Rahasia yang Terkuak

859 72 6
                                    

Nabila menelpon Rony atas perintah Paul. Saat itu juga Rony akhirnya datang dengan percaya diri.

Tanpa sepengetahuan Diman dan yang lain, kehadiran Rony membuat mereka terkejut, pasalnya Paul tidak memberitahukan apapun pada mereka. Josse yang tidak tahu menahu, akhirnya mengambil langkah untuk menghadang Rony sebelum masuk ke kamar Salma.

"Ngapain lu?" Teriakan Josse berhasil mengundang tatapan teman-temannya yang lain termasuk Diman.

"Jos, gua nggak mau ribut sama lo."

"Kalo lu sadar harusnya lu nggak disini Ron." Diman menambahkan.

"Hah. Nggak salah denger gua? Kalo bukan karna Salma, gue udah seret lo keluar Dim."

"Kurang ajar." Josse langsung menarik kerah Rony. Untung saja ia tak sampai memukul karena Nabila sudah keburu keluar untuk menghentikan perkelahian mereka.

"Stop! Jangan lagi-lagi ya kalian ribut disini. Ayo kak." Nabila menarik tangan Rony untuk mengikutinya ke dalam ruangan Salma.

"Nab. Kok lu biarin dia masuk?" Josse masih tidak terima.

"Kak. Maaf, tapi tolong kali ini jangan banyak tanya dulu. Kak Salma butuh Kak Rony." Nabila kembali melanjutkan langkahnya. Ia tak ingin berlama-lama berbincang yang tidak penting.

Setelah masuk, yang pertama Rony lihat adalah Paul. Laki-laki itu tengah duduk di ujung kasur Salma sambil menatap Rony. Paul kemudian berdiri dan memegang pundak Rony sambil mengatakan beberapa kata.

"Jagain dia, jangan buat dia nangis, jangan tinggalin dia lagi. Walaupun sering ketawa, tapi lukanya masih belum sembuh. Walaupun kelihatan bahagia, dia masih terluka. Lu jangan tambahin lukanya dengan luka yang baru. Dia udah cukup kesulitan untuk sembuh." 

Rony tak memberi jawaban, hanya anggukan pasti untuk membuat Paul yakin dengannya. Ia kemudian berjalan mendekati Salma yang tengah duduk diam seperti orang yang depresi.

"Sal." Panggilnya lirih. Salma menatap Rony dengan mata berkaca-kaca.

Melihat hal itu, Paul dan Nabila memutuskan untuk keluar dan membiarkan Rony berbicara dengan Salma.

Melihat Paul keluar, Josse dengan segera meminta penjelasan.

"Powl, kok lu biarin Rony masuk sih?"

"Jos. Gua nggak mau ribut, sekarang yang terpenting adalah kesembuhan Salma. Gua nggak mau dia makin parah."

"Powl apa yang lu sembunyiin dari kita sebenernya?" Rahman melihat ada gelagat aneh dari Paul dan ia mencoba menggalinya.

"Gua nggak mau kita bahas disini. Kita cari tempat diluar." Ucap Paul kemudian.

"Terus kita tinggalin Rony berdua sama Salma?" Diman nampak gelisah.

"Salma lebih aman sama Rony." Tegas Paul. Diman pun diam dan tak membahas apapun lagi. Ia tak ingin membuat kecurigaan teman-temannya semakin tinggi terhadapnya.

Paul mengarahkan teman-temannya untuk berkumpul di taman rumah sakit. 

"Lu sebenernya mau jelasin apa sih Powl?" Josse sudah tak sabar.

"Lu liat video ini."

Paul memberikan ponselnya pada Josse. Mata Josse nampak terbelalak menyaksikan tokoh utama di dalam video yang Paul putar. "Powl ini beneran?" 

"Apaan sih Jos?" Rahman merebut ponsel yang Josse pegang dan mengundang teman-teman yang lain untuk ikut melihat juga, termasuk Diman.

"Dim. Ini elo?" Rahman ikut terkejut.

Diman seketika itu juga merasa terpojok. Ini bukan situasi yang ia harapkan, mengapa semuanya jadi seperti ini?

"Gue..." Dia nampak gugup dan takut menghadapi teman-temannya yang menatapnya serius.

"Dim, gua udah percaya sama elu. Tapi kenapa lu harus kayak gini?" Paul lebih dulu membuka percakapan.

"Powl gua minta maaf Powl. Gue nggak bermaksud nyelakain Salma, gua cuma nggak nyangka Salma bakal ketemu Rony. Dan..."

"Dan apa?"

"Mereka bisa sedeket itu lagi." Ternyata saat itu Diman menyaksikan saat Rony memegang tangan Salma dan memeluknya.

"Lu cemburu sama Rony?"

"Powl gua beneran nggak ada niat buat lakuin itu. Gua juga nggak tau kenapa Salma tiba-tiba lari."

"Gua tanya lu cemburu sama Rony?!!!"

"Gua.." Bibir Diman tercekat. Ia semakin terpojok.

"Dim, bukan kecelakaan itu yang buat gua sekarang marah sama lo. Gua tau yang lari kejalanan Salma sendiri bukan elu yang dorong. Dan yang nabrak Salma beneran orang lain bukan elu. Tapi satu hal yang bikin gua kecewa, sikap lu. Kenapa lu harus narik Salma keluar waktu hujan masih deres? Lu bisa kan nunggu sampek reda. Kenapa juga lu harus narik-narik tangan dia, sampek Salma kesakitan? Lu juga kenapa marah-marah nggak jelas dan nuduh Rony yang nggak-nggak? Selama ini gua nganggep lo itu salah satu temen gue yang paling dewasa pemikirannya. Dan gua pikir sikap lu juga udah sedewasa itu, ternyata nggak Dim."

"Powl sorry gua khilaf Powl. Gua beneran nggak bermaksud..."

"Lu bajingan Dim." Josse langsung mengarahkan pukulannya ke Diman.

"Jos, udah Jos." Rahman menahan Josse. Ia tak ingin masalah ini tambah melebar.

"Dim. Lu harusnya minta maaf ke Salma, bukan ke gua. Tapi liat kondisi Salma sekarang, gua nggak akan izinin elu untuk ketemu sama dia lagi."

"Powl. Tolong Powl jangan hukum gua kayak gini. Gua udah bertahan sejauh ini buat Salma. Apa ini pantas buat gua?"

"Nggak ada yang nyuruh lu buat bertahan Dim. Elu sendiri yang ngotot. Urusan Salma, gua dan elu udah selesai. Sekarang Sky Force terserah lu pada, gua nggak ada ikut campur lagi. Ayok Nab." 

"Powl tolong jangan giniiin gua Powl." Diman memohon di bawah kaki Paul namun tidak di pedulikan. Paul melangkah pergi meninggalkan Diman yang masih terduduk sambil menangis meratapi nasibnya.

Kini tinggal anggota Sky Force yang coba memutuskan, "Gua nggak mau ya di grup kita ada bajingan!!!" Josse sudah kepalang emosi.

"Jos. Lu juga ngomong gitu waktu Rony pergi. Sekarang Sky Force bukan  cuma band kampus, nama kita udah lebih besar dari yang dulu. Lu nggak bisa mutusin sepihak dan keluarin orang seenaknya." Rahman mencoba membuat Josse dan yang lain mengerti.

"Ya terus mau lu gimana?"

"Ini bukan cuma mau gua Jos. Tapi kita semua, bubar sekarang juga bukan pilihan yang tepat. Lu emang nggak sayang sama perjuangan kita buat sampek kesini? Gua tau Diman salah. Tapi untuk saat ini gua minta tolong sama kalian. Tolong profesional, kita selesaikan urusan kita di sini. Untuk selanjutnya kita bicarain lagi nanti."

"Gua setuju sama Rahman." Doni menambahkan.

"Ya udah mending sekarang kita balik ke apartemen. Lu pada istirahat, Salma biar sama Paul dulu. Gua liat dia trauma berat gara-gara kejadian waktu itu. Gua takut kondisinya makin parah kalo kita ribut terus disana. Biarin dia tenang dulu."

Mereka semua pun akhirnya kembali ke apartemen tanpa Diman. Diman memilih untuk pergi berjalan-jalan sendiri untuk menenangkan diri. Ia menyusuri jalan tanpa arah. Ia samasekali tak menyangka akan kembali seperti ini. Berjalan sendiri tanpa tujuan yang pasti. Hati yang dulu terisi dengan kepingan bunga, kini terasa lenyap dan sirna. Bahkan untuk kembali pun rasanya tidak mungkin. Salma sudah terlanjur kecewa, tak akan ada lagi jalan yang terbuka. 

Ternyata ini bukan pertama kalinya bagi Diman, sebelumnya ia juga pernah menyukai wanita lain selain Salma. Dan entah kebetulan atau tidak, wanita tersebut juga menyukai Rony, namun Rony tak pernah meladeninya. Tapi Diman tetap merasa tersaingi oleh Rony, segala cara ia lakukan untuk menarik hati wanita pujaannya itu, tapi usahanya selalu gagal. Rony tetap saja menjadi pilihannya. Hal itulah yang membuat Rony seringkali risih saat Diman mendekati Salma. Bukan hanya sekedar cemburu, tapi menurut Rony, Diman adalah sosok yang nekat dan menyebalkan. Dia bisa bertindak diluar kendali secara tiba-tiba, hal itulah yang membuat Rony sering emosi pada Diman.

Bersambung....

Teka Teki Salma | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang