Chapter 4

2.2K 137 1
                                        

"Aa!" Jingga berlari menghampiri saat Biru turun dari ojek daring. Setelah membayar tarif secara tunai, Biru berbalik dan menghampiri adiknya yang berdiri cemas di ambang gerbang kontrakan.

"Kenapa berdiri di sini, sih, ayo masuk."

Biru melihat pintu kontrakannya yang terbuka, ada sepatu di depan pintu. Dia tatap adik semata wayangnya menuntut penjelasan.

"Ada pak Saga, udah nungguin dari tadi."

"Pak siapa?"

"Pak Saga, wali kelas aku. Aa belum bayar tagihannya ya sampai disusul begini?"

Dugaan Jingga salah sebenarnya, Sagara datang bukan buat itu. Biru tahu betul maksud dan tujuan dari lelaki itu.

"Ya udah ayo."

Sagara menyadari kedatangan Biru, dia berdiri dari duduknya, tersenyum dan berusaha bersikap sopan sebagai tamu yang baik.

"Sudah nunggu dari tadi?" tanya Biru, basa-basi di depan Jingga. Rasa kesal sama Sagara masih belum hilang, tapi dia ingat wejangan Kastara, Sagara sekarang pasti sedang kesulitan.

"Gak apa-apa, tadi sambil ngobrol banyak sama Arsyila. Maaf kedatangan saya tiba-tiba."

Biru hanya mengangguk, gak tau harus ngomong apa. Dia lihat Jingga di ambang pintu antara ruangan tamu dan kamar. Dia seperti ketakutan.

"Sebentar, Pak." Biru izin menghampiri adiknya. Sagara melihat sosok kakak baik, melindungi dan sayang sama adiknya.

Tirai pembatas antara ruangan tempat dia duduk dan ruangan tempat Biru berada tidak mampu meredam suara. Sagara bisa mendengar dengan jelas perbincangan kakak beradik itu.

"Jingga udah makan?" tanya Biru.

"Belum, nungguin Aa. Aa udah makan?"

"Aa tadi ditraktir Kak Rega, Ini ayam goreng buat Jingga. Nasinya ada, kan?"

"Nasi ada, tadi Jingga masak. Beneran aa udah makan?"

"Iya, kamu makan yang banyak ya, Aa mau ngobrol dulu sama Pak Saga."

Sagara terkesiap saat Biru membuka tirai, rasanya seperti ketahuan sedang mengintip. Padahal sebenarnya sih, enggak ngintip juga obrolannya pasti terdengar.

"Sepertinya masalah kita tadi harus diselesaikan, Mas."

"Jangan panggil, Mas, Pak. Malu saya. Saya minta maaf karena emosi tadi. Maaf banget."

Sagara melihat bayangan Jingga, dia tahu obrolan mereka terlalu sensitif untuk dilakukan di kontrakan tiga petak itu.

"Maaf kalau gitu, bisakah kita bicara di luar? Dek Biru ada waktu sebentar?"

Biru mengangguk, dia harus menjaga reputasi Pak Saga, dia juga harus menjaga rahasia dari Jingga. Rahasia bahwa dirinya sedang kesulitan untuk melanjutkan hidup berdua.

"Pesan taksi aja?" tawar Saga.

"Gak usah, Pak. Jalan dikit ke depan situ ada warung kopi. Jangan khawatir, di sana aman, gak bakalan ada yang nguping."

Warung kopi yang Biru maksud berada di pinggir jalan. Tidak bisa disebut warung karena semua peralatan membuat kopi terbilang modern. Namun, tidak bisa juga disebut cafe mengingat tempatnya yang sempit. Ada meja memanjang berikut kursinya, jika duduk di sana posisinya membelakangi barista. Di luar, ada empat meja terlihat seperti berdesakan karena jaraknya dekat. Biru pilih meja pojok, meja kecil yang cukup buat ngobrol berempat.

Sagara duduk di depan Biru. Diam tanpa kata, bingung mau mulai dari mana.

"Saya minta maaf," ucap Sagara dan Biru bersamaan. Sagara senyum, Biru terkekeh malu.

"Silakan Dek Biru dulu."

"Iya, Pak. Maaf banget, saya emosi, saya udah kalut sebenarnya, Pak. Gimana, ya, pikiran kacau, jadi ngomong sembarangan. Maaf, Pak."

Sagara menghela napas lega, anak muda di depannya tidak memperpanjang urusan. Namun, tetap saja, Sagara juga berutang permintaan maaf. Untuk itu, dia nyusul ke rumah kontrakan kakak beradik ini.

"Saya juga minta maaf, saya panik, takut ketahuan."

Biru mengangguk, benar apa kata Kastara dan Rega. Dirinya terlalu emosi.

"Dek, bolehkah saya bantu?" tanya Sagara. "Ini bukan sebagai sogokan atau apa, saya tahu Arsyila berprestasi, saya tahu dari Arsyila kalian berjuang berdua. Sebagai wali kelas Arsyila saya bisa bantu sedikit, minimalnya sampai Arsyila bisa ikut ujian."

"Gini aja, Pak, Pak Saga gak ada niatan beli mobil?" tanya Biru polos.

"Hah?"

"Iya, biar gak naik taksi terus, pak Saga mau beli mobil?"

Saga tertawa hambar, dia bukan gak mau beli mobil. Tapi untuk apa? Sagara selalu merasa mobil bukanlah sebuah prioritas, lagi pula, Sagara takut.

"Kenapa jadi beli mobil?" tanya Sagara.

"Iya, mobil kami, Pak. Saya butuh buat perpanjangan kontrakan, bayar uang sekolah, bayar UKT, sisanya mau dijadikan modal."

"Kalau buat beli mobil saya gak ada, Dek."

"Ya sudah, Pak Saga bantu bayar sampai Jingga bisa ikut UAS, nanti kalau mobil saya udah laku saya bayar ya, Pak."

Sagara senyum, "jangan khawatir, santai aja gak diburu-buru. Besok saya ke tata usaha urus semuanya. Saya minta kontaknya boleh? Nanti kalau butuh mobil saya bisa hubungi kamu, kan?"

"Saya gak narik kayaknya, Pak, gak enak pinjam mobil terus."

"Lah? Mobilnya?"

"Masih di bengkel, belum saya tebus, belum ada uang. Kalau laku nanti potong biaya itu maksudnya, Pak. Duh maaf jadi curhat begini."

Saga menggeleng, dia memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit melorot, lalu menyeruput kopinya.

"Gak apa-apa, minta nomornya aja, barangkali nanti ada yang mau beli mobil kamu."

"Ini, Pak." Sagara meletakan ponsel berisi nomor pribadinya. Sagara segera menambahkan ke dalam daftar kontak di ponselnya.

"Pak, boleh nanya?" tanya Biru.

"Silakan," jawab Sagara.

"Orang yang waktu itu gimana?"

Sagara mengerutkan kening, mengingat-ingat siapa yang dimaksud Biru. Ah, Baskara, setelah kejadian malam itu Sagara tidak lagi melihat dan mendengar kabar mantan kekasihnya. Sagara menjelaskan kepada Biru bahwa hubungannya dengan pria toxic manipulatif itu sudah usai.

"Syukurlah, Pak. Waktu itu saya takut banget, Pak, takut kenapa-kenapa. Takut Bapak mati, takut juga karena mobilnya mobil pinjaman. Masalah saya udah banyak, jadi ya gitu."

"Gak apa-apa, sekarang saya aman."

"Pak, saya harus pulang. Jingga mungkin nungguin. Nanti rincian biaya yang harus saya bayar Bapak titip ke Jingga saja, ya."

"Terima kasih, Dek."

"Saya yang terima kasih. Maaf juga, Pak. Bapak pulang naik apa?"

"Saya pesan taksi saja," ucap Sagara.

"Saya antar ke jalan sana, Pak."

Dua orang itu berjalan beriringan, Sagara menunggu driver merespon orderannya.

Lalu lalang kendaraan bermotor menjadi hal yang menarik buat Biru. Sampai suv putih berhenti di depan mereka.

"Saya tinggal dulu, Biru."

"Hati-hati, Sagara."

Sagara mematung, dua orang itu saling mengunci tatapan. Sudut mulut Biru terangkat sedikit. Sagara membalasnya, dia senyum dan menyentuh dadanya yang bertalu kian ramai.

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang