dia jadi teringat dulu pernah bermimpi meneruskan perusahaan sang ayah sebelum perusahaan itu bangkrut karena disita.

Tepat pukul 21.00 saat Biru keluar dari perusahaan, dia melihat banyak panggilan tidak terjawab dari Jingga, Sagara dan nomor lain yang dia tahu adalah nomor sahabatnya Jingga. Dengan perasaan takut, Biru langsung menghubungi Jingga, tapi nomor teleponnya tidak aktif. Nomor lainnya, yaitu nomor Sagara. Kali ini tersambung, tapi Sagara tidak menjawab.

Nomor lainnya tersambung, sayangnya kabar itulah yang membuat Biru sekarang berlarian di parkiran rumah sakit. Katia mengatakan bahwa Jingga dibawa ke UGD karena pingsan di sekolah.

Pemandangan pertama yang Biru lihat adalah kepala Jingga yang diperban. Dia terlihat sedang menangis sendirian tanpa ditunggu siapa pun.

"Ngga, apa yang terjadi?"

Jingga tidak menjawab, tangisan yang semula senyap kini jadi bersuara. Dia sesegukan di pelukan Biru.

Seorang perawat perempuan menghampiri bangsal Jingga.

"Maaf, ini dengan saudara Biru?" tanya perawat itu.

"Iya, saya Biru, kakaknya dia. Dia kenapa, Suster?"

"Tadi siang dibawa gurunya ke sini, kepalanya sobek karena terbentur pinggiran tembok pembatas di sekolahnya. Seluruh administrasi pembayaran rumah sakit sudah diselesaikan pihak sekolah, dan nona Arsyila Jingga ini udah bisa pulang sejak sore tadi. Tapi salah satu gurunya bilang jangan biarkan pasien pulang sebelum dijemput sama orang yang namanya Biru. Silakan siap-siap saja, Kak, sudah boleh pulang. Obat-obatannya sudah saya siapkan di sini, ya. Kak. Sama nota pembayaran juga."

Selepas perawat berperawakan kecil itu pergi, Biru menatap Jingga. Minta penjelasan atas apa yang terjadi di sekolah sampai perempuan itu berakhir di UGD.

"Pak Saga yang bawa aku ke sini. Tapi Pak Saga gak bisa nungguin karena langsung balik lagi buat bikin pelakunya dihukum."

"Pelaku? Ini bukan kecelakaan?" Lelaki itu naik pitam, anak gadis yang dia jaga dengan sungguh sungguh harus disakiti oleh orang lain.

"Iya, aku cerita di rumah deh. Udah pengen pulang dari tadi."

Biru mengangguk, lalu membantu Jingga turun dari blangkarnya. Menuntunnya lalu membawanya sampai tiba di depan UGD.

"Tunggu di sini, ya. Aku ke parkiran bawa motor." Jingga mengangguk.

"Duduk aja, nanti pusing kalau berdiri," peringat Biru. Jingga patuh, dia jalan sedikit lalu duduk di kursi panjang yang ada di depan UGD.

Sepanjang perjalanan pulang, Biru tidak banyak bicara. Hanya sesekali bertanya pada Jingga barangkali adiknya mau makan sesuatu. Jingga hanya minta sate GY seperti biasanya. Biru menuruti permintaan adiknya. Dia mampir dulu beli satenya. Selain sate, mereka juga mampir beli teh tarik merk H kesukaan Jingga.

"Pusing gak sih?" tanya Biru begitu melihat Jingga terlihat sangat sedih.

"Enggak."

"Terus kenapa nangis terus, bilang kalau ada yang sakit, biar dibawa lagi ke dokter."

"Enggak sakit, tapi sayang aja rambutnya harus digundul segini, kan aku malu nanti." Jingga menangis sejak di UGD tadi, apalagi saat perawat langsung mencukur rambut di area luka. Jingga sudah protes tapi dokternya bilang nanti gak bisa dijahit karena susah kena rambut.

"Rambut mah nanti numbuh lagi, Ngga, Aa siapin air hangat tuh, kamu mandi dulu, bau obat. Nanti abis mandi makan terus cerita. Aa mau coba hubungi Sagara."

"Tadi pak Saga bilang gak usah, gak usah hubungi dulu. Biar nanti Pak Saga yang telepon duluan."

"Tapi tadi dia nelpon dan gak sempat Aa buka."

"Iya, tadi depan aku nelponnya, abis itu dia pesen jangan hubungi dulu sebelum dia hubungi duluan."

"Oke deh, udah sana, Mandi. Bau obat, gak kuat."

Memang benar, Biru sensitif sama bau obat-obatan atau lebih tepatnya bau rumah sakit. Rasanya ada trauma tersendiri karena dia merawat ibunya sampai meninggal di ICU rumah sakit.

Biru meraih obat-obatan yang dia bawa dari rumah sakit, melihat satu demi satu mana saja yang harus diminum Jingga. Ada obat anti nyeri, antibiotik, salep dan beberapa obat yang Biru gak ngerti obat apa itu. Nota pembayaran rumah sakit ternyata ditandatangani oleh Sagara. Entah mengapa Biru jadi sedih, Sagara tidak mau bertemu dengannya. Jika dipikir pikir sudah berapa lama Sagara memutuskan komunikasi? Sejak Thread di X mulai rame?

"A," panggil Jingga.

Biru menoleh, Jingga sudah selesai bersih bersih. Rambutnya tetap kering karena tidak boleh kena air sebelum lukanya sembuh.

"Jadi kemarin Pak Saga ke sini, ngasih ini. Katanya buat makan kita."

"Kenapa diterima?"

"Gak tau, dia maksa. Mungkin ini nafkah buat Aa," celetuk Jingga diikuti dengan tawa.

Dalam kondisi normal, Biru bakalan menjitak kepala Jingga. Tapi karena kondisi kepalanya sedang luka Biru hanya menggerutu.

"Nafkah apaan? Ini aa simpen nanti dibalikin aja."

"Idih, pak Saga udah niat baik perhatian sama kita. Lagian kemarin ke sini juga bukan dia yang mau, tapi aku yang nyuruh. Jadi aku gak sengaja tahu soal orang yang nyebarin Thread itu. Nah aku kasih bukti rekaman sama ngasih tau semuanya."

"Hah?" Biru kaget. "Jadi siapa pelakunya?"

"Bu Anita, ini kepala aku juga hasil perbuatannya," ungkap Jingga.

"Anjing! Udah gue duga."

"Ih kasar!"

"Kesel, Ngga. Trus ini kamu diapain sampe gini?"

Jingga akhirnya bercerita, dia mengungkapkan semuanya sampai kronologi mengapa dia mendapatkan luka di kepalanya. Sepanjang Jingga bercerita, Biru berkali-kali mengumpat.

"Bu Anita itu temennya Pak Saga, ya? Aku juga dengar dia manggil, Mas, gitu ke Pak Saga."

"Itu cewek Obsesi banget sama Sagara. Dia sampe nyuruh orangtuanya buat jodohin dia sama Saga. Gara-gara dia Sagara sampai gak pulang-pulang juga. Bahkan Aa dengar sendiri kalau Anita itu ngaku-ngaku jadi tunangan Sagara."

"Idih, gatel."

"Iya emang gitu. Dia di sekolah gimana?"

"Gak tau, sih, aku gak diajar sama dia. A, ayo makan," pungkas Jingga mengakhiri ceritanya.

Biru senang karena akhirnya pelakunya sudah ketahuan, Dia juga percaya Sagara akan memberikan keadilan buat Jingga karena dicelakai Anita. Tapi, Biru sedikit sedih, kenapa menyelesaikan masalah seperti ini Sagara harus memutuskan komunikasi segala?

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang