Bab 33 : Kepingan Masa Lalu.

50.6K 5K 1.6K
                                    

Hari Minggu menjadi favorit semua orang untuk sekedar berlari pagi atau duduk di taman guna menghilangkan rasa penat setelah menjalani hari-hari beraktivitas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari Minggu menjadi favorit semua orang untuk sekedar berlari pagi atau duduk di taman guna menghilangkan rasa penat setelah menjalani hari-hari beraktivitas. Sama halnya dengan sepasang suami istri baru yang turut berolahraga pagi hari ini.

Kafka, setelah sarapan pagi tadi, lelaki itu mengajak sang istri untuk berolahraga di salah satu taman yang berjarak cukup jauh dari rumah. Salah satu cara untuk membuat pikiran sang istri teralihkan dari hal yang tidak seharusnya dipikirkan.

"Gus, saya capek," ucap Adel setelah lama berlari di samping Kafka.

Merasa terpanggil, Gus muda itu menoleh, langkahnya mencoba menyeimbangkan porsi larinya dengan sang istri. "Sampai di ujung sana." Kafka menunjuk salah satu bangku taman di samping jalan. "Kita istirahat."

Adel mengangguk patuh. Tanpa aba-aba ia berlari dengan sisa tenaga miliknya, meninggalkan suaminya yang menggeleng pelan.

"Apalah dia apalah, bilangnya capek, tapi masih full battery larinya," gumam Kafka merasa lucu.

Lelaki dengan setelan jaket one set running yang ia pinjam di kakak iparnya mulai mendekati sang istri yang sudah duduk di bangku besi taman pinggir jalan.

"Katanya capek, tapi kenceng banget larinya," ucap Kafka, turut duduk di samping sang istri.

"Sebentar, Gus. Huh!" kata Adel menoleh sesaat, napasnya tak beraturan. "Saya napas dulu."

Gus muda itu terkekeh, ia mengusap keringat yang membanjiri dahi sang istri dengan pelan. "Lemah, baru tiga putaran udah ngos-ngosan," sindir Kafka.

Adel memutar mata jengah, dengan deru napas yang mulai stabil, ia tidak menjawab sindiran Kafka. Namun, netranya menyusuri sekitar dan tak sengaja melihat stand minuman cokelat yang berada di sisi jalan. Terdapat binar di mata gadis itu, tetapi hanya bertahan beberapa detik, karena gadis itu melupakan uang yang tidak ia bawa.

Kafka yang memperhatikan arah mata itu mengulum senyum, lucu sekali.

"Ikut saya," kata Kafka beranjak dari duduk seraya meraih tangan gadis itu.

Adel mendongak.
"Ke mana?"

"Ikut aja."

Adel patuh, ia terus mengikuti langkah sang suami yang ternyata membawanya menuju stand minuman tersebut.

Gadis itu berbunga, tak menyangka jika Kafka akan se-peka ini.

"Cokelat hangatnya satu, nggih, Pak," ujar Gus muda itu pada penjual tersebut, sebelah tangannya masih bertaut dengan sang istri tanpa berniat melepaskan.

"Kok, hangat?" Gadis itu memprotes, karena yang ia inginkan adalah minuman dingin.

Kafka melirik sang istri yang tengah menatapnya. "Masih pagi, nggak boleh."

MUARA KIBLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang