Bukan Adel namanya jika datang paling belakang tapi pulang lebih awal. Gadis itu keluar dari tempat kajian lebih dulu meninggalkan semua temannya yang masih tertinggal di belakang.
Sesaat, pandangannya teralihkan pada rombongan santri putra yang juga baru saja keluar dari tempat kajian berjalan menuju asrama.
Melangkah pelan dengan sorot mata yang masih menatap pemandangan itu dari jauh, Adel bergumam.
"Dari segitu banyaknya laki-laki, kira-kira jodoh gue ada di pesantren ini nggak, ya?"Sedetik kemudian gadis itu kembali melangkah lebar dengan mengangkat bahunya acuh. Entahlah, memikirkan jodoh kadang kala membuatnya pusing. Biarkan saja Allah yang mengatur, ia tidak tau mana yang akan datang menjemputnya lebih dulu. Jodoh atau ajal? Keduanya sama-sama membutuhkan persiapan.
Meski demikian, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, gadis itu tak menampik bahwa rasa itu masih ada. Rasa yang tersemat untuknya yang
entah akan tersampaikan atau tidak, ia harap rasa ini segera menemukan jawabannya.Setelah kajian sore selesai, semua santri bebas melakukan kegiatan lain seperti halnya membaca buku di perpustakaan, berolahraga, dan lain sebagainya yang mengandung manfaat bagi santri itu sendiri.
Sedang, Adel yang hendak pergi ke ruang perpustakaan ia urungkan begitu mendapat panggilan bahwa orang tuanya datang berkunjung. Keluar dari asrama, gadis itu melangkah lebar untuk menemui keluarga tercinta yang saat ini menunggunya di aula pesantren.
Perlu diingat, di pesantren ini, baik keluarga ataupun kerabat dekat jika ia seorang pria maka dilarang memasuki asrama putri. Jadi, mereka akan menunggu di tempat yang dikhususkan untuk pertemuan antara santri dan wali santri yaitu gazebo dan aula pesantren.
"Huh!" Adel menghela napas lelah karena berjalan terlalu cepat, jarak antara asrama dan aula cukup jauh. Ia harus melewati ndalem, masjid, dan lapangan terlebih dahulu untuk sampai di aula pesantren.
Gadis itu tak habis pikir kenapa orang tuanya datang di waktu menjelang Maghrib seperti ini, karena biasanya semua wali santri akan datang berkunjung pada pagi ataupun siang hari.
Begitu langkahnya sampai di depan masjid, ia merasa heran karena semua santri putri yang berada di teras masjid justru menatap ke arah lapangan yang terletak di sisi kanan masjid tersebut.
Adel yang penasaran turut mengalihkan tatapannya ke arah lapangan, ia mengerjabkan matanya perlahan memastikan bahwa apa yang ia lihat saat ini bukanlah khayalan semata.
"Gue nggak salah lihat, kan?" Lagi, gadis itu mengucek kedua matanya kasar begitu melihat seorang pria dengan jubah gamis yang masih melekat ditubuhnya tengah bermain bola basket seorang diri.
"Pfft! Itu Bang Arzan?" Setelah memastikan jika itu adalah sang kakak, bibir gadis itu berkedut menahan tawa melihat penampilan Arzan. "Tumben dia ikut."
Tak mau membuang waktu lama, ia menghampiri Arzan dengan cepat karena menganggap lelaki itu tebar pesona di waktu luang semua santri. Dasar buaya cap kadal, pikir Adel.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUARA KIBLAT
Roman pour Adolescents📌Spin off "Kiblat Cinta". Disarankan untuk membaca Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengenal masing-masing karakter tokoh di dalam cerita Muara Kiblat. *** Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung ja...