Chapter 30

1.2K 80 19
                                        

"Udah siap?" tanya Rega. Biru yang sedang duduk menunggu mengangguk. Tangannya diplester bekas infusan. Yups, Biru pulang. Dokter bilang sudah bisa rawat jalan. Lumayan, 3 hari dirawat di klinik ini bikin galaunya makin menjadi. Kok galau? Ya jelas, tiba-tiba Sagara bilang OK kalau mau putus, mana bilangnya dengan wajah yang menyedihkan pula.

Biru berharap kisahnya seperti di novel-novel, dia sakit walaupun sedang berseteru dengan pacarnya tapi sang pacar tetap mau merawat. Lalu Biru pun luluh. Pada kenyataannya, selama 3 hari ini biru hanya sendirian di ruang rawat inapnya. Jingga juga tidak datang, Rega hanya datang malam hari itu pun sambil membawa laptop dan fokus mengerjakan skripsinya.

"Udah, ini gue pulang ke mana?" tanya Biru, mendadak krisis identitas, tidak tahu harus pulang ke mana. Ke kontrakan, Citraland atau ke rumah Rega.

"Ke rumah baru Lo. Jingga udah di sana, kemarin gue nganterin motor lo ke sana. Dia seneng banget. Kalau Lo ngajakin dia pindah kayaknya Lo ngancurin banget kebahagiaan dia."

"Ckckck, itu kan rumah Sagara."

"Gue bukannya mau ikut campur. Tapi kalau memang Lo gengsi banget nerima apa-apa dari dia, lu boleh bayar itu rumah minimalnya ngontrak. Kalau pak guru bilang ini semua demi kebahagiaan Jingga, kenapa lo sebagai kakaknya nggak bisa memposisikan diri sebagai kakaknya Jingga. Sejak kecil Jingga biasa tinggal di rumah besar, kamarnya luas, terus tiba-tiba harus tinggal di kontrakan petakan dengan kamar yang luasnya pun enggak seberapa."

Biru mendesah kasar, "iya deh iya. Pulang naik apa, kita?"

"Sena sama Kastara jemput, sorry banget Gue nggak bisa ikut ngantar sampai ke rumah. Ada sesuatu yang harus diurus, kalau nggak nanti gue dipenggal sama Kak Reyna."

"Thank, Ga. Gimana administrasi pembayaran klinik?"

"Udah sama Pak Guru. Lo tinggal pulang aja."

Sagara lagi, gimana mau move on coba. Itu lelaki udah disakiti malah masih aja baik, Biru jadi tidak enak. Utang budinya sama itu orang makin banyak, kan?

Kastara dan Sena datang beberapa saat kemudian. Sena gentle banget bawain tas Biru yang isinya gak seberapa. Kastara bawa kantong kresek berisi obat-obatan dan juga makanan bekas ngemil Rega di klinik.

Setelah keluar kamar, Biru baru tahu kalau ini bukan rumah sakit besar, Klinik rawat inap dengan kamar tidak lebih dari sepuluh. Rega membawa Biru dengan kursi roda, menuju lift yang ada di pojok ruangan.

Harusnya diurusin pacar gak sih?

Kastara dan Sena berlalu ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Biru masih duduk di kursinya ditemani Rega.

"Gue kira kalian bakalan damai, soalnya pas Lo masih sasar (sadar gak sadar karena demam) Lo nangis-nangis di pelukan Pak Guru. Lo juga bilang gak mau ditinggal pak Guru." Ucapan Rega membuat Biru menoleh ke atas, mencari sedikit kejujuran dari sahabatnya itu.

"Gue gak bohong, gue liat ekspresi pak Guru yang berubah-ubah. Pas tau Lo sakit di UGD sana, Pak Guru terlihat cemas, takut dan sedih. Lalu pas Lo sasar itu pak Guru juga keliatan banget sayangnya. Trus pas terakhir kali ada di ruangan Lo. Dia bilang titip Biru ya, karena selamanya dia udah gak bisa jagain Biru lagi."

Eh?

"Sagara ngomong gitu?"

"Iya. Nih, ya, kalau gue jadi lo, gue nggak bakalan ngelepasin cowok kayak dia. Gak bakalan! Di mana lagi coba dapetin pacar seperti itu?"

"Lo tahu sendiri kan gimana ancurnya keluarga gue?" tanya Biru. Memang benar Sagara adalah pacar yang baik, emang benar kasih sayang dan perhatiannya melimpah. Tapi kalau dipikir ke belakang, ada jutaan rasa sakit yang Biru terima.

SAGARA BIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang