Celaka

863 59 4
                                    

Paul merasa sangat khawatir melihat hujan yang begitu lebat. Salma di telpon berkali-kali tidak diangkat membuatnya semakin kepikiran.

"Nab. Kamu tau nggak Salma kemana?"

"Tadi bilangnya mau keliling pinggir sungai kak. Tapi nggak tau lagi kemana." Nabila sama khawatirnya dengan Paul. Saat ini mereka berdua tengah berada di salah satu cafe dan terjebak hujan.

"Ntar aku telpon Diman." Paul mengetik nama Diman di pencarian kontaknya. "Halo Dim."

"Kenapa Powl." Suara Diman terdengar dari balik ponsel.

"Salma nggak ada kabar. Kondisi diluar hujan deras, gue khawatir sama dia. Lu bisa bantu cari nggak? gue bawa Nabila soalnya. Ini kejebak hujan juga."

"Tadi dia bilang mau pergi kemana?"

"Pinggir sungai kata Nabila."

"Ya udah lu tenang aja. Gue keliling kesana sama Rahman."

"Oke thanks Dim."

"Iya."

Paul menutup teleponnya dan kembali berbincang dengan Nabila.

"Gimana kak?"

"Diman sama yang lain mau bantu nyari."

"Kalo gitu kita ikut nyari keluar aja kak. Nabila takut Kak Salma kenapa-napa."

"Tapi masih hujan deres Nab. Kita nggak ada payung juga. Tunggu sampek agak reda ya?"

"Kak Paul komunikasi terus sama Kak Diman. Nabila khawatir kak."

"Iya Nab. Udah jangan terlalu panik ya." Paul memegang tangan Nabila untuk meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.

Dengan cuaca yang buruk, Diman menyusuri tepi sungai seorang diri. Sedangkan Rahman, Josse dan yang lain menyusuri arah yang berbeda. Selain hanya memandangi tepi sungai, Diman juga memantau area cafe dan pertokoan untuk memastikan apakah Salma berteduh di sana.

Dan benar saja, Diman melihat Salma tengah duduk di salah satu kursi di dalam minimarket bersama seseorang. Diman mencoba menelponnya, namun terlihat dari gerak gerik Salma, Salma samasekali tidak menyentuh ponselnya. Mungkin di silent.

Diman berjalan cepat menuju minimarket itu. Tanpa disadari oleh Salma, Diman sudah berdiri disampingnya.

"Diman." Salma nampak terkejut.

"Ayo pulang." Ucapnya dengan raut wajah marah, namun tidak meninggikan suaranya.

"Ta...Tapi." Diman keburu meraih tangan Salma hingga membuatnya berdiri.

"Dim. Kok lu jadi maksa sih?" Rony balik marah dengan sikap Diman yang sedikit kasar pada Salma.

"Udah Ron. Gue balik dulu. Ayok." Salma tidak mau memperkeruh suasana dan segera mengajak Diman untuk keluar dari sana.

"Sal. Diluar masih hujan. Kenapa nggak nunggu reda?"

"Ngg...nggak papa. Nggak papa Ron." Rony yang tau bagaimana kondisi Salma, ia merasa khawatir.

"Ayok." Diman tak ingin berbasa-basi, ia kembali menarik tangan Salma dengan keras hingga membuatnya tersentak. Salma tak dapat protes, ia hanya bisa mengikuti langkah Diman sambil menatap kebelakang, menyaksikan Rony yang begitu tegar berdiri di sana menyaksikan kepergian mereka.

"Dim, lepasin. Sakit tangan gua." Salma berusaha melepas genggaman Diman yang menuntunnya dengan kasar.

Diman pun menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Salma.

"Lu tau nggak kalo semua orang nyariin lu? di chat nggak di bales, di telpon nggak diangkat. Malah asyik ngobrol sama bajingan itu. Sejak kapan lu ketemu sama dia, hah? gue pikir lu sama bencinya kayak anak-anak. Ternyata dibelakang kita lu masih berhubungan. Cinta banget lu sama penghianat itu? Lupa sama apa yang udah dia lakuin?!!"

"Dim lu kenapa jadi marah-marah gitu sih?" Salma untuk pertama kalinya melihat Diman marah seperti itu nampak ketakutan. Ia kembali membayangkan kapan terakhir kali ia ribut besar dengan seseorang. Ya. Al. Tatapan Diman sama seperti saat Al mencekiknya diwaktu lampau.

"Kenapa?" Diman menanyakan tatapan Salma yang terlihat takut melihatnya. "Sal, apa sih yang lu liat dari Rony? Sampek-sampek lu cuekin Paul, Nabila dan yang lain. Mereka selalu ada buat lu, gue selalu ada buat lu. Rony? Apa yang dia lakuin? Apa waktu dia mabuk, dia ngasih kenangan indah buat lu sampek pengen ketemu lagi?"

"Dim. Jaga ya mulut lu." Salma sudah tidak memikirkan lagi getaran tubuhnya yang makin kencang karena cemas.

Duarrr. Tiba-tiba petir menyambar dengan keras. Salma sontak menutup telinga.

"Kenapa? Bener ada sesuatu yang terjadi antara lu sama Rony, sampek lu nggak bisa lepasin dia dan mengabaikan semua orang yang selalu ada buat lu?!!!"

"Cukup Dim!!!" Salma masih menutup mata dan telinganya.

"Buka mata lo Sal. Jujur sama gua!!" Diman berteriak keras mengalahkan suara petir.

Salma yang sudah tak sanggup berada di posisi ini langsung melarikan diri dari Diman.

"Sal. Mau kemana lu?" Diman mengejar Salma yang berlari sambil menutup telinga.

Salma yang berlari tanpa melihat jalan dengan benar, tiba-tiba terpeleset dan terjatuh ke jalan raya. Sebelum dirinya benar-benar jatuh kebawah, Salma sudah terlebih dahulu terserempet oleh mobil yang melintas. Tubuhnya terpelanting ke pinggir jalan, pandangannya buram. Ia kehilangan kesadaran diri.

"Sal, Salma." Diman menggoyang-goyangkan tubuh Salma untuk menyadarkannya, namun tak berhasil. Salma sudah menutup matanya, ia pingsan.

Tak lama setelah itu ambulance datang membawa Salma ke rumah sakit. Paul dan Nabila yang di telpon Diman langsung bergegas ke rumah sakit juga.

Saat berjalan memasuki lorong rumah sakit, tiba-tiba ponsel Nabila berdering.

"Kak duluan aja, umi nelpon. Nanti Nabila nyusul."

Paul mengangguk dan pergi sendiri meninggalkan Nabila. Ia sudah tidak sabar ingin melihat kondisi adiknya.

Saat melihat Diman yang duduk di luar ruangan, Paul langsung menghampirinya. "Dim, Salma kenapa? Kok bisa dia ketabrak?"

"Dia... dia tadi ketemu Rony." Diman berdalih dan tidak merasa bersalah.

"Hah? Gimana maksud lo?"

Diman menatap dalam mata Paul sambil memegang kedua pundaknya, "Dia ketemu sama Rony. Gua nggak tau apa yang udah dilakuin sama Rony sampek Salma nggak bisa ninggalin dia."

"Maksud lo apa Dim?!!"

"Roni pasti udah nyentuh Salma. Gue tadi berusaha buat Salma jujur. Tapi dia terus belain Rony. Dia nggak mau pulang, dan akhirnya kecelakaan itu terjadi."

"Dim lu jangan sembarangan ngomong, Salma nggak mungkin kayak gitu." Paul balik mencengkram kuat kerah baju Diman.

"Salma emang nggak mungkin. Tapi Rony mungkin. Lu kan yang bilang sendiri ke gua. Kemarin lu bawa Rony dalam keadaan mabuk. Apa yang menjamin kemarin nggak terjadi apa-apa? Bahkan Salma nggak ngomong banyak kan sama lo?" Paul melepaskan genggamannya. Ia mundur ke belakang dan bersandar ditembok sambil memegang kepalanya.

"Nggak mungkin? Gue udah gagal jagain Salma." Ia memukul-mukul kepalanya sendiri.

"Kak Paul ?" Nabila yang melihat Paul dari kejauhan, segera berlari untuk menghampirinya. "Kak Paul kenapa? Udah kak jangan." Nabila mencoba menenangkan Paul yang terus memukuli dirinya sendiri.

Paul yang tidak bisa menceritakan keluhannya, hanya bisa memeluk Nabila sambil meneteskan air mata.

"Ini kenapa sih? Kondisi kak Salma gimana kak?" Nabila bertanya pada Diman sambil tetap memeluk Paul.

"Gue juga belum tau Nab."

Tak beberapa lama Josse dan kawan-kawan juga menyusul. Mereka bertanya bagaimana kondisi Salma, namun Diman memberi jawaban yang sama. Ia sendiri tak tahu kondisi Salma karena dokter belum keluar untuk memberi penjelasan.

Di ujung lorong ada seseorang yang berjalan mendekati mereka. Dilihat dari postur tubuhnya Nabila dan yang lain nampak familiar. Seseorang itu mengenakan baju putih seperti seorang dokter. Mereka tidak bisa memastikan dengan jelas seseorang itu karena wajahnya tertutup masker.

Bersambung....

Teka Teki Salma | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang