"Sayyidah Fatimah dan Sayyidah Khadijah. Mencintai dalam diam atau datang kepadanya untuk mengutarakan rasa secara terang-terangan?"
—Adel Dwi Arfani.
***
"Minta maaf?" Adel mengulang kembali ucapan Kafka, "minta maaf untuk apa?"
"Minta maaf untuk ucapan Zayn kemarin, mungkin itu bikin Mbaknya nggak nyaman."
Adel ingat sekarang, ia memang sedikit malu karena perasaannya diumbar di depan semua orang. Apalagi, di depan Kafka yang ia sendiri belum berani mengutarakan semua rasa yang ada.
Adel lebih dulu melihat sekitar, terlihat beberapa santri mulai berdatangan ke masjid karena kajian pagi akan segera di mulai. Lagi, Adel berbicara dalam hati. "Sayyidah Fatimah dan Sayyidah Khadijah. Mencintai dalam diam atau datang kepadanya untuk mengutarakan rasa secara terang-terangan? Setelah cukup lama terdiam dan dengan memupuk semua keberanian yang ada, gadis itu akhirnya mulai membuka suara.
"Enggak apa-apa, Gus. Namanya juga anak kecil, omongannya kadang bercanda dan kadang ada benarnya juga, hehe," balas Adel diakhiri kekehan di ujung kalimat.
"Benar?" Kafka gagal mencerna ucapan Adel. "Benar gimana maksudnya?"
Adel berdekhem sejenak, entah kenapa untuk berbicara serius suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Padahal sebelum ini ia sudah sering bercanda mengenai perasaanya pada Kafka.
"Mbak?" panggil Kafka yang melihat Adel kembali terdiam. "Kenapa diam?"
Adel terkesiap. "Ah, sepertinya kajian akan dimulai, Gus. Lupakan aja yang tadi," kata Adel berusaha menghindari pertanyaan Kafka.
Kafka ikut mengamati sekitar. Benar, ada banyak pasang mata yang melihat ke arahnya dengan tatapan penuh tanya, termasuk sepasang mata indah itu, Sabina.
"Ya sudah, saya permisi dulu, Mbak. Sekali lagi saya minta maaf untuk yang kemarin.""Hem, itu hal biasa dan nggak ada yang perlu dimaafkan, Gus." Adel beranjak dari tempatnya, hatinya merasa tercubit begitu melihat Kafka yang beradu pandang dengan Sabina tadi.
"Mari, Gus. Assalamualaikum." Pada akhirnya Adel yang meninggalkan Kafka lebih dulu untuk masuk ke dalam masjid mengingat kajian akan segera dimulai.
Cemburu? Bagaimana mungkin ia tidak cemburu begitu melihat sosok yang ia kagumi justru mendambakan perempuan lain? Adel tidak tau pasti, tapi dari tatapan mata Kafka ia bisa melihat ketulusan yang begitu dalam di sana.
Hati terkadang mudah rapuh jika menyangkut tentang cinta. Seperti yang Adel rasakan saat ini, mampukah ia memendam perasaan ini lebih lama? Ia takut, rasa cinta akan menjadi boomerang untuk dirinya kelak.
Kagum dan cinta. Dua kata yang berbeda namun memiliki arti yang hampir sama. Ada banyak orang yang diam-diam mengagumi ketaatannya, namun dalam diam juga mencintai orangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUARA KIBLAT
Teen Fiction📌Spin off "Kiblat Cinta". Disarankan untuk membaca Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengenal masing-masing karakter tokoh di dalam cerita Muara Kiblat. *** Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung ja...