(Senja POV)Aku memandangi hiruk pikuk yang menghiasi landasan pacu bandara internasional Seoul untuk terakhir kali sebelum pesawat milik maskapai Twilight yang kutumpangi lepas landas. Meski masih pukul empat pagi, bandara ini tetap ramai seolah tidak kenal waktu.
Bertahun tahun aku menyaksikan banyak hal di tempat ini setiap hendak bepergian, kini aku mulai mengerti kenapa banyak manusia yang membenci tempat ini.
Karena seperti yang kulihat sepanjang tahun namun baru kusadari sekarang, bandara merupakan tempat yang hanya menyediakan dua hal pada tiap manusia yang mendatanginya, entah hendak melakukan tujuan kemana.
Tapi ujungnya hanya bermuara ke dua tempat, yakni meninggalkan dan di tinggalkan.
Banyak senyuman terukir untuk orang yang menyambut kedatangan seseorang tanpa tahu kalau seseorang itu harus meninggalkan sesuatu untuk dapat mengukir senyum itu.
Dan mereka tidak tahu hal itu juga sekaligus merenggut senyum orang lain yang dia tinggalkan.
Sadis? Memang, tapi itulah hakikat hidup, meninggalkan atau di tinggalkan.
Terkadang kita mengira hidup selalu kejam karena tidak pernah absen menghadirkan kita pilihan dan hanya mengizinkan kita untuk memilih salah satu saja.
Namun di kabin pesawat ini aku turut menyadari hal lain, bahwa jika saja manusia dapat memiliki semua yang dia mau tanpa harus memilih, hanya akan ada keegoisan di dalam hidup ini.
Mereka akan asing dengan kata menghargai, mengikhlaskan, dan melepaskan. Dan akhirnya saling bersinggungan untuk mendapatkan semuanya tanpa memikirkan satu sama lain.
Kepergianku mungkin menyakiti perasaanku dan sosok yang harus kutinggalkan. Namun di sisi lain, banyak sekali hal baik yang mungkin akan menyambutku jika aku mengambil keputusan ini.
Sakit? Tentu saja, orang macam apa yang mau pergi begitu saja dari sosok yang dia cintai?
Jika aku egois, mungkin aku memilih untuk menetap dan melepaskan yang tersisa dari diriku demi bersama dengannya.
Tapi aku sadar kalau pilihan itu benar benar salah. Mungkin untuk saat ini aku belum merasakannya, tapi bukan hanya dia yang mengharapkanku.
Di seberang sana, seorang ibu yang sudah tidak ku kenal kini kembali lagi seperti dulu, menjanjikan kehidupan yang lebih berarti untukku. Aku tentu tidak mau membuang kesempatan emas itu.
Aku memang mencintai Jungkook, tapi mama hanya ada satu dan aku tidak tahu kami bisa menukar waktu yang hilang sampai kapan.
Bukannya aku rela melepaskan pria itu, tapi aku yakin dia akan lebih bisa menerima kepergianku di banding ibuku sendiri, toh, aku berani bertaruh, suatu saat nanti akan ada gadis yang datang di hidupnya dan tidak akan pernah pergi.
Sementara diriku, aku berjuang untuk merasa cukup pernah mengenalnya, menghabiskan hari bersama dia, bertukar pendapat tentang apapun, menceritakan hal yang tidak pernah kuceritakan pada orang lain sebelumnya.
Aku mencoba untuk menghentikan seluruh pengharapan yang tumbuh pada Jungkook untuk bisa terus hidup dengannya.
Cukup dengan semua kenangan yang sudah kami ciptakan bersama, aku pasti bisa menjalani kehidupaku setelah ini.
Asalkan senyuman hangat nan menggemaskannya masih tersimpan baik di kepalaku, puluhan tahun berikutnya pun aku tetap akan hidup untuknya.
Jika ini memang akhir cerita, aku akan meminta seseorang untuk menuliskan akhir yang indah.
Bukan, tidak harus bersama, tapi setidaknya aku benar benar bisa mengikhlaskannya.
Menjadikan dirinya hanya sebatas penghuni kotak memori saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euphoria
FanfictionAku menatap punggungnya dengan senyum yang terus terukir di bibirku. Hingga saat ini pun, aku masih belum percaya takdir mempertemukanku dengannya, dan hebatnya, semesta memilih dia untuk menyembuhkan lukaku. Dan yang bisa ku lakukan sekarang hany...