Mobil yang Kafka tumpangi melesat keluar pesantren. Usai mengajar, lelaki itu berangkat ke acara dakwah di luar kota selama dua hari yang ditemani oleh Ahmad yang selalu setia mendampinginya ketika bertugas di luar.
Kafka menatap jalanan di mana rintik hujan perlahan turun membasahi bumi. Dimulai dari gerimis kecil yang semakin lama berubah kian deras. Pun dengan dedaunan mulai berserakan akibat hembusan angin yang teramat kencang, membuat hawa dingin mulai menembus tubuh seolah menusuk tulang.
Kafka tak mengalihkan tatapannya sama sekali. Kerumitan pikiran sama halnya dengan benang kusut yang tak berbentuk membingkai kepalanya yang semakin runyam. Sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk kembali bersikap biasa pada Adel yang sudah membuatnya kecewa.
Sulit. Sangat sulit mengembalikan sebuah kepercayaan ketika kepercayaan tersebut telah dipatahkan oleh seseorang.
"Ahmad, jalanan licin karena hujan. Jadi pelan-pelan aja, kurangi kecepatan," titah Kafka yang baru membuka suara pada Ahmad.
Ahmad menurunkan kecepatan seraya menatap Kafka dari kaca tengah.
"Enggih, Gus. Afwan."Sementara itu, Adel yang baru saja keluar dari kelasnya bergegas berlari ke dalam kamar mandi begitu merasakan perutnya sangat bergejolak.
"Huek, huek." Kedua tangannya bertumpu di pinggiran wastafel, memuntahkan cairan yang berhasil mengaduk perutnya yang sejak tadi berhasil ia tahan.
Adel meringis, merasa ceroboh karena melupakan sarapan yang membuat maag-nya kembali kambuh. Perempuan itu mengusap sudut matanya yang basah, berusaha untuk tetap tegar meskipun perutnya tak mampu diajak untuk bekerjasama.
"Ning Adel kenapa?"
Sabina yang tengah berada di kamar mandi bergegas keluar begitu mendengar suara rintihan kecil. Ia menghampiri Adel dan memijit tengkuk perempuan itu dengan pelan.
"Keluar aja, Bi, ini sangat menjijikkan," kata Adel yang melihat dirinya begitu lemah saat ini, ia memutar kran hingga air tersebut mengalir deras membersihkan sisa-sisa yang baru saja keluar. Berkali-kali ia membasuh bibirnya dengan air, namun gejolak itu tak kunjung mereda sehingga kembali mengeluarkannya di sana.
"Nggak perlu sungkan, Ning, saya sama sekali nggak keberatan." Sabina tetap berada di sana, menemani Adel sampai perempuan itu merasa lebih baik.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Sabina setelah jeda yang cukup panjang. Dilihatnya wajah Adel tampak sangat pucat dengan tenaga yang tak tersisa.
"Udah mendingan," balas Adel, kemudian melirik Sabina sesaat. "Makasih, ya."
Sabina tersenyum.
"Sama-sama, Ning. Ayo, saya antar ke ndalem."Adel tak menolak, karena saat ini ia merasa tenaganya habis terkuras. Kini, Adel berjalan didampingi oleh Sabina yang memapah tubuhnya.
Sesampainya di ndalem, Umma yang melihat itu segera menghampiri sang menantu yang terlihat sangat pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUARA KIBLAT
Teen Fiction📌Spin off "Kiblat Cinta". Disarankan untuk membaca Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengenal masing-masing karakter tokoh di dalam cerita Muara Kiblat. *** Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung ja...